Dengan gerakan yang kasar, pria yang di panggil bapak oleh anak-anaknya itu mendorong tubuh puteri sulungnya hingga terjatuh. Mbok Giyem dan Yuvati tersentak kaget. Sementara Malini yang masih lemah berusaha untuk membela anaknya.Terhuyung-huyung ia menuju dapur, mengambil sapu dan memukuli Prabawa dengan membabi buta."Pergi! Pergi kamu, Mas! Jangan pernah pulang kembali! Anak-anak ndak butuh kamu!"Kanaya terisak, pun demikian dengan Suma. Walau rindu akan kehadiran bapaknya mereka tak ingin memelas minta dipeluk. Mungkin mereka paham dan sudah terlanjur benci, walau Malini tidak pernah mengajarkan untuk itu.Kanaya, Suma dan Malini berpelukan sementara Prabawa yang dipukuli tak tinggal diam. Ia masuk ke kamar. Membuka lemari dengan kasar dan mencoba mengobrak-abrik isi lemari. Mungkin mencari sesuatu yang masih berharga di dalam kamar dingin itu. Adegan tak menyenangkan itu bagai tontonan menyedihkan di maya Yuvati, Mbok Giyem dan Hartoyo. Namun, ketiganya tak bisa berbuat apa-ap
***Yuvati turun dari mobil. Mbok Giyem mengiringi pelan dari belakang. Hartoyo membawa keranjang bambu anyam berisi sayuran hijau yang diikat. Sayuran hijau yang dibeli Yuvati dari Malini.Namun, ia sedikit terkejut ketika masuk ke dalam rumah, mendapati Soraya—isteri keempat Chandrakanta duduk malas di atas kursi kesayangannya."Tumben, Dik Soraya, main ke sini?" sapa Yuvati ramah."Mas Chandrakanta mana, Mbak?" "Belum pulang. Tadi malam pergi memeriksa pasar. Kenapa, Dik?""Mau minta uang!" jawab Soraya manja.Yuvati menghela nafas. Namun, tak ingin mengomentari banyak. Takutnya nanti salah bicara. Toh jika dipaksakan untuk berkomentar, nanti malahan hubungan keduanya menjadi renggang."Tunggu saja ya, Dik. Mbak mau ke kamar dulu! Kamu sudah makan apa belum?""Ga usah basa-basi deh, Mbak. Aku tahu, Mbak ga suka aku datang ke sini. Tapi ini rumah suamiku juga. Mbak tahu itu kan?" Soraya berkata dengan sangat pongahnya. Soraya berdiri. Memeriksa beberapa perabot mahal yang terbuat
Bujukan Soraya berhasil membuat Chandrakanta untuk ikut ke kediamannya. Walaupun sebenarnya Chandrakanta lebih ingin pergi ke tambak untuk melihat beberapa nelayan yang akan panen ikan. Tapi sifat Soraya yang keras kepala, manja dan tak mau mendengarkan orang lain, membuat Chandrakanta mengalah."Iya ... Mas minta maaf karena semalam tidak pulang ke rumah. Jangan cemberut seperti itu ...." rayu Chandrakanta."Kamu tadi mau uang jajan?" tanya Chandrakanta mengalihkan ketidaknyamanan menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan."Huu-umph ...." angguk Soraya pelan."Mau belanja apa, sih? Mas rasa semua gaun, tas, sepatu kamu beli setiap bulan. Apa tidak bosan?"Soraya menggelengkan kepalanya. Rambut pirangnya terkibas pelan.Sopir melajukan mobil tak begitu kencang. Mungkin karena jalanan yang lengang mereka tiba di kediaman Soraya hanya dalam waktu dua puluh menit saja.Pagar besi tinggi berwarna putih dibuka seorang pria paruh baya berkulit legam, ketika sopir memberi tanda. Keduan
Chandrakanta rasanya ingin marah. Rasa panasnya terdesak hingga ke ubun-ubun. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal kencang. Namun, walau begitu tak bijak jika ia harus marah ke Beatrix. Gadis itu tak salah apa-apa pikirnya."Ehem ...." Chandrakanta bergumam. Menetralkan suasana yang kaku dan sedikit tegang."Apa Tuan marah?" tanya Beatrix pelan."Marah? Kepada siapa?" Chandrakanta balik bertanya."Marah kepada Nyonya Soraya dan saya?""Kepada Nyonya Soraya tentu saya marah. Tapi kepada kamu, tidak.""Biar saya antar ke pasar," sambung Chandrakanta lagi."Baik, Tuan. Terima kasih," ucap Beatrix. Menunduk sambil meremas tangannya. Ada perasaan tak enak mendera dada.Di sepanjang perjalanan, Chandrakanta dan Beatrix diam saja. Hanya helaan nafas berat yang menemani deru angin yang berembus masuk ke dalam mobil."Nah, sudah sampai akhirnya," ucap Chandrakanta. Beatrix turun dengan ragu. Seperti masih ada banyak hal yang ingin ia sampaikan pada suami majikannya itu."Tuaan ...." "Iya.
***Langkah kaki Malini sedikit gemetar melihat sungai jernih yang terbentang di bawah jembatan. Hatinya gamang. Lalu ditatapnya mata anak-anaknya yang sangat jernih. Sejernih sungai itu hingga ia mampu melihat dengan jelas ke kedalamannya. Tapi tidak dengan mata anak-anaknya. Malini tak mampu melihatnya dengan jelas."Bu ... Ibu sebenarnya mau ke mana?" tanya Kanaya yang menyadari bahwa ibunya sudah bolak-balik mengitari jembatan.Malini tersenyum tanpa berkata banyak. Ia mengulurkan tangan. Mencoba untuk menggendong Suma yang sudah mulai lelah. "Suma capek sayang?""Ndak Bu. Yang penting ibu senang di sini ...."Malini tersenyum. Ia sangat sayang kepada anak-anaknya. Tapi sesuatu dalam hatinya meminta untuk ia segera mengakhiri hidup."Melompat ke sungai Malini! Melompatlah ... Maka hidupmu tak akan lagi menderita. Kau akan bahagia. Hatimu tak akan sakit lagi. Kau tak harus melihat wajah memuakkan suamimu. Kau tak perlu lagi untuk melihat wajah mertua yang tidak pernah menyayangimu
Dengan panik pria bertopi hitam membuat panggilan pada telepon genggam hitam putihnya. Ia merasa sedikit kesal karena seseorang di seberang sana tak ada yang menjawab teleponnya.Si pria kembali pada Malini yang masih terbaring. Wajahnya masih pucat. Ia mencoba sekali lagi dengan doa yang penuh harap. Ditekannya dada Malini sekuat tenaga. Berbisik di telinga cantiknya bahwa ia harus kuat demi anak-anaknya."Malini ... Ayo! Buka matamu! Masih ada anak-anakmu! Kasihan mereka! Kau harus tetap hidup! Di mana dirimu yang kuat, keras kepala dan tak takut dengan semua keadaan yang mendera. Bangun!"Pria bertopi hitam mendekatkan wajahnya pada hidung Malini. Mencoba memeriksa dengan cermat dan seksama. Tak ada perubahan. Wajah itu masih pucat. Bibirnya tak berwarna sama sekali. Tidak menarik.Malini yang terbujur kaku terlihat oleh mata-mata awam. Padahal dalam dunia yang lain Malini tengah bergembira. Ia berlarian di sebuah tempat tanpa ada perasaan sedih dan luka hatinya. Malini tertawa, be
Suara burung-burung dan hewan hutan bersahut-sahutan ketika langkah demi langkah menginjak ranting lembab karena hujan masih turun dengan derasnya.Seorang pria berjalan membawa dua buah senapan. Sementara seikat ikan kering tergantung mantap di antara lehernya. Wajahnya tegang. Tidak nampak kebaikan, keramahan, kepedulian seperti beberapa jam lalu.Burung-burung senja menyambut dengan suka cita ketika ia bersiul pelan. Walau gelap si pria tak takut untuk masuk ke bagian hutan yang semakin dalam.Kembali berjalan dengan langkah yang mantap. Boots hitamnya menapaki jalan setapak kecil di pinggiran jurang terjal. Ia lalu berpegangan dengan seutas tali untuk tiba di sebuah lubang lembab yang berukuran enam kali puluhan meter.Hening dan sepi. Hanya suara detak jantung dua orang pria dewasa saja yang menggema di dalamnya. Juga rintihan kesakitan dari seorang pria yang terikat kaki, tangan dan matanya."Lepaskan aku!" teriaknya ketika mengetahui pria bertopi hitam melepaskan ikatan di mata
Soraya menelan ludah ketika tubuhnya merasakan getaran tempat tidur yang bergerak. Bagai sedang bermain cari sembunyi. Jantung wanita berambut pirang itu berdetak tak beraturan.Telinganya mendengar helaan nafas berat. Membuat hatinya senang. Ia menduga kalau Chandrakanta juga sangat menginginkan dirinya. Padahal ...."Soraya apa kau di sana?" suara serak dan berat itu bagai suara burung bul-bul ditelinga Soraya.Wanita itu tak menjawab, ia menutup mulutnya agar tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dengan begitu Chandrakanta akan semakin penasaran kepadanya. Seperti itu pikir Soraya."Soraya ... Mengapa kau diam saja?" suara itu terdengar lagi. Wanita yang telah mengenakan lingerie turun perlahan dari tempat tidur. Ia terkekeh. Bersembunyi di balik kaca riasnya."Biasanya Mas Chandrakanta tak suka diajak main cari sembunyi. Tumben sekali ...." batin Soraya."Soraya apa kau ingin bermain-main?" Suara yang kali ini membuat Soraya merasakan kemenangan yang sempurna. Menurutnya dupa yang