Share

Pemabuk dan Suka Main Perempuan

***

Pria tua itu terpaku menatap wajah seorang wanita mengenakan kerudung gelap dan penutup wajah. Hanya alis legam tebal dan bulu mata panjang lentiknya saja yang terlihat di keremangan malam.

Di punggungnya tergantung keranjang anyam bambu besar berisi beraneka macam sayuran hijau yang segar yang sudah diikat sedemikian rupa. Begitu rapi dan tertata.

"Saya boleh jualan di sini, Pak?" tanyanya membesarkan suara. Agar tak kalah dengan para pedagang lain yang juga sedang menggelar dagangannya.

"Sebenarnya lapak ini ada pemiliknya. Cuma beberapa hari ini sedang sakit. Sementara kamu boleh pakai. Tapi kalau pemiliknya sudah kembali. Ya kamu harus pergi dan mencari lapak yang lain."

"Inggih Pak. Saya paham ...." jawabnya senang. Mengucap hamdalah dalam hati lalu mulai meletakkan kain jarik sebagai alas jualannya.

Baru beberapa detik berlalu. Pria lain dengan kulit yang agak gelap tengah berbisik kepada pria tua berpeci. Lalu pria tua itu menganggukkan kepalanya.

"Maaf. Maaf, Nak! Pemilik lapaknya akan berjualan hari ini. Jadi kamu jangan di lapak ini, ya. Cari lapak yang lain saja!"

Malini urung mengeluarkan semua sayurannya. Darahnya berdesir. Tengkuknya terasa dingin karena angin. Mungkin belum terbiasa keluar tengah malam untuk berjualan di pasar.

"Inggih, Pak. Ndak apa-apa. Terima kasih. Semoga dagangan bapak habis terjual malam ini."

Pria tua mengaminkan dalam hati. Selepas Malini pergi ia segera menuju sebuah pos kecil di tengah pasar. Sebuah kelambu di pasang di sana. Dari dalam seorang pria tampan berkharisma tersenyum puas melihat apa yang dikerjakannya lalu menyodorkan beberapa lembar uang.

"Terima kasih, juragan!" pria tua itu menunduk hormat. Walau hatinya merasa tak tega kepada Malini. Siapa yang bisa melawan juragan Chandrakanta?

Sementara sepasang mata elang pria yang dipanggil juragan nampak mengekor semua pergerakan wanita yang menjadi incarannya.

"Hmm ... Malini ... Malini. Wanita bodoh! Apa untungnya berjualan tengah malam begini? Lapak saja kamu tak punya. Kapan mau melunasi hutang suamimu? Dasar keras kepala!"

Beberapa pria membawakan makanan hangat dan juga kopi dalam pos itu. Yang mengenakan topi kupluk memijat bahu Chandrakanta dengan senyum manis yang selalu disunggingkan.

"Tumben, juragan main ke sini."

"Aku lagi bosan di rumah. Kenapa? Apa tidak boleh?"

"Tentu boleh juragan. Ini pasar milik juragan. Saya bisa apa? Ya ... saya hanya kaget saja. Tak biasanya juragan rela bangun dini hari hanya untuk datang ke sini."

"Kau lihat wanita itu?" tunjuknya ke arah wanita berkebaya cokelat dengan selendang gelap. Di belakangnya tergantung keranjang anyaman bambu besar berisi puluhan ikat sayuran hijau yang belum laku satu pun.

"Malini, juragan? Isterinya Prabawa?"

"Ya benar. Malini! Aku minta kalian jangan pinjamkan lapak barang seharipun. Paham?"

"Paham juragan!"

Malini menawarkan barang dagangannya kepada satu pembeli dan pembeli lainnya. Ia juga menawarkan diri untuk membawakan barang belanjaan mereka. Namun, sama saja. Semua menolak.

Malini menepi sebentar. Berpikir dengan keras dan hampir menyerah. Tapi bayangan wajah Kanaya dan Suma menari-nari di pelupuk mata.

"Ah ... Mungkin karena aku orang baru di sini jadi belum memiliki pelanggan. Coba aku kembali ke pasar bagian depan. Siapa tahu di depan sana ada beberapa orang yang mau membeli beberapa ikat sayuran segar ini," ucapnya pelan.

Namun, Malini menelan kekecewaan. Hingga subuh tiba, tak satu orang pun yang mau membeli belanjaannya. Jasa angkut barang belanjaan pun ditolak mentah-mentah. Menahan tangis ia menuju masjid besar di seberang pasar.

Pasrah ia menggeletakkan keranjang anyaman bambunya. Lalu bergegas menuju tempat wudu. Di koridor panjang yang dihiasi dengan keramik kehijauan, Malini berpapasan dengan Chandrakanta.

Wanita itu membalikkan badan dan mengucap istighfar. Sementara Chandrakanta menatapnya dengan tatapan mata yang tak bisa dijelaskan.

Di atas sajadah berwarna terang Malini menangis. Menumpahkan segala keluh kesah. Terisak ia mengusap bulir-bulir embun yang luruh satu persatu.

"Mau makan ayam, Bu. Makan ayam ...." teringat bagaimana Suma dengan wajah polosnya menginginkan sesuatu. Untuk yang pertama kali.

Melipat sajadah dengan tangan yang gemetar. Malini ingat belum makan apapun sejak habis isya. Perutnya terasa perih. Keringat jagung keluar dari pelipis hingga memenuhi hampir seluruh tubuhnya.

Malini bahkan terhuyung-huyung ketika memaksakan punggungnya untuk kembali memanggul keranjang anyaman bambu itu. Chandrakanta menatapnya dari kejauhan.

"Dasar, wanita yang keras kepala," gumamnya pelan lalu meninggalkan tempat itu.

Baru beberapa meter berjalan ia terjatuh. Wajah mulusnya terantuk di jalanan berpasir. Seorang wanita dengan kebaya bunga berwarna cerah menghampiri.

"Ya Allah ... Malini ... Malini. Bangun Malini! Mbok ... Mbok panggilkan Hartoyo. Lekas!"

"Inggih Ndoro ...."

Mbok Giyem tergopoh. Setengah berlari menuju sebuah mobil sedan putih. Di dalamnya ada seorang pria paruh baya yang tengah merokok.

"Yo ... Yo. Dipanggil Ndoro putri. Ayo buruan!"

"Ono opo toh, Mbok?"

"Ada yang pingsan. Bantuin ...."

Belum sempat Hartoyo tiba di tempat itu. Dari kejauhan ia melihat beberapa orang sudah membantu mengangkat Malini menuju mobil sedan putih milik majikannya itu.

"Ayo kita antar pulang Malini, Yo."

"Inggih Ndoro ...."

Di dalam mobil Yuvati memeluk tubuh Malini yang dingin. Sesekali di usapnya keringat yang masih menempel di kening.

"Kamu tahu kan rumah Malini, Yo?"

"Tahu, Ndoro. Rumahnya Moko dan Walimah bukan?"

"Iya betul!" Mbok Giyem menyahut.

"Kenapa dia bisa jatuh pingsan ya? Kalian taruh di mana keranjang tadi?"

"Di belakang, Ndoro. Sepertinya Malini sedang berjualan. Mbok lihat tadi banyak sekali sayuran hijau di dalam keranjang anyam bambunya," terang wanita yang semua rambutnya hampir memutih itu.

"Berjualan?"

"Inggih Ndoro ...."

Malini sedikit meracau ketika mobil tiba di depan rumahnya. Saat itu hari sudah cukup terang sehingga beberapa orang yang berkegiatan di pagi itu bisa melihat Malini turun dari mobil.

Walimah bergegas turun dari rumah besarnya. Membuka pagar karena untuk menuju rumah Malini harus membuka pagar berwarna gelap setinggi tiga meter.

"Nyonya Yuvati!" teriak Walimah senang.

Yuvati tersenyum. Menundukkan sedikit kepalanya lalu berlalu tak mempedulikan gemerincing di leher dan pergelangan tangan Walimah. Walimah memajukan bibirnya lalu mengekor di belakang Mbok Giyem.

"Malini kenapa, Mbok?"

"Pingsan di pasar."

"Pingsan?"

"Iya," jawab Mbok Giyem singkat. Seolah tak ingin berlama-lama membicarakan tentang Malini.

Walimah urung mengikuti. Ia berbelok kembali ke rumah. Dengan rasa kesal. "Sombong sekali isteri juragan itu. Bahkan menoleh saja padaku ia tak ingin. Seberapa kayanya sih, si Chandrakanta itu?" rutuk Walimah lalu masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu.

Yuvati mengetuk pintu. Kanaya yang sedang mencuci beras di sumur timba mendengar suara ketukan. Wajahnya nampak berseri. Tak menyangka jika ibunya akan pulang lebih cepat dari pasar.

"Sebentar, Bu!" teriaknya.

Terkejut. Kanaya terkejut ketika ibunya dengan wajah pucat dibantu oleh beberapa orang masuk ke dalam rumah.

"Ibu kenapa?"tanyanya cemas.

"Ibumu sepertinya masuk angin. Jangan cemas! Kamu Kanaya, ya?"

"Iya, Bu," jawab Kanaya.

"Boleh buatkan ibumu teh hangat?"

"Iya, Bu. Baik!"

Mereka membaringkan Malini di atas tikar. Anak laki-laki Malini terbangun ketika mendengar suara beberapa orang. Suma yang sudah lancar bicara. Duduk di dekat Malini seraya menepuk pipi wanita itu pelan.

"Ibu ... Ibu kenapa? Ibu sakit? Suma ndak apa-apa ndak makan ayam. Tapi Ibu ndak boleh sakit, ya ...."

Yuvati tersenyum. Mengambil Suma dalam pelukannya. Lalu mencium pipi anak kecil yang baru bangun itu.

"Namamu siapa, Nak?"

Suma menunduk. Lalu tersenyum malu. Giginya yang omong berwarna sedikit kehitaman terlihat lucu. "Suma ... Suma Perkasa ...." jawabnya bangga seraya memukulkan tangannya di atas dada.

Semuanya tersenyum. Juga Malini yang sudah sadar.

"Ini Bu, minum dulu!" Kanaya membantu ibunya untuk duduk.

Malini bangun perlahan. Bibirnya gemetar ketika mulai menyentuh pinggiran gelas. Perutnya mungkin sudah merasa nyaman.

"Ibu Yuvati, Mbok Giyem, Pak Hartoyo ... Maafkan saya jika merepotkan."

"Ndak merepotkan Malini. Kamu tadi kenapa?"

"Saya ... Saya tadi ...."

"Ibu kemarin ndak makan seharian. Mungkin itu yang membuat ibu masuk angin," terang Kanaya memijat kaki ibunya.

"Kamu berjualan?" tanya Yuvati lagi. Malini mengangguk pelan.

Yuvati mengeluarkan dompet kain kecil dengan bordir burung emas. Mengeluarkan beberapa lembar uang dan hendak menyerahkannya kepada Malini.

"Kebetulan saya dan Mbok Giyem mau membuat besekan. Isinya urap sayur. Saya perlu sekali sayuran hijau. Untung bertemu kamu. Sayurannya sudah saya letakkan di mobil. Terima kasih banyak, ya, Malini ...." terang Yuvati membesarkan hati Malini dan kedua anak-anaknya.

Mbok Giyem menyeka ujung matanya ketika melihat Kanaya dan Suma menangis. Tapi kebahagiaan itu terhenti seketika.

Seorang pria yang tengah mabuk mendobrak pintu. Merampas lembaran uang itu dengan paksa lalu tertawa senang ketika mendapatkan uang ditangan.

"Bapak ... Jangan!" teriak Kanaya. Hati anak perempuan itu kembali nelangsa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status