Nara dengan penuh keraguan meraih ponsel itu, lama ia tertegun. Sementara Arka menyandarkan sisi tubuhnya ke dinding dan menyulut rokoknya. “Ayo angkatlah, Nara. Siapa tahu Reno-mu itu sedang kangen sama kamu,” sindir Arka, menghembuskan asap rokoknya ke langit-langit ruangan. senyumnya seperti mengejek tapi penuh perhatian.Nara tidak segera mengangkat panggilan dari Reno. Ponsel itu pun berhenti berdering. Mendadak, ada sesuatu terbersit di benak Nara. Dengan langkah mantap, ia mendekat ke arah Arka yang masih berdiri dengan sikap santainya.Tanpa peringatan, Nara melingkarkan lengannya di leher Arka, tubuhnya rapat menyatu. Matanya menatap lekat, penuh gairah yang tak biasa. “Nara...?” Arka merasa kaget dan tertegun, merasa kejadian yang di depan matanya sama sekali di luar gugaannya. Arka pun tak sempat melanjutkan kata-katanya saat bibir Nara sudah menyergap bibirnya.Tidak ada kelembutan di sana. Tidak seperti biasanya. Ciuman Nara liar, seakan ingin menghancurkan segala batas y
Di tempat lain.Dita sedang berdiri di depan jendela besar apartemennya, menatap rinai hujan yang jatuh deras mengguyur di luar. Tangannya memegang gelas anggur merah, tapi bibirnya tak sedikit pun menyentuh tepian gelasnya. Pikirannya penuh dengan berbagai skenario tentang Nara, tentang rencana-rencana yang sudah ia disusun rapi. Semuanya seharusnya berjalan sempurna.Terdengar ketukan di pintu.Tanpa menoleh, Dita tahu siapa yang datang. Suara ketukan yang ragu-ragu, nyaris tak terdengar. Arka. Ia menghela napas panjang sebelum mengucapkan, “Masuk.”Pintu terbuka perlahan. Arka melangkah masuk dengan wajah tertunduk. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya meneteskan air ke lantai marmer putih. Pakaiannya kusut, dan ada semburat kegelisahan di matanya. Sejenak, ia hanya berdiri di ambang pintu, seakan sedang Menyusun dan menimbang kata-kata yang akan diucapkannya kepada Dita."Aku... aku perlu bicara, Dita"Dita tetap diam, pandangannya masih terpaku pada jendela. “Kenapa tidak langsung sa
Pintu terbuka perlahan, engselnya berderit pelan, memecah keheningan di dalam apartemen. Dita menahan napas, tubuhnya tegang. Namun, saat pintu terbuka sepenuhnya, tak ada siapa pun di sana. Koridor apartemen tampak kosong, hanya suara hujan yang samar terdengar dari luar jendela di ujung lorong.Dita melangkah maju, menatap ke kanan dan kiri. Sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ia menghela napas, mencoba meredam detak jantungnya yang masih berdetak kencang. Tapi rasa waspada tak kunjung hilang. Seseorang baru saja berdiri di depan pintunya. Seseorang yang tahu terlalu banyak.Saat hendak kembali ke dalam, matanya menangkap sesuatu yang aneh di lantai depan pintu. Sebuah amplop cokelat kusam tergeletak di sana. Tak ada nama atau alamat. Hanya amplop lusuh yang tampak terburu-buru dilemparkan.Dita memungut amplop itu, merasakan bobotnya yang ringan. Ia melangkah masuk dan menutup pintu dengan cepat, mengunci rapat-rapat seolah ketakutan sesuatu akan menyelinap masuk.Jari-jarinya gem
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Rama yang berdiri tegap dengan rahang mengeras dan mata tajam yang menyala penuh kemarahan. Dita menelan ludah, menyembunyikan pisau lipat di belakang punggungnya dengan tangan yang sedikit gemetar.“Kau…” suara Rama rendah dan tajam seperti bilah pisau. “Katakan, Di mana Nara?”Dita mencoba mengatur ekspresinya, berusaha terlihat tenang meski dadanya berdegup kencang. “Nara? Maksudmu apa, Rama?”“Jangan pura-pura bodoh, Dita!” Rama melangkah masuk tanpa diundang, bahunya menyenggol keras bahu Dita hingga ia hampir terhuyung mundur. “Mobilnya masih di garasi. Tapi dia tidak ada di rumah. Ponselnya mati. Kau pasti tahu sesuatu.”Dita berdiri kaku di ambang pintu, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Aku... aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak bertemu dengannya sejak terakhir kali kita—”“Hallah! Jangan bohong!” Rama berbalik, menatapnya tajam. Matanya merah, garis wajahnya tegang seperti siap meledak kapan saja. “Nara sering datang ke sini,
Tapi tiba-tiba, sekelebat bayangan melintas. Sebelum Arka sempat bereaksi, sebuah tangan menyambar ponselnya dengan Gerakan sangat cepat.“Hei! Sialan!” Arka terkesiap, tubuhnya refleks berdiri dari motor. Matanya menangkap sosok memakai sweater hitam yang sudah berlari kencang menjauh sambil menggenggam ponselnya erat-erat.Arka memaki keras, darahnya berdesir panas. “Berhenti kau, bangsat!” Ia langsung mengejar, langkahnya lebar dan cepat, berusaha memperpendek jarak dengan si pencuri.Sosok ber-sweater hitam itu terus berlari menuju sepeda motor lain yang terparkir tak jauh dari sana. Seorang pria dengan helm full-face sudah menunggu di atas motor, mesin menyala, siap untuk melarikan diri.Mata Arka membelalak marah saat menyadari ini adalah aksi terencana. “Kurang ajar! Kalian sudah mengintai sejak awal!”Langkahnya semakin cepat, hampir saja ia berhasil meraih bahu si pencuri. Namun, tepat saat jari-jarinya hendak menyentuh sosok ber- sweater hitam itu, sosok tersebut melompat ke
Dita menatap Nara lekat-lekat. Dalam sekejap, ia merasa kasihan pada perempuan itu. Sejenak, hanya sejenak, perasaan yang selalu ia tolak itu muncul lagi—perasaan yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Perasaan sayang pada Nara. Namun, ia segera mengusirnya jauh-jauh.“Kau... jangan berpikiran yang aneh-aneh, Nara,” ujar Dita dengan suara lembut yang dipaksakan. “Aku yakin... semua ini hanya kebetulan. Mungkin... seseorang iseng.”“Tapi... siapa yang tega melakukan itu? Dan... kenapa?” Nara terdengar putus asa.Dita terdiam, tak mampu menjawab. Karena ia sendiri pun sedang bertanya-tanya hal yang sama. Siapa yang ingin menghancurkan semuanya? Siapa yang ingin mempermainkan mereka seperti bidak catur?Ponsel di dalam tas Dita bergetar pelan, memecah keheningan di antara mereka. Dita mengeluarkannya, matanya menyipit saat membaca nama di layar: Arka.Dita segera mematikan ponsel, memasukkannya kembali ke dalam tas tanpa ekspresi. Ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara dengannya. Teru
Nara menatap layar ponselnya dengan frustrasi. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Dita, tapi panggilannya selalu berujung pada nada mati. Pikirannya kacau. Rasa gelisah yang merayap di benaknya sejak menerima telepon dari Dita tadi tak juga hilang. Ia ingin segera pergi ke apartemen Dita untuk memastikan rahasia apa yang ia ketahui tentang Rama, tapi jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari.Ia menundukkan kepala, menggigit bibir, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ponsel masih ia genggam erat, seakan menunggu keajaiban bahwa Dita akan tiba-tiba menelepon balik. Tapi layar tetap gelap, sunyi, tidak ada tanda-tanda kehidupan.Di sisi lain, Rama yang sudah selesai mandi, sejak tadi memperhatikan sikap gelisah Nara hingga sampai mereka beranjak tidur. Ia memejamkan mata, menghela napas berat, lalu beranjak mendekat. Dengan hati-hati, ia melingkarkan lengannya di pinggang Nara dari belakang, merapatkan tubuhnya ke tubuh Nara.“Kamu kenapa sih?” tanya Rama
Nara sedang berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan tatapan penuh tekad. Kedua tangannya sibuk mengancingkan mantel panjang yang membungkus tubuhnya. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai, hanya sesekali ia rapikan dengan jari. Di dalam dadanya, rasa gelisah bercampur dengan keingintahuan yang membakar. Apa yang sebenarnya Dita ketahui tentang Rama? Dan mengapa perempuan itu menghilang setelah menghubunginya tadi malam?Ia meraih ponsel di atas meja rias, menekan kontak Dita sekali lagi. Masih mati. Hatinya semakin tidak tenang.“Kamu mau ke mana?”Suara Rama mengejutkannya. Ia berbalik, mendapati suaminya sudah berdiri di ambang pintu kamar dengan tangan menyilang di dada. Rambutnya masih sedikit basah, tanda ia baru selesai mandi. Wajahnya yang tajam tampak serius, nyaris curiga.“Aku mau ke apartemen Dita.” Nara mencoba terdengar biasa saja. “Ponselnya masih mati sejak tadi malam. Aku khawatir.”Rama menghela napas, melangkah mendekati Nara. “Dita bisa menjaga diri
Di ruang kerjanya yang sunyi, hanya terdengar bunyi detik jam dinding yang seolah memantul dari kaca-kaca jendela besar. Matahari telah condong ke barat, menyinari permukaan meja kayu mahoni dengan lembut. Namun bagi Rama, waktu terasa membatu.Ia menatap layar ponsel di tangannya—satu-satunya benda yang kini seolah menghubungkannya dengan Nara. Sudah berkali-kali ia mencoba menelepon, namun jawaban yang diterima tetap sama: tidak aktif.Dahi Rama berkerut. Tangannya mengepal, lalu kembali mengetik. Kali ini, bukan untuk menghubungi Nara. Ia membuka saluran komunikasi khusus yang hanya digunakan untuk kepentingan pengawasan diam-diam.Sambungan langsung tersambung setelah nada tunggu ketiga."Ya, Tuan Rama," suara dari seberang terdengar tenang, seperti biasa."Di mana dia?" tanya Rama singkat, namun tekanan dalam suaranya tak dapat disembunyikan."Tuan maksud, Nyonya Nara?""Ya. Ponselnya mati sejak pagi. Kau bilang dia tetap di hotel. Aku ingin kepastian."Hening sejenak di ujung sa
Apartemen mewah di kawasan elit itu sunyi. Hanya suara detik jam dan sesekali bunyi deru mobil dari kejauhan yang terdengar. Di dalam ruang kerja yang dikelilingi rak buku dan layar-layar monitor kecil, Dita duduk bersandar di kursi kulit berwarna coklat tua, tubuhnya sedikit miring, satu kaki disilangkan. Di tangannya, sebuah ponsel menyala—panggilan tersambung dengan seseorang yang suaranya terdengar berat, penuh kehati-hatian."Jadi... kau sudah berada di lokasi?" tanya Dita pelan.Suara laki-laki di seberang terdengar seperti bisikan, tapi penuh tekanan. “Sudah. Timku menunggu di sekitar hotel. Kami tidak bersenjata. Seperti yang Anda minta—tanpa paksaan. Tanpa jejak.”“Bagus.” Dita menarik napas dalam. Ia menatap foto Nara di layar monitor—hasil tangkapan kamera pengawas yang sudah ditanam sebelumnya di sekitar hotel. “Ingat, dia tidak boleh merasa seperti korban. Dia harus merasa bahwa semua ini adalah pilihannya sendiri.”“Dan jika dia menolak?” tanya suara itu lagi.Dita terd
"Kenapa ponselmu mati?" gumamnya lagi, kini suaranya lebih rendah, lebih berbahaya. Ia mencoba mengingat. Terakhir mereka bicara, Nara tampak gelisah. Tapi dia pikir itu karena pertengkaran kecil mereka sebelumnya. Ia tidak menyangka Nara akan pergi diam-diam. Apalagi jam segini. Apalagi... setelah kabar duka soal Arka yang tadi muncul di TV. Arka. Nama itu menggema di benaknya. Dan bersamaan dengan itu, muncul gelombang kecurigaan yang dingin dan tajam. Apakah Nara tahu sesuatu? Apakah dia pergi untuk menemui seseorang?Reno?Mantanannya?Nama itu muncul begitu saja, menghantam benaknya seperti palu. Rama mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Kilasan kenangan—percakapan, sorot mata Nara saat nama Reno disebut, dan jarak yang makin terasa di antara mereka—semuanya membentuk pola yang tak bisa lagi ia abaikan.“Jadi ini alasannya kau terus berubah, Nara?”Pintu kamar mendadak berderit pelan.Rama sontak menoleh. Tangannya reflek menyentuh ponsel di meja. Tatapannya langsung mengunci
Soraya berdiri di depan cermin panjang kamarnya, wajahnya masih basah usai membasuhnya dengan air dingin. Matanya memerah—bukan karena tangis, tapi karena emosi yang tak bisa lagi dikekang. Tangannya mencengkeram erat tepi meja rias, kuku-kukunya menekan kayu dengan keras hingga sendi-sendinya menegang."Apa sebenarnya maumu, Dita...?" desisnya lirih, tapi penuh bara.Ia sudah lama curiga. Dita terlalu banyak bermain api, terlalu lihai menebar umpan dan terlalu cepat menyingkirkan pion-pion yang tak lagi ia butuhkan. Dan kini, setelah Arka tewas dalam kecelakaan yang tak masuk akal, Soraya merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres.“Jangan-jangan Arka… Sial! Apakah sebenarnya Dita terlibat?”Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalanya.Dari awal, Soraya memang punya tujuan yang jelas: mendapatkan Rama. Bukan hanya cintanya—jika itu bisa disebut cinta—tapi seluruh yang menyertai pria itu. Nama, kekayaan, dan semua akses eksklusif yang hanya dimiliki seorang pria dengan reputasi sekua
"Aku tadinya gak tega, sungguh," lanjutnya, matanya menerawang ke lampu-lampu jalanan di bawah sana. "Tapi kau yang memaksa, Arka. Kau berani berkhianat padaku. Kau ancam rencanaku. Bahkan kau sempat menakut-nakuti aku dengan pesan-pesan itu... kau pikir aku akan diam saja? Kau pikir kau bisa memegang kendali?"Dita tertawa lagi, kali ini lebih keras. Wajahnya bersinar oleh rasa puas yang tak bisa disembunyikan. Angin malam menyibak sebagian rambutnya, tapi ia tak peduli."Terpaksa, Arka... terpaksa sekali. Tapi terima kasih, ya? Kau sudah jadi senjata pembuka jalan untuk rencana besar ini. Indah sekali... kematianmu bahkan lebih dramatis dari yang kuharapkan."Ia menutup jendela perlahan, lalu berjalan ke arah meja kecil di dekat sofa. Di sana, laptop terbuka dengan tab-tab yang masih menyala: satu berita utama tentang kecelakaan Arka, satu lagi tentang profil perusahaan milik Rama, dan satu jendela obrolan pesan pribadi yang belum ia balas—dari Soraya.Dita menyipitkan mata, membaca
Hening menyelimuti kamar hotel mewah itu. Lampu temaram dari dinding hanya menyoroti sebagian tubuh Rama yang tertidur di atas ranjang, masih mengenakan kemeja kusut dan celana bahan yang tidak sempat diganti. Napasnya berat dan teratur, bau alkohol masih samar tercium dari tubuhnya.Nara duduk di ujung ranjang, punggungnya membungkuk, tangan meremas-remas jemari sendiri tanpa sadar. Matanya terus melirik ke arah Rama, memastikan pria itu benar-benar tertidur pulas. Tapi bukan itu yang membuat hatinya berdebar kencang.Pikiran Nara sudah melayang jauh sejak beberapa jam lalu. Ia tidak bisa tidur. Tidak setelah berita duka tentang Arka memenuhi layar TV beberapa jam sebelumnya. Dan sekarang, bayang-bayang itu kembali menghantuinya dengan lebih nyata, lebih mengerikan."Arka..." bisiknya pelan, nyaris tak bersuara.Ia memejamkan mata, mengingat kembali detik-detik terakhir sebelum semuanya berubah.Nara menoleh lagi ke arah suaminya yang terbaring tanpa kesadaran. Tak ada ketenangan dal
Di ujung sambungan, Soraya mengerutkan kening. “Reno?” Ia mengulang pelan, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. “Kau yakin?”“Dia satu-satunya yang punya akses ke Arka tanpa menimbulkan kecurigaan. Dia dekat dengan Nara. Bisa saja Arka sempat membuka mulut, atau… atau ada informasi yang sampai ke Reno.”“Tunggu,” potong Soraya cepat, nadanya tak setuju. “Itu terdengar terlalu dipaksakan. Reno bahkan bukan bagian dari lingkaran ini, Dita. Dia bukan tipe orang yang main kotor. Bahkan, terlalu bersih menurutku.”“Justru karena itu,” sahut Dita tajam. “Orang-orang seperti dia... yang tampak bersih dan tak tahu apa-apa... biasanya menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya.”“Tapi membunuh Arka? Ayolah, Dit. Itu terlalu jauh untuk seseorang seperti Reno. Dia tidak punya cukup alas an, kan?”Dita menghela napas kasar. “Siapa yang tahu apa yang dia dengar dari Nara? Siapa tahu dia mulai curiga tentang Arka? Tentang kita?”Soraya terdengar ragu. “Kalau benar Reno pelakunya, itu artinya
Nara melangkah mundur perlahan. Napasnya mulai sesak.Dan saat ia berdiri di depan TV yang masih menayangkan ulang gambar mobil Arka yang hancur, satu hal menjadi semakin jelas.Kematian Arka bukan kecelakaan biasa.Soraya masih terjaga di dalam kamar hotelnya, duduk di tepi ranjang dengan mata menatap layar ponsel yang menampilkan berita duka terbaru. Arka, pria yang selama ini menjadi pion dalam permainan busuk mereka, dinyatakan tewas dalam sebuah kecelakaan tragis. Soraya membaca ulang berita itu beberapa kali, mencoba menyaring setiap informasi yang tertera di layar: lokasi kecelakaan, kondisi mobil, dan terutama detail mencurigakan bahwa sopir truk yang menabrak mobil Arka diduga meloncat dari kendaraan beberapa detik sebelum benturan.Semuanya terlalu rapi. Terlalu sempurna.Soraya memicingkan mata, bibirnya mengerucut, dan jemarinya mulai bergerak cepat mengetik sebuah nama di layar ponsel. Ia menelpon Dita. Butuh tiga nada sambung sebelum akhirnya suara Dita terdengar di ujun
Tubuh Nara membeku di ambang pintu.Dua orang pria berdiri di depannya. Salah satunya tampak mengenakan seragam hitam sederhana, jelas seorang staf hotel—mendorong sebuah kursi roda perlahan.Dan di atas kursi roda itu...Nara menelan ludah. Matanya membelalak, napas tercekat di tenggorokan.Rama.Suaminya sendiri, duduk limbung di kursi roda, tubuhnya terkulai dengan kepala tertuinduk. Kemejanya kusut, beberapa kancing terbuka, dan wajahnya merah padam karena alkohol."Apa yang terjadi…?" gumam Nara, setengah tidak percaya.“Maaf, Ibu. Tadi beliau berada di bar dan… tampaknya terlalu banyak minum. Beliau sempat berpesan kepada bartender untuk diantar ke kamar ini kalau sudah tidak sanggup berdiri,” ucap staf hotel itu, sopan, sedikit tergesa.Tanpa pikir panjang, Nara membuka pintu lebar-lebar. “Cepat bawa masuk, Pak”Mereka mendorong kursi roda perlahan melewati ambang pintu.Nara menyingkirkan tas dan sepatu yang berserakan di lantai, lalu membantu staf bar itu memindahkan Rama ke