MasukNara menatap sosok yang berdiri di bawah cahaya lampu jalan itu dengan jantung berdegup kencang. Ia mengeratkan genggaman pada kunci mobilnya, bersiap jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
"Siapa kau?" suaranya tegas, meski ada sedikit getaran di dalamnya.
Sosok itu melangkah maju, membuat bayangannya semakin jelas. Dan ketika wajah itu tampak di bawah cahaya, napas Nara tercekat.
"Aku tidak menyangka kau akan pulang selarut ini, Nara," suara itu akrab, tetapi ada nada dingin yang membuatnya menggigil.
"Arka?" Mata Nara membulat, tubuhnya menegang.
Pria itu berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, matanya menatap lurus padanya. Sorot matanya tajam, seakan sedang menghakiminya.
"Kau dari mana?" tanyanya dengan nada rendah, nyaris seperti bisikan, tetapi penuh tekanan.
Nara berusaha menjaga ekspresinya tetap datar. "Bukan urusanmu."
Arka tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Bukan urusanku? Kau yakin?"
Nara mendengus. "Sejak kapan aku harus melapor padamu?"
Arka melangkah semakin dekat, membuatnya secara refleks mundur hingga punggungnya menyentuh pintu mobil. Wajah mereka kini hanya terpisah beberapa inci.
"Kau tahu, Nara?" bisiknya, jemarinya terulur menyentuh rahangnya perlahan. "Kau terlalu percaya diri. Dan itu bisa membahayakanmu."
Tubuh Nara menegang di bawah sentuhan itu, tetapi ia tidak mengalihkan tatapannya. "Apa yang kau inginkan?"
Arka menatapnya dalam-dalam, lalu tiba-tiba menarik diri. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Kau tahu bahwa permainan ini belum selesai, bukan?"
Nara menyipitkan mata. "Permainan? Apa maksudmu?"
Arka tersenyum miring. "Aku harap kau tidak terlalu dekat dengan orang yang salah, Nara. Karena jika kau salah langkah... aku tidak akan bisa menjamin keselamatanmu."
Ancaman tersirat itu membuat jantung Nara berdegup lebih cepat, tetapi ia menolak menunjukkan kelemahannya. "Oh, jangan kawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri."
Arka menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mundur. "Bagus kalau begitu. Karena mulai sekarang, kau harus lebih berhati-hati. Kau tak pernah tahu siapa yang benar-benar bisa kau percayai."
Tanpa menunggu jawaban, Arka berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Nara dengan ratusan pertanyaan yang berputar di kepalanya.
Nara berdiri diam beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas panjang. Tangannya sedikit gemetar saat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Ia menutup pintu dengan keras, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.
Ia tahu, apa yang dikatakan Arka ada benarnya. Tapi mengapa pria itu tiba-tiba muncul? Dan mengapa ia merasa seolah sedang diperingatkan? Atau... diancam?
Saat akhirnya ia melajukan mobilnya menuju garasi rumah, pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Arka. Nara mematikan mesin mobilnya dan melangkah keluar. Udara malam terasa dingin menusuk kulitnya, tetapi ada sesuatu yang lebih dingin menyusup ke dalam dirinya—perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.
Ia mendongak, dan tubuhnya kembali menegang.
Entah datang dari mana, seseorang berdiri menunggunya.
Cahaya lampu teras membuat sosok itu lebih jelas, dan kali ini, Nara merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar keterkejutan.
"Kau!?" Nara tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pria itu—Reno—menatapnya dengan mata yang tidak bisa dibaca. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat bulu kuduk Nara berdiri.
Nara menelan ludah, matanya mengamati pria yang berdiri di depannya. Ia baru saja bertemu Reno beberapa jam yang lalu, dan sekarang pria itu sudah berada di rumahnya.
"Kita harus bicara," katanya pelan, tetapi tegas. "Dan aku tidak akan pergi sampai kau mendengarkanku."
“Kau!?... Kau mengikutiku?” Nara terbelalak. "Reno, kau gila. Bagaimana kalau suamiku tahu?"
Reno tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis.
“Sebaiknya lain waktu saja. Sekarang tidak memungkinkan. Pergi dari sini sebelum suamiku pulang,” ucap Nara ditengah kepanikannya, Matanya memindai seantero tempat itu.
Tapi Reno menggeleng. "Tidak. Aku tidak bisa menunggu."
Nara menghela napas, lalu akhirnya berjalan menuju pintu. "Baiklah. Masuklah."
Reno mengikuti langkahnya, menutup pintu di belakang mereka. Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih kecil, lebih sesak dengan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
Tiba-tiba, suara mobil memasuki halaman rumah. Nara menegang seketika, mengenali suara itu.
Rama telah pulang.
Panik menjalar di tubuhnya. Ia menatap Reno dengan mata melebar, tetapi pria itu tetap tenang, seolah sudah memperkirakan situasi ini.
"Kau harus pergi," bisik Nara terburu-buru. "Lewat pintu belakang. Sekarang!"
Reno hanya menatapnya, lalu tersenyum samar. "Kenapa? Takut ketahuan?"
"Bukan waktunya bercanda, Reno!" suara Nara bergetar. "Tolong pergi sebelum—"
Suara pintu mobil tertutup. Langkah kaki Rama mendekat.
Jantung Nara serasa berhenti.
Dengan cepat, Nara menarik tangan Reno menuju pintu belakang. Namun, di luar dugaan, dengan gerakan sigap, Reno tiba-tiba membopong tubuh Nara dan membawanya mencari tempat yang aman. Di belakang sebuah sofa.
Dengan liar, bibirnya semakin buas melumat bibir Nara, sementara tangannya semakin agresif menelusuri setiap inci tubuhnya.
Langkah kaki semakin mendekat. menuju pintu utama.
Dan tiba-tiba, suara napas mereka tertahan dalam ketegangan yang membakar.
“Kau gila!” Nara berusaha menepis serangan memabukkan itu. Ia memandang Reno dengan tatapan penuh kepanikan. Jantungnya berdetak kencang saat suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Reno justru tersenyum tipis, jari-jarinya masih mengusap area area sensit dengan provokasi yang berbahaya.
“Dia sudah masuk,” bisik Nara tertahan, tubuhnya gemetar.
Reno seperti tidak perduli. Ia semakin ganas dalam aksinya.
Napas mereka saling bertabrakan dalam ketegangan yang mendidih. Pintu terbuka perlahan, suara sepatu menginjak lantai semakin mendekat.
Tubuh Reno menegang, reflek seketika. Ia memutar kepala perlahan, sorot matanya yang lelah langsung mengeras.Sosok itu—hanya beberapa meter jauhnya—berdiri diam. Siluet yang terserap pekat oleh kabut panas, sesekali tertelan oleh kilatan jingga dari sisa api yang masih merayap. Sebagian wajahnya tersorot, dan itu cukup.Wajah yang dikenalnya.Terlalu dikenal.Air asin bercampur jelaga menetes dari rambut sosok itu, menodai jaket kulit yang kini compang-camping, seolah baru saja diseret keluar dari perut reruntuhan. Namun yang membuat napas Reno tersangkut adalah tatapan mata itu—sepasang iris yang kosong, tak lagi membawa gejolak kebencian maupun harapan, hanya kehampaan yang dingin, sepi, seperti laut dalam di tengah malam.“…Kau…” Reno mencoba berbicara, tapi tenggorokannya tercekat, serak karena asap. “Mustahil… kau seharusnya…”“—mati?” Sosok itu memotong, suaranya pelan, senyumnya tipis, lebih menyerupai ejekan lembut daripada sapaan. “Sayangnya, dunia tak semurah itu, Reno.”Ia
“Nara!” teriak Reno, suaranya bukan lagi teriakan pertempuran, melainkan jeritan putus asa seorang pelindung.Tak ada jawaban—hanya gemuruh api yang memakan kayu, desis nyala yang seolah mengejek, dan napas Reno sendiri yang terasa tajam dan menyesakkan di tenggorokan.Ia menerjang ke dalam kepulan asap, bau hangus memedihkan mata dan bensin menusuk hidungnya. Panas itu terasa menghanguskan harapan, bukan sekadar membakar kulit. Setiap langkahnya adalah pertaruhan, sepatu berdecit di lantai yang retak, yang sudah mulai menyerah pada amukan api.Di dekat tumpukan peti, ia melihat Nara. Kursi rodanya terguling, lambang ketidakberdayaan yang menyayat, tubuhnya setengah jatuh. Selimut yang menutupi adalah satu-satunya pelindung yang kini tinggal abu di sisi tubuhnya. Reno tanpa berpikir meraih tubuh itu, mengangkatnya dalam pelukan protektif, merasakan bobot ringan dan rapuh yang harus ia selamatkan.“Tahan, Nar—tahanlah sebentar,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri, mencari kekuatan
Suara ombak menghantam batu karang di kejauhan, kini terdengar lebih dekat, seperti detak jam yang memperingatkan waktu yang hampir habis. Angin laut yang dingin membawa aroma asin, bercampur anyir karat dan samar bau darah. Dita baru saja mengunci rapat pintu besi gudang tua itu, dan bunyi klik yang mematikan itu terasa seperti pukulan ke dada Reno. Di luar, hujan rintik telah berubah menjadi gerimis yang menusuk, memantulkan cahaya kuning pucat dari lampu mobil yang menyala redup, menciptakan ilusi suram.Reno terhuyung dan berlutut di tanah lumpur. Bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi karena beban kegagalan yang menindihnya. Napasnya tersengal, seperti paru-parunya penuh air dingin. Jari-jarinya yang gemetar memegang pistol, benda dingin yang kini terasa tidak berguna.Di belakangnya, Rayan merintih, suaranya tercekat oleh rasa sakit yang dalam. Ia bersandar di pohon pinus yang basah, darahnya menetes, menciptakan noda gelap yang dengan cepat diserap oleh tanah liat. Udara di
Tok… tok… tok.Suara ketukan itu datang begitu pelan, tapi energinya cukup untuk membekukan darah di pembuluh nadi Reno. Dunia terasa terdistorsi. Angin malam seolah menahan napasnya, dan derik jangkrik menghilang total. Yang tersisa hanyalah denting halus dari kuku Dita yang menyentuh permukaan logam mobil, sebuah ritme yang dingin yang mengumumkan kedatangan kematian.Reno memejamkan mata, hanya sepersekian detik, memaksa paru-parunya untuk mengingat cara bernapas yang benar. Di sebelahnya, Rayan menatap dengan mata kosong, kulit wajahnya pucat pasi. Ia tak hanya takut; ia merasa bodoh. Mereka berdua baru saja menyadari bahwa bersembunyi di bagasi mobil hanyalah pindah dari satu kandang ke perut binatang buas yang sudah kenyang—dan binatang itu tahu persis di mana mereka berada.Langkah kaki Dita terdengar semakin dekat. Setiap injakan tumitnya yang rapi beradu dengan tanah lembap, menciptakan gema yang menghina di keheningan malam. Ia tidak terburu-buru, dan justru ketenangan yang
Mobil melaju membelah malam, menembus jalan pesisir yang sepi dan lembap. Hujan baru saja usai, menyisakan embun tebal di kaca jendela dan aroma asin laut yang terasa menusuk. Di dalam bagasi yang gelap, Reno dan Rayan nyaris tak berani bernapas, menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Suara mesin mobil, derit roda yang melewati genangan air, dan detak jantung mereka sendiri berpadu menjadi satu kesunyian yang mencekam.Reno berusaha keras menatap melalui celah sempit di penutup bagasi. Ia hanya bisa melihat pantulan samar cahaya lampu jalan yang sesekali menyinari kursi belakang—siluet tempat Dita dan Nara duduk. Setiap detik terasa seperti jam. Pikirannya berlari kencang, menyadari bahwa salah perhitungan sekecil apa pun bisa menjadi akhir hidupnya.Dari earset kecil yang terpasang di telinganya, suara Phantom terdengar lirih, hampir seperti bisikan dari dimensi lain.“Kau masih hidup, Reno?”Reno menjawab dengan suara tercekat, “Masih. Kami di bagasi. Mobil ber
Langit di atas pelabuhan tampak muram dan lelah, sisa warna oranye senja telah tenggelam sepenuhnya di antara garis ombak dan siluet kapal-kapal besar yang berderet pasrah. Angin laut membawa campuran aroma asin dan bau oli yang kental, menciptakan atmosfer berat yang menekan. Di ujung dermaga, sebuah kapal pribadi dengan lambung hitam berkilat diam-diam menurunkan tangga logamnya. Di sana, Dita berdiri tegak, terbungkus mantel panjang gelap yang menyembunyikan hampir seluruh dirinya. Dengan tangan yang terlihat mantap, ia mendorong kursi roda yang diduduki Nara, kepala perempuan itu terkulai lemah di bahunya, seolah seluruh energinya telah habis.Wajah Dita nyaris tanpa ekspresi, sebuah topeng sempurna, tapi matanya tak pernah diam, tajam dan waspada seperti elang yang tengah menilai setiap jengkal situasi. Ia merasakan keganjilan malam itu. Angin terasa terlalu hening, jumlah pekerja pelabuhan terlalu minim, dan udara di sekitarnya seolah menahan napas. Namun, Dita berusaha keras me







