MasukEsther menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur tanpa sempat melepas sepatu hak tingginya. Kepalanya yang serasa dipukul palu membuatnya terbang ke alam mimpi dengan sangat cepat.
Sementara sosok yang sejak tadi memperhatikan Esther kini tersenyum miring. Arion Dawson baru saja tiba di negeri ini, tetapi dia justru dikejutkan dengan kedatangan wanita yang tak lain adalah kakak iparnya sendiri. “Sambutan yang sangat mengesankan, Kakak ipar,” gumamnya. Dengan senyum yang masih terpahat di bibir seksinya, dia beranjak dari sofa. Dia mengunci pintu terlebih dahulu sebelum akhirnya menuju ke atas ranjang. Dia berjongkok, melepas sepatu milik Esther lalu meletakkannya di lantai. Merasa sebuah sentuhan, Esther pun kembali tersadar. Dia membuka mata, dan melihat sosok pria yang mirip suaminya. Esther pun tersenyum. Tanpa pikir panjang, dia menarik kerah kemeja pria itu, dan membuatnya terjatuh di atas tubuhnya. “Temani aku malam ini,” bisiknya. Esther perlu melampiaskan segalanya, termasuk hasrat seksualnya. Sudah lama Erland tidak menyentuhnya. Mendengar itu, Arion menyunggingkan senyumnya. Lalu membalas ucapan Esther dengan suara beratnya. “Memangnya kau tahu siapa aku?” Esther malah tersenyum. “Tentu saja aku tahu.” “Baiklah, kalau begitu. Jangan menyesal!” Arion mulai melumat bibir Esther. Gerakannya sangat brutal, dan membuat Esther kehabisan napas. Buru-buru Esther melepaskan pagutannya. “Pelan sedikit, Sayang. Kau bisa membuat bibirku terluka,” bisik Esther. “Aku bahkan bisa membuatmu tidak bisa bicara.” Arion kembali meraup habis bibir Esther. Kali ini gerakannya cukup pelan. Dan itu membuat Esther tampak ketagihan. Lenguhan panjang mulai terdengar saat Arion menyentuh buah keranuman yang sejak tadi sangat menantang. Tidak puas karena terhalang kain tebal, Arion segera melepas dress yang dikenakan oleh Esther, dan menyingkirkan busa yang menutup dua buah keranuman itu. Esther tidak melawan. Di bawah pengaruh minuman beralkohol, dia justru menyambut sentuhan itu dengan tenang. Seolah semua dia lakukan dengan sadar. “Sentuh aku, Sayang!” Keesokan harinya, Esther dibangunkan oleh cahaya matahari yang mengintip melalui celah gorden yang sedikit terbuka. Saat membuka matanya lebar-lebar, dia melihat warna gorden yang berbeda dari sebelumnya. “Kapan aku mengganti gordennya?” batin Esther. Meski ada pelayan, Esther terbiasa melakukannya sendiri. Menyadari sebuah keanehan. Esther seketika mendudukan dirinya. Saat itu juga, tatapannya bertemu dengan bola mata hitam pekat milik seorang pria. Esther mematung sesaat. Belum hilang atas keterkejutannya karena keberadaan pria asing, Esther kembali dikejutkan dengan kondisi tubuhnya yang hanya tertutup selimut tebal. “Siapa kau? Apa yang kau lakukan padaku?” Pria yang kini duduk di sofa dengan handuk kimono yang melekat pada tubuhnya, menatap tajam ke arah Esther. Di bibirnya, seulas senyum terukir tipis. “Kau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Tuan Muda keluarga ini,” ucap pria itu. Esther terdiam. Sedikit banyak tahu tentang keluarga ini, bahwa mendiang ayah mertuanya memiliki anak lain, dari hasil pernikahan dengan wanita lain. Esther rasa, pria inilah yang dimaksud oleh Erland. Pria yang dibicarakan oleh para pelayan sebagai Tuan Muda. “Kau…” Esther sampai kehilangan kata-kata. Dia mencoba menggali ingatan semalam. Dan seketika itu dia memejamkan matanya erat-erat. Karena mabuk, dia jadi banyak kehilangan ingatan. “Kenapa kau bisa ada di kamarku?” cecar Esther. Arion menaikkan sebelah alisnya. “Kamarmu?” Pria itu tertawa miring. “Coba amati kembali, Kakak ipar. Kamar siapa yang kau maksud itu?” Esther mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Esther melihat ke arah dinding, tidak ada foto pernikahannya dengan Erland. Dia pun menelan ludah dengan sangat berat. Hari ini dia benar-benar ditampar oleh kenyataan yang pahit berkali-kali. Pertama-tama, dia mendapati kenyataan bahwa suaminya menikah lagi. Lalu kenyataan lain, dia terbangun di ranjang milik pria lain. Sungguh memalukan! “Jadi bagaimana, Kakak ipar?” Suara Arion menyentakkan Esther dari lamunannya. Dia kembali menatap pria itu, namun tidak lama dia kembali membuang muka. Tidak menjawab, Esther segera melompat turun. Mengenakan kembali pakaiannya di tengah-tengah rasa malu. Selesai berpakaian, Esther berniat meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata. Namun, sepertinya Arion tidak akan membiarkannya begitu saja. “Tunggu, Kakak ipar!” Tangan Esther yang hendak menekan knop pintu pun terhenti. Dia lantas berbalik, dan melihat Arion sudah berada di dekatnya. Dengan cepat pria itu memenjarakan tubuh Esther di antara kedua lengan kokohnya yang bertumpu pada pintu. “Apa ini balasan untuk orang yang sudah memuaskanmu? Hmmm?” Esther merapatkan tubuhnya pada pintu, mencoba menjauh. Aroma tubuh pria itu sungguh menyiksanya. Bahkan deru napasnya begitu dekat, meruntuhkan kesadarannya. “Aku salah, aku minta maaf.” Esther tidak ingin membuat masalah semakin besar. Esther berpikir dengan meminta maaf, maka semua masalah akan berakhir. Lagi pula, semua ini memang salahnya. “Tidak semudah itu.” Arion kembali mengukir senyum. Senyum tipis yang sangat menakutkan. “Coba lihat ini, Kakak ipar.” Arion mengeluarkan ponselnya, lalu memutar sebuah video. Seketika itu Esther membulatkan mata. Rupanya Arion sudah merekam kegiatan mereka tadi malam. Esther menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kepalanya menggeleng cepat. “Kau…apa yang akan kau lakukan dengan video itu?” “Bagaimana jika Erland melihatnya?” Esther kembali menggeleng. “Kumohon, jangan beritahu suamiku,” pinta Esther. Arion kembali tersenyum sembari menyimpan kembali ponselnya. “Dengan satu syarat,” ucap Arion. “Syarat? Apa?” “Jadilah penghangat ranjangku!”Tatapan Esther seketika membesar. Ia teringat dengan luka yang dialami oleh Tiara, membuat Esther seketika merinding. Sejak kapan Erland memiliki gaya bermain seperti itu? Yang pasti Esther tidak ingin mengalaminya. Ia sangat benci kekerasan. Sehingga ia harus mencari alasan supaya Erland tidak meminta haknya malam ini. Sebelum langkah mereka sampai pada kamar. Esther segera memegang perutnya.“Awh!” pekik Esther. Melihat itu, Erland segera merunduk. “Ada apa, Esther?” tanyanya penasaran. “Erland mendadak perutku sakit!” ringis Esther dengan ekspresi kesakitan yang dibuat sedemikian rupa. “Kenapa? Apa kau salah makan?” tanya Erland polos. Esther menggigit bibir bawahnya, sesekali melirik ke arah Erland. Tampak pria itu sangat khawatir. “Sepertinya iya,” jawab Esther dengan tidak melepaskan pegangannya pada perutnya. Erland yang berdiri di sisi wanita itu terlihat mulai panik. “Kalau begitu aku akan panggi
Esther menelan. Ludah kasar. Esther merasa seperti seorang pesakitan ketika tatapan setiap orang di ruangan itu langsung tertuju padanya. Seolah-olah ia baru saja melakukan kesalahan besar yang pantas dipertanyakan.Matanya berusaha menatap ke arah lain, namun rasa canggung membuat tubuhnya serasa membeku. Senyuman kaku yang ia paksakan justru semakin memperlihatkan kegugupan yang tidak mampu ia sembunyikan.“Esther, Kakek bertanya padamu. Kau dari mana saja? Kami semua menunggumu.” Ucapan Erland seolah menyadarkan Esther. Semua orang telah berkumpul termasuk Tiara. Corrina tampak duduk tak jauh dari single sofa yang diduduki Daxton. Sementara Tiara duduk berdekatan dengan Erland. Dengan langkah ragu ia mulai mendekati salah satu sofa yang kosong. “Maaf, saya baru saja berkunjung ke panti asuhan.” Jawaban Esther membuat Erland menyipitkan matanya. Tetapi ia tidak berkomentar apa pun. “Duduk!” titah Daxton. “Baik, Kakek.” Esther lantas menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa. Ruangan
Arion mengulas senyum ketika melihat pesan gambar yang dikirimkan oleh orang suruhannya. Terlihat Esther yang hendak masuk ke dalam sebuah bangunan. Di kedua tangannya terdapat kantong belanjaan. Saat mendengar Esther akan pergi ke suatu tempat, Arion merasa khawatir. Itu sebabnya ia memerintahkan seseorang untuk mengawasi wanita itu. Siapa sangka wanita itu justru pergi ke panti asuhan. “Sungguh mengesankan,” gumam Arion. Ia tak henti-hentinya memandangi gambar itu. Harusnya ia tetap berada di sisi wanita itu. Menemani setiap langkahnya menuju ke tempat yang dia inginkan. Tetapi panggilan dari Daxton harus membuatnya meninggalkan wanita itu.Sementara itu, kedatangan Esther di panti asuhan tersebut selalu mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi anak-anak yang tinggal di sana. Begitu kakinya melangkah melewati gerbang, beberapa anak langsung menyambut dengan wajah berseri-seri. Mereka berlarian kecil menghampirinya, memanggil namanya dengan penuh antusias.“Miss Esther datang!” t
Saat melihat nama Daxton Dawson, Arion merasakan firasat buruk. Pikirannya melayang pada Carlos. Apa pria itu sudah memberitahu kakeknya tentang apa yang sudah ia lakukan? Pikiran-pikiran itu berkeliaran merusak sistem kerja otaknya. Esther menatap Arion yang tampak terdiam. Ia melihat sesuatu yang berbeda dari pria itu–perubahan air wajahnya terjadi begitu drastis sehingga memicu sebuah pertanyaan yang bersarang di kepala Esther. “Ada apa?” Arion segera tersadar. Ia kembali menatap layar ponselnya yang masih mengeluarkan cahaya. Dan nama yang ada di layar, masih belum menghilang. Untuk meredakan suara bising itu, Arion terpaksa menerima panggilan. “Halo, Kakek.” Arion berjalan menjauhi Esther. Wanita itu hanya melihat saja tanpa berkomentar. Pembicaraan mereka pun tak terdengar. Lagi pula Esther sama sekali tidak tertarik. Bukankah setiap orang memiliki urusan masing-masing? “Temui aku sekarang!” Suara berat itu terdengar menembus gendang telinga Arion. Sehingga ia secara refl
Esther dan Arion telah tiba di rumah industri perhiasan, Majestic Gems milik Harvey yang tak lain adalah rekan bisnis Arion. Saat keluar dari mobil, kecemasan terlihat di wajah Esther. Ia teringat akan kejadian tadi yang mengiringi perjalanannya menuju kemari. Di mana Erland menyuruh orang untuk mengikuti dirinya. Esther memastikan sekali lagi bahwa tidak ada orang lain lagi yang mengintai dirinya. Arion melihat kekhawatiran Esther, lalu tersenyum. “Sudah tidak ada, tenang saja, Kakak ipar.”Esther menoleh, tatapannya menyipit. “Kau yakin?” “Apa aku terlihat berbohong?” Esther diam saja. Ia tidak lagi menjawab ucapan Arion. Ia segera berpindah ke sisi pria itu. Esther dan Arion lantas memasuki gedung pembuatan perhiasan yang tampak megah dengan dinding kaca bening yang memantulkan cahaya matahari pagi. Suasana di dalam gedung begitu tenang, hanya terdengar dengung halus dari mesin-mesin pengolah logam mulia di ruang belakang. Aroma khas logam yang dipanaskan samar memenuhi udara,
Suara dentuman keras terdengar, diikuti getaran hebat ketika mobil Robert menghantam batang pohon besar di sisi jalan.Benturan itu cukup kuat hingga bagian depan mobil ringsek parah. Kap mesin terangkat dan asap pekat mulai mengepul. Kaca depan pecah, serpihannya berhamburan, beberapa mengenai wajah Robert yang terkulai dengan darah mengalir di pelipisnya. Suasana berubah hening sesaat setelah kecelakaan itu, seolah dunia menahan napas. Hanya suara mesin yang masih berderu lemah dan gemerisik daun yang tersapu angin yang terdengar. Namun, kecelakaan itu tak membuat Robert tumbang begitu saja. Ia segera bangun meski pelipisnya mengalir cairan merah pekat. “Sialan!” umpatnya. Sementara itu, jauh di depan, Eric menyadari bahwa suara mesin yang mengejar dari belakang telah menghilang. Ia melirik kaca spion, pandangannya menyipit saat bayangan dari mobil Robert tidak lagi tampak mengikuti mereka.“Sepertinya telah terjadi sesuatu,” gumam Arion pelan, mencoba melihat ke belakang meski







