Nara duduk di dalam mobil, jari-jarinya menggenggam setir dengan erat. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan bayangan gedung tua tempat ia berjanji bertemu dengan seseorang. Hatinya berdebar kencang. Apakah ini keputusan yang tepat?
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk: "Aku sudah di dalam. Masuklah. Jangan coba-coba membawa orang lain."
Menelan ludah, Nara menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil dan melangkah ke dalam gedung. Cahaya lampu redup membuat suasana terasa lebih menekan. Setiap langkahnya bergema di lorong sempit itu.
Di sebuah ruangan kecil, seseorang duduk dengan tenang, menunggunya. Wajah itu tersamar oleh bayangan, Ada sedikit rasa was-was dalam hati Nara. Tetapi ketika ia melangkah lebih dekat, ia merasa lega setelah melihat orang itu dengan jelas.
"Kamu sudah datang," ujar orang itu dengan nada tenang.
Nara mengangguk, menatapnya tanpa keraguan. "Aku ingin tahu semuanya. Jangan ada yang disembunyikan dariku."
Orang itu menyeringai, matanya menelusuri wajah Nara dengan intensitas yang membuatnya merasa terperangkap. "Sejak kapan kamu begitu berani kepadaku, Nara?"
Langkahnya semakin mendekat, hanya menyisakan jarak yang begitu tipis di antara mereka. Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa lebih panas. Napas Nara sedikit tertahan saat jemari orang itu menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya sedikit.
"Apa kamu benar-benar ingin tahu, duhai Manisku, hmm?" bisiknya, nyaris seperti godaan.
Nara hanya menelan ludah, tetapi ia tidak mundur. Ada sesuatu dalam tatapan orang itu yang menariknya ke dalam pusaran gelap yang mengancam kewarasannya. Sensasi dingin dan panas bercampur menjadi satu saat jemari itu beralih menyentuh pergelangan tangannya, menggenggamnya erat.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk permainan ini," ujar Nara, mencoba mengendalikan nada suaranya yang sedikit bergetar. "Katakan sekarang apa yang harus kuketahui."
Senyum tipis itu semakin melebar. "Oh, Sabar dulu Manis. Semua akan terungkap... dengan caraku tentunya, hahaha."
Nara merasakan tubuhnya menegang ketika orang itu semakin mendekat. Ada ancaman tersembunyi di balik keintiman ini, sesuatu yang membuatnya harus waspada... sesuatu yang membuat darahnya berdesir.
Tangan orang itu bergerak lebih jauh, ujung jarinya melintasi garis rahang Nara dengan perlahan. "Kenapa kamu tegang sekali? Apa yang kamu takutkan, hmm? Aku?" bisiknya, bibirnya hampir menyentuh telinga Nara.
Nara menarik napas tajam, tetapi tetap diam. Ia tahu ini permainan dominasi, dan ia tak ingin kalah begitu saja.
"Kau lebih menikmati yang seperti ini, bukan?" Orang itu mendekatkan tubuhnya, nyaris menempel pada Nara.
"Kau tetap saja seorang bajingan, Reno. Jangan bermain-main denganku," desis Nara, matanya menyala dengan ketegangan. "Katakan saja apa yang kau tahu."
“Ha-ha-ha-ha,” Reno tertawa penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi kau harus siap. Kebenaran ini... mungkin akan mengubah segalanya."
Tatapan mereka bertaut, menciptakan ketegangan yang tak terelakkan. Nara bisa merasakan detak jantungnya menggila saat orang itu akhirnya membuka mulutnya, suaranya berbisik di udara yang terasa semakin berat.
"Arka dan Dita... mereka bukan sekadar sekutu. Mereka punya tujuan yang lebih besar, dan kau adalah bagian dari semua permainan mereka."
Nara menyipitkan mata, mencoba mencerna kata-kata itu, "Kau sudah mengatakan itu kepadaku kemarin. Yang aku ingin tahu, sebenarnya apa yang mereka inginkan dariku?"
Reno tersenyum tipis, kali ini dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Mereka ingin menghancurkanmu, Nara. Dengan cara yang paling menyakitkan. Dan sayangnya... mereka sudah hampir berhasil."
Jantung Nara serasa berhenti. Ada sesuatu dalam cara orang itu mengatakannya yang membuat bulu kuduknya meremang. "Lalu... kenapa kau memberitahuku hal ini?"
Reno seketika mendekatkan wajahnya lebih dekat lagi, hampir menyentuh bibir Nara. "Karena aku punya rencana lain. Dan kau?... Kau adalah bagian dari rencana itu."
Nara menghela napas, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya. "Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku, Tuan Reno?"
Senyuman itu semakin melebar. "Kesetiaanmu. Kepercayaanmu. Dan mungkin... sesuatu yang lebih dari itu."
Nara menyipitkan mata, menahan amarah yang mulai mendidih di dalam dirinya. "Aku bukan bidak yang bisa kau gerakkan semaumu. Apkah kau pikir aku akan pecaya perkataan dari seorang pembohong macam kau hah?… Jika kau ingin aku percaya, beri aku satu alasan untuk mempercayai apa yang kau omongkan itu."
Reno mengangkat alisnya, seolah terhibur oleh keberanian Nara. "Baiklah," katanya perlahan. "Aku akan memberimu bukti. Tapi kau harus melakukan sesuatu untukku terlebih dahulu."
"Apa?" tanya Nara tajam.
"Temui Arka besok malam. Aku ingin kau memancingnya... buat dia berbicara. Dan aku ingin mendengar setiap detailnya."
Nara terkejut. " Apa?! kau ingin aku memata-matainya?"
"Anggap saja kau mencari kebenaran, Sayang," jawabnya sambil tersenyum licik. "Lakukan ini, dan aku akan memastikan kau tahu segalanya sebelum semuanya terlambat."
Nara menatap dalam ke matanya. Firasatnya mengatakan ini adalah perangkap, tetapi ia juga tahu bahwa ia tak punya banyak pilihan.
"Baik," ucapnya akhirnya. "Aku akan melakukannya."
Orang itu tersenyum puas, tangannya meluncur ke pinggang Nara, menariknya lebih dekat. "Bagus. Dan sebagai imbalan... aku akan memastikan kau mendapatkan lebih dari sekadar kebenaran."
Nara tak menepisnya, membiarkan sensasi berbahaya itu mengalir di tubuhnya. Ia tahu dirinya sedang bermain api. Tapi mungkin, justru api inilah yang akan menuntunnya menuju jawaban yang selama ini ia cari.
Sampai beberapa saat, Nara hanya mandah saja, membiarkan godaan itu merayapi dirinya. Ia hanya bisa menahan nafas, dan memejamkan matanya Ketika Reno memainkan lidah kasar menyapu di area belakang telinga Nara. Membuat Nara terpaksa menikmati sensasi permainan Reno. Dan....
"Kita lihat saja besok malam," bisik Reno tepat di telinganya, mendadak berlalu begitu saja. Meninggalkan aroma misteri yang tak bisa dihindari.
Nara hanya berdiri mematung. saat sosok itu mendadak meninggalkannya. menyisakan sebuah janji yang menggantung.
Saat akhirnya ia pulang ke rumah, pikirannya masih dipenuhi dengan pertemuan dengan mantan keasihnya itu. Mobilnya melaju pelan di sepanjang jalan, dan ketika sampai di depan rumah, ia mendadak menginjak rem.
Seseorang berdiri di sana, menunggunya. Sosok yang samar dalam cahaya lampu taman, tetapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang.
"Kita perlu bicara, Nara," suara itu menusuk ke dalam kesadarannya, terdengar penuh harap meskipun terkesan dingin.
Sementara itu, jauh dari kantor Rama, Dita sedang duduk nyaman di ruang tamu apartemennya yang mewah. Sebuah anggur merah dalam gelas kristal berayun pelan di tangannya, sementara senyum kemenangan tak pernah lepas dari wajahnya.Ia baru saja mematikan panggilan dengan Soraya, dan ekspresi puas itu kini semakin mendalam."KaubBodoh Spraya, sangat bodoh!" gumamnya pelan, menatap bayangan dirinya di dinding kaca.Soraya panik, dan Rama… tentu saja, pikirannya akan langsung mengarah ke Soraya. Hubungan gelap mereka bukan rahasia lagi baginya. Dan Rama—pria yang selalu merasa dirinya bijak—akan melihat semua tanda mengarah pada satu nama: Soraya.Skenario yang nyaris sempurna.Dita mengangkat ponsel dan membuka rekaman suara panggilan terakhirnya dengan Soraya. Ia tersenyum, lalu menekan ikon kirim dan mengarsipkannya ke beberapa akun cadangan."Kalau keadaan memburuk," ucapnya sambil menyesap anggur, "aku sudah punya cukup bukti untuk menenggelamkan Soraya sepenuhnya."Dita berdiri dan b
Kantor Rama tampak lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara dentingan jam dinding yang terdengar samar di antara langkah-langkah cepat para staf yang sesekali melintas di koridor luar. Namun di dalam ruang kerjanya yang luas dan tertutup rapat, situasinya jauh dari tenang.Rama berdiri membelakangi meja kerjanya, ponsel menempel di telinga. Suaranya tajam, penuh tekanan.“Cek semua rekaman CCTV hotel itu. Periksa plat nomor kendaraan yang keluar dari basement antara pukul sebelas sampai dua siang. Jangan sampai ada yang lolos. Saya tidak peduli caranya bagaimana.”Ia menghentikan langkah, menahan napas, mendengarkan laporan dari ujung sana.Lalu nada bicaranya meninggi. “Kalau perlu, sebar orang ke semua titik yang pernah dia datangi. Saya ingin tahu Nara ada di mana, sekarang juga. Cepat!”Tombol merah di layar disentuh paksa. Panggilan terputus. Segera ia menelpon nomor lain.“Kalian belum menemukan sinyal GPS-nya? Bodoh sekali kalian!” suara Rama terdengar semakin tegang. “Ponselnya
Langit mulai menghitam. Gerimis tipis turun sejak senja, membasahi kaca jendela kamar Reno yang masih menyala terang. Ponsel di tangannya tampak hangat karena terlalu sering ditekan berulang-ulang pada nomor kontak yang sama, dengan harapan berbeda, tapi hasilnya tetap nihil.Nomor Nara tak bisa dihubungi.Sejak pagi tadi, ia sudah mencoba menelepon lebih dari dua puluh kali. Semula ia mengira ponsel Nara mungkin kehabisan baterai. Namun ketika menjelang sore nomor itu masih tidak aktif, dan pesan-pesan WhatsApp tak kunjung centang dua, kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya.Ia berdiri di depan jendela, memandang lampu-lampu kendaraan yang merambat pelan di jalanan kota yang padat. Lalu, tanpa pikir panjang, ia meraih jaket kulitnya dan kunci motor di atas meja.Tidak bisa hanya duduk diam.Ia harus memastikan sendiri.**Sepuluh menit kemudian, mesin motornya menderu melewati jalan-jalan basah. Helm menutupi sebagian wajahnya, namun tidak cukup untuk menyembunyikan ekspresi tegan
Tubuh Nara membeku seketika saat sosok yang berdiri di hadapannya tersenyum tenang. Rambutnya ditata rapi, wajahnya seperti biasa tampak tak bercela, seolah tak pernah disentuh kekacauan dunia. Dita.Waktu seolah berhenti. Sejenak Nara hanya mampu menatap tanpa kata. Kepalanya penuh pertanyaan, namun mulutnya tak kunjung mampu mengeluarkan satu pun.Dita melangkah maju dengan sikap tenang namun tidak mengancam. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, seperti seseorang yang sedang menenangkan binatang yang ketakutan.“Nara…” katanya dengan suara lembut, penuh kehati-hatian. “Kau pasti bingung. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu. Apa yang kulakukan ini… semata-mata demi keselamatanmu.”Nara mundur satu langkah, mata masih membelalak. “Kau… menculikku.”Dita menggeleng, tanpa tergesa. “Tidak. Aku menyelamatkanmu.”"Tanpa persetujuanku?" Nada suara Nara mulai meninggi.Dita menghela napas pelan. “Aku tahu kau marah. Aku mengerti. Tapi dengarkan aku dulu. Hanya beberapa
Di ruang kerjanya yang sunyi, hanya terdengar bunyi detik jam dinding yang seolah memantul dari kaca-kaca jendela besar. Matahari telah condong ke barat, menyinari permukaan meja kayu mahoni dengan lembut. Namun bagi Rama, waktu terasa membatu.Ia menatap layar ponsel di tangannya—satu-satunya benda yang kini seolah menghubungkannya dengan Nara. Sudah berkali-kali ia mencoba menelepon, namun jawaban yang diterima tetap sama: tidak aktif.Dahi Rama berkerut. Tangannya mengepal, lalu kembali mengetik. Kali ini, bukan untuk menghubungi Nara. Ia membuka saluran komunikasi khusus yang hanya digunakan untuk kepentingan pengawasan diam-diam.Sambungan langsung tersambung setelah nada tunggu ketiga."Ya, Tuan Rama," suara dari seberang terdengar tenang, seperti biasa."Di mana dia?" tanya Rama singkat, namun tekanan dalam suaranya tak dapat disembunyikan."Tuan maksud, Nyonya Nara?""Ya. Ponselnya mati sejak pagi. Kau bilang dia tetap di hotel. Aku ingin kepastian."Hening sejenak di ujung sa
Apartemen mewah di kawasan elit itu sunyi. Hanya suara detik jam dan sesekali bunyi deru mobil dari kejauhan yang terdengar. Di dalam ruang kerja yang dikelilingi rak buku dan layar-layar monitor kecil, Dita duduk bersandar di kursi kulit berwarna coklat tua, tubuhnya sedikit miring, satu kaki disilangkan. Di tangannya, sebuah ponsel menyala—panggilan tersambung dengan seseorang yang suaranya terdengar berat, penuh kehati-hatian."Jadi... kau sudah berada di lokasi?" tanya Dita pelan.Suara laki-laki di seberang terdengar seperti bisikan, tapi penuh tekanan. “Sudah. Timku menunggu di sekitar hotel. Kami tidak bersenjata. Seperti yang Anda minta—tanpa paksaan. Tanpa jejak.”“Bagus.” Dita menarik napas dalam. Ia menatap foto Nara di layar monitor—hasil tangkapan kamera pengawas yang sudah ditanam sebelumnya di sekitar hotel. “Ingat, dia tidak boleh merasa seperti korban. Dia harus merasa bahwa semua ini adalah pilihannya sendiri.”“Dan jika dia menolak?” tanya suara itu lagi.Dita terd