MasukJantung Esther serasa terhenti saat itu juga. Dia menahan napas yang terasa sesak, sebelum akhirnya melepasnya dengan kasar.
“Apa yang kau katakan?” Arion tersenyum nakal. “Bukankah sudah jelas? Kakak ipar, aku tahu kau tidak tuli,” bisik Arion tepat di telinga Esther yang membuatnya merasa merinding. Kali ini Esther tidak tinggal diam. Dia mendorong Arion sedikit menjauh, lalu berdiri tegap, melipat kedua tangan di perut, seolah hendak memberi perlawanan. “Aku ini Kakak iparmu! Beraninya kau meminta hal semacam itu padaku!” sentak Esther. Lagi-lagi pria itu tertawa. Seperti orang yang baru saja menang lotre. Arion terlihat sangat senang. “Kakak ipar, permainanmu sangat memuaskan. Apa perlu aku memutar lagi videonya? Supaya kau tahu bagaimana liarnya dirimu tadi malam.” Arion mengeluarkan kembali ponselnya, lalu memainkannya di tangan. “Hentikan!” pekik Esther yang justru membuat Arion kembali tertawa. Berbanding terbalik dengan Esther yang merasa geram. Entah mengapa dia merasa pria di hadapannya itu sedang mempermainkannya. Ini adalah pertemuan pertama mereka. Saat pernikahan Esther dan Erland, pria itu tidak datang, dan bahkan lima tahun berlalu, tidak ada kabar tentang pria itu. Tetapi, hari ini tiba-tiba dia datang. Dan sialnya, kedatangannya justru menjadi petaka bagi Esther. “Jadi bagaimana, Kakak ipar? Apa kau akan menuruti keinginanku?” Arion memiringkan kepalanya, menatap Esther dengan tatapan menggoda. “Tidak!” tolak Esther. “Kalau begitu, video ini akan sampai pada Erland hanya dalam hitungan detik saja,” ancam Arion. “Jangan!” ucap Esther lantang. “Baiklah. Akan aku pikirkan!” seru Esther mencoba menawar. Namun, sepertinya Arion bukanlah orang yang bodoh. Niat Esther untuk mengelabui Arion sudah terbaca oleh pria itu. Arion menaikkan sebelah alisnya, bersamaan dengan itu. Sesungging senyum tipis terukir dengan sangat menakutkan. “Jawabannya hanya ya atau tidak!” Esther memejamkan matanya erat-erat. Pilihan yang sangat sulit. Bila dia setuju, itu artinya dia harus menjadi budak ranjang pria adik iparnya sendiri. Dan ini adalah hal yang tidak benar. Tetapi bila dia menolak, maka dirinya akan hancur. Tidak, dirinya memang sudah hancur sejak Erland membawa wanita lain dalam bahtera rumah tangganya. Tetapi, dia tidak ingin hancur sendirian. Masih banyak hal yang ingin Esther selidiki tentang Tiara. Esther yakin bila semua yang terjadi karena ulah wanita itu. Setelah berperang dengan pikirannya sendiri, akhirnya Esther mengambil keputusan. “Ya. Aku turuti keinginanmu. Tapi dengan syarat…” Arion mengernyit kali ini. “Sebutkan!” “Kau harus membantuku menyelidiki sesuatu,” ucap Esther. Sebelah sudut bibir Arion ditarik ke samping. “Apapun itu, aku akan melakukannya untukmu.” “Baiklah, aku pegang kata-katamu.” Setelah mengatakan itu, Esther berbalik. Dia segera membuka pintu. Dan Esther sangat bersyukur karena pria itu tidak mencegahnya kali ini. Esther segera menuju ke kamarnya. Tetapi dia justru mendapati kamarnya yang dia tempati bersama Erland berantakan. Bantal berada di lantai. Sprei terlihat kusut, dan selimut dalam posisi menggantung tak karuan, sebagian telah menyentuh lantai. “Apa yang terjadi?” gumam Esther merasa bingung. “Apa telah terjadi gempa?” Esther segera membuang pikiran konyolnya. Dia teringat dengan Tiara. Semalam, Erland membawa wanita itu kemari. Tengah berpikir, Esther tanpa sengaja menangkap sesuatu di lantai tepat di bawah ranjang. Esther mendekat, menajamkan penglihatannya. Dia lantas merunduk, meraih benda tersebut dengan jari yang membentuk capit. Ini adalah model bra yang sedikit kampungan, dan Esther tidak memilikinya. “Jangan bilang ini milik Tiara. Beraninya Erland membawa wanita itu ke kamar kami!” Esther mengepalkan kedua tangannya hingga kukunya menancap pada telapak tangannya. Tak jauh dari tempat dia menemukan bra, dia menemukan benda lain. Kain segitiga dengan model yang serupa serta warna yang senada dengan benda sebelumnya. Kali ini Esther tidak dapat menahan kemarahannya. Dengan langkah lebarnya dia berjalan keluar kamar. Saat menuruni anak tangga, samar-samar dia mendengar suara dentingan sendok. Rupanya mereka tengah memulai sarapan tanpa dirinya. Tiba di ruang makan. Esther melihat Tiara duduk di dekat Erland, sedang menikmati hidangan. Semakin dekat, makin terlihat jelas. Esther seketika membulatkan mata ketika melihat dress yang dikenakan oleh Tiara adalah miliknya. “Beraninya kau memakai pakaianku!” Esther menarik rambut panjang Tiara dan seketika membuat wanita itu berteriak. “Aww…sakit!” Tiara mendongak sembari memegangi rambutnya yang dicengkeram kuat oleh Esther. Hal tersebut membuat Erland dan Corrina terkejut setengah mati. Ketenangan seketika berubah menjadi ketegangan. “Kak Erland! Tolong aku, sakit!” pekik Tiara dengan wajah memohon. Erland meraih pergelangan tangan Esther. “Esther, apa yang kau lakukan?!” cecar Erland. Esther terpaksa melepaskan tangannya dari rambut Tiara. Napasnya memburu cepat, dengan tatapan nyalang ke arah wanita yang kini tengah menangis tersedu. Dan sialnya, itu sukses menarik perhatian Erland. “Tiara, kamu tidak apa-apa?” Erland mengusap surai panjang Tiara yang kini kusut akibat ulah Esther. Erland lantas mengalihkan pandangannya ke arah istri pertamanya. “Apa-apaan kau, Esther? Mengapa tiba-tiba menyerang Tiara?” “Apa kau tidak lihat, wanita itu memakai pakaianku tanpa izin!” seru Esther tidak terima. Erland melirik ke arah Tiara yang kini terisak di kursi. Sementara Corrina hanya diam. Namun dalam diamnya, menyimpan kekesalan terhadap Esther. Bagaimanapun, dia sangat mendukung Tiara. “Hanya soal pakaian saja kau permasalahkan, Esther. Kalau kau ingin marah, marah saja padaku, karena aku yang memberinya izin memakai pakaianmu,” ucap Erland. Mendengar hal itu, Esther menatap Erland. Tatapannya berubah nanar. “Apa? Jadi, kau yang memberinya izin. Jangan bilang kau juga mengundangnya untuk tidur di kamar kita, Erland?” “Ya, aku yang memintanya untuk tidur di kamar kita.”Tatapan Esther seketika membesar. Ia teringat dengan luka yang dialami oleh Tiara, membuat Esther seketika merinding. Sejak kapan Erland memiliki gaya bermain seperti itu? Yang pasti Esther tidak ingin mengalaminya. Ia sangat benci kekerasan. Sehingga ia harus mencari alasan supaya Erland tidak meminta haknya malam ini. Sebelum langkah mereka sampai pada kamar. Esther segera memegang perutnya.“Awh!” pekik Esther. Melihat itu, Erland segera merunduk. “Ada apa, Esther?” tanyanya penasaran. “Erland mendadak perutku sakit!” ringis Esther dengan ekspresi kesakitan yang dibuat sedemikian rupa. “Kenapa? Apa kau salah makan?” tanya Erland polos. Esther menggigit bibir bawahnya, sesekali melirik ke arah Erland. Tampak pria itu sangat khawatir. “Sepertinya iya,” jawab Esther dengan tidak melepaskan pegangannya pada perutnya. Erland yang berdiri di sisi wanita itu terlihat mulai panik. “Kalau begitu aku akan panggi
Esther menelan. Ludah kasar. Esther merasa seperti seorang pesakitan ketika tatapan setiap orang di ruangan itu langsung tertuju padanya. Seolah-olah ia baru saja melakukan kesalahan besar yang pantas dipertanyakan.Matanya berusaha menatap ke arah lain, namun rasa canggung membuat tubuhnya serasa membeku. Senyuman kaku yang ia paksakan justru semakin memperlihatkan kegugupan yang tidak mampu ia sembunyikan.“Esther, Kakek bertanya padamu. Kau dari mana saja? Kami semua menunggumu.” Ucapan Erland seolah menyadarkan Esther. Semua orang telah berkumpul termasuk Tiara. Corrina tampak duduk tak jauh dari single sofa yang diduduki Daxton. Sementara Tiara duduk berdekatan dengan Erland. Dengan langkah ragu ia mulai mendekati salah satu sofa yang kosong. “Maaf, saya baru saja berkunjung ke panti asuhan.” Jawaban Esther membuat Erland menyipitkan matanya. Tetapi ia tidak berkomentar apa pun. “Duduk!” titah Daxton. “Baik, Kakek.” Esther lantas menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa. Ruangan
Arion mengulas senyum ketika melihat pesan gambar yang dikirimkan oleh orang suruhannya. Terlihat Esther yang hendak masuk ke dalam sebuah bangunan. Di kedua tangannya terdapat kantong belanjaan. Saat mendengar Esther akan pergi ke suatu tempat, Arion merasa khawatir. Itu sebabnya ia memerintahkan seseorang untuk mengawasi wanita itu. Siapa sangka wanita itu justru pergi ke panti asuhan. “Sungguh mengesankan,” gumam Arion. Ia tak henti-hentinya memandangi gambar itu. Harusnya ia tetap berada di sisi wanita itu. Menemani setiap langkahnya menuju ke tempat yang dia inginkan. Tetapi panggilan dari Daxton harus membuatnya meninggalkan wanita itu.Sementara itu, kedatangan Esther di panti asuhan tersebut selalu mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi anak-anak yang tinggal di sana. Begitu kakinya melangkah melewati gerbang, beberapa anak langsung menyambut dengan wajah berseri-seri. Mereka berlarian kecil menghampirinya, memanggil namanya dengan penuh antusias.“Miss Esther datang!” t
Saat melihat nama Daxton Dawson, Arion merasakan firasat buruk. Pikirannya melayang pada Carlos. Apa pria itu sudah memberitahu kakeknya tentang apa yang sudah ia lakukan? Pikiran-pikiran itu berkeliaran merusak sistem kerja otaknya. Esther menatap Arion yang tampak terdiam. Ia melihat sesuatu yang berbeda dari pria itu–perubahan air wajahnya terjadi begitu drastis sehingga memicu sebuah pertanyaan yang bersarang di kepala Esther. “Ada apa?” Arion segera tersadar. Ia kembali menatap layar ponselnya yang masih mengeluarkan cahaya. Dan nama yang ada di layar, masih belum menghilang. Untuk meredakan suara bising itu, Arion terpaksa menerima panggilan. “Halo, Kakek.” Arion berjalan menjauhi Esther. Wanita itu hanya melihat saja tanpa berkomentar. Pembicaraan mereka pun tak terdengar. Lagi pula Esther sama sekali tidak tertarik. Bukankah setiap orang memiliki urusan masing-masing? “Temui aku sekarang!” Suara berat itu terdengar menembus gendang telinga Arion. Sehingga ia secara refl
Esther dan Arion telah tiba di rumah industri perhiasan, Majestic Gems milik Harvey yang tak lain adalah rekan bisnis Arion. Saat keluar dari mobil, kecemasan terlihat di wajah Esther. Ia teringat akan kejadian tadi yang mengiringi perjalanannya menuju kemari. Di mana Erland menyuruh orang untuk mengikuti dirinya. Esther memastikan sekali lagi bahwa tidak ada orang lain lagi yang mengintai dirinya. Arion melihat kekhawatiran Esther, lalu tersenyum. “Sudah tidak ada, tenang saja, Kakak ipar.”Esther menoleh, tatapannya menyipit. “Kau yakin?” “Apa aku terlihat berbohong?” Esther diam saja. Ia tidak lagi menjawab ucapan Arion. Ia segera berpindah ke sisi pria itu. Esther dan Arion lantas memasuki gedung pembuatan perhiasan yang tampak megah dengan dinding kaca bening yang memantulkan cahaya matahari pagi. Suasana di dalam gedung begitu tenang, hanya terdengar dengung halus dari mesin-mesin pengolah logam mulia di ruang belakang. Aroma khas logam yang dipanaskan samar memenuhi udara,
Suara dentuman keras terdengar, diikuti getaran hebat ketika mobil Robert menghantam batang pohon besar di sisi jalan.Benturan itu cukup kuat hingga bagian depan mobil ringsek parah. Kap mesin terangkat dan asap pekat mulai mengepul. Kaca depan pecah, serpihannya berhamburan, beberapa mengenai wajah Robert yang terkulai dengan darah mengalir di pelipisnya. Suasana berubah hening sesaat setelah kecelakaan itu, seolah dunia menahan napas. Hanya suara mesin yang masih berderu lemah dan gemerisik daun yang tersapu angin yang terdengar. Namun, kecelakaan itu tak membuat Robert tumbang begitu saja. Ia segera bangun meski pelipisnya mengalir cairan merah pekat. “Sialan!” umpatnya. Sementara itu, jauh di depan, Eric menyadari bahwa suara mesin yang mengejar dari belakang telah menghilang. Ia melirik kaca spion, pandangannya menyipit saat bayangan dari mobil Robert tidak lagi tampak mengikuti mereka.“Sepertinya telah terjadi sesuatu,” gumam Arion pelan, mencoba melihat ke belakang meski







