“Tentu saja tidak,” sahut Marco dengan yakin. Lelaki itu menghentikan kendaraannya tepat di pinggir trotoar fakultas sastra. “Om sudah lelah berpetualang.”
Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja seulas senyuman terbit di bibir Cassandra. Ia melambaikan tangannya pada Marco.“Om sini deh, aku mau ngomong sesuatu.”Marco mengerutkan keningnya sekali lagi. “Ngomong aja. Kita cuman berdua di sini.”“Ssst ….” Sandra meletakkan jari telunjuknya di atas bibirnya. “Sandra nggak mau kursi, kaca atau apapun di mobil ini mendengar ucapan Sandra.”“Memang kamu mau bilang apa?” tanya Marco sembari mencondongkan tubuhnya.Tepat saat itu gadis itu mengecup bibir Marco. “Terima kasih jawabannya. Sandra tau, Om nggak bakal mempermainkan Sandra.”Marco terpaku, bahkan saat kehangatan itu kembali menyentuh bibirnya. Tubuhnya seakan membeku, tak bisa menolak ciuman yang tiba-tiba mendarat begitu saja.“Sandra, apa yang kamu lakukan?” Teriakan itu sontak membuat Cassandra mematung. Jemari tangannya berhenti melepaskan manik kancing kemeja yang dipakainya. “Kenapa Om? Bukannya Om Marco sudah biasa melihatku dengan tanktop di rumah,” protes Cassandra. “Tapi … apa kamu nggak malu kalau semua pekerja papa kamu ngeliatin kamu?” “Ish! Mana? Siapa? Ibu Niken maksud Om?” Cassandra tertawa kecil. “Cassandra Armeta! Sebagai adik papa kamu, Om ingatkan bahwa kamu sudah dewasa! Kamu bukan anak kecil lagi,” hardik Marco. “Bersikaplah bijak layaknya perempuan dewasa.” Marco merasa sangat kesal. Bagaimana bisa dirinya membiarkan pria lain menatap tubuh sexy Cassandra. Membayangkan tatapan penuh damba pria lain pada keponakannya itu saja, sudah cukup membangkitkan emosinya. Di lain pihak, Cassandra terkejut mendengar teguran dari pamannya. Baginya teguran itu cukup menjatuhkan harga dirinya. T
Marco menghela napas, mencoba mengusir emosi yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya. “Bagus. Sekarang sebaiknya kamu pulang untuk menemui kekasihmu itu,” sahut Marco setelah berhasil mengatasi rasa emosinya. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya ke atas pundak keponakannya dan memutarnya hingga menghadap ke pintu. Namun saat Marco membuka pintu, Cassandra justru memanfaatkan kelengahannya. Gadis itu berputar, berjinjit dan mendaratkan kecupan di bibir Marco. Jantung Marco berdetak dengan kencang saat bibir lembab nan lembut itu menyentuh bibirnya. Pikiran dan hatinya saling bertentangan. Otaknya memerintahkan untuk melepaskan Cassandra, namun hatinya tak dapat merelakan perasaan indah ini. Cassandra terlalu indah untuk dilepaskan. Bahkan jika ini adalah mimpi, ia tak ingin terbangun lagi. “Cassandra.” Gadis itu kembali melingkarkan kedua tangannya di pinggang Marco. Ia bahkan meletakkan kepalanya di dada bidang pamannya. “Aku sudah berada di depannya. Lalu untuk apa aku pergi,”
“Cassandra, apa-apaan ini. Letakkan pisau itu,” titah Marco saat melihat benda tajam di tangan Cassandra. Cassandra menggelengkan kepalanya. “Untuk apa aku hidup, tak ada satupun yang menyayangi aku. Bahkan orang tuaku juga membenciku. Lalu apa alasanku untuk tetap hidup?” “Sandra …” Marco melangkah mendekat dengan penuh waspada. “Jangan lakukan itu. Percayalah, jangan sampai kamu melakukan sesuatu yang akan kamu sesali.” "Jalanmu masih panjang, jangan menyakiti dirimu sendiri," lanjutnya. "Baiklah," sahut Cassandra. "Tapi katakan dengan jujur, sebenarnya Om juga mencintaiku, bukan?"Marco menelan kasar salivanya, ia seakan terjebak dalam jalan yang dipilihnya sendiri. Tentu saja dia tidak mungkin mengelak setelah mencumbu Cassandra barusan. Ia tidak mungkin bisa mengatakan tidak mempunyai perasaan apapun, sementara keponakannya telah merasakan luapan hasratnya."Cassandra," panggilnya. "Aku …." Cassandra melepaskan pisau itu dari tangannya. Gadis itu melangkah mundur sembari men
Tiga hari berlalu begitu saja. Cassandra masih berusaha untuk melupakan Marco. Ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah, karena begitu banyak kenangan pamannya di rumah itu. Kejadian malam itu benar-benar membuat perubahan pada sikap Cassandra. Seperti pada siang itu, di saat matahari terasa panas menyengat di kulit. Cassandra justru menghabiskan waktunya bercengkrama dengan kawan-kawannya di taman kampusnya. "Jadi gimana? Kamu beneran mau jadi pacar aku?" Nando menggenggam tangan Cassandra dengan tatapan penuh harap. Cassandra langsung menarik tangannya saking risihnya. “E, e, eh! Enak aja main serobot.” Fritz yang baru saja muncul dan disuguhi adegan itu, spontan memisahkan keduanya. Lelaki itu duduk di antara keduanya, sehingga membuat kedua temannya bergeser menjauh. “Gue sudah berkali-kali menyatakan perasaan gue sama dia,” lanjutnya. “Seharusnya lo nggak main serobot gebetan orang.”“Ah … rese lo! Udah ditolak berkali-kali juga, nggak nyadar,” gumam Nando dengan kesal. Lela
"Cassandra.” Marco membelalakkan matanya. Ia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan keponakannya itu. Apalagi setelah malam kejadian tiga hari yang lalu. Belum habis rasa terkejutnya, gadis itu menyeruak masuk ke dalam kamar Marco. Tanpa ragu ia melewati pamannya yang masih terpaku di depan pintu. “Kenapa bengong, sih Om?” sapanya seolah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Kedatangan Cassandra tentu saja menghadirkan begitu banyak teka teki di dalam kepala Marco. Apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Cassandra? Apa semuanya baik-baik saja? Dan apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Apa Cassandra mengalami amnesia, sehingga ia bisa melupakan kejadian itu? Apa pria di dalam mobil itu telah mencuci otaknya? Sialan! Ini semua karena kecerobohannya, sehingga kehilangan jejak malam itu. “Sini,Om. Cepetan. Sandra udah lapar nih!” ajak gadis itu. Sepasang tangannya sibuk mengeluarkan bungkusan berbentuk kerucut dari kantong belanjanya ke atas meja makan.Mendengar ajakan
Suara detak jantung mereka berpacu dengan ritme yang bahkan lebih cepat dibanding detak jam di dinding kamar itu. Marco meremas gemas gumpalan di dada gadisnya. Hasratnya semakin memuncak, bahkan kejantanannya terasa berkedut seakan tak sabar lagi untuk merasakan kenikmatan dunia. Cassandra menggigit bibirnya, menahan gelenyar di dadanya. Tenggorokannya terasa kering, namun ia tetap diam. Ia tak ingin kehilangan sentuhan Marco malam itu. Desahan pun lepas dari bibirnya, saat gelitik terasa di bagian intimnya. Marco mengusap lembut bagian intim gadisnya. Sesuatu yang tersembunyi di balik kain berbahan renda itu seolah menjanjikan sesuatu baginya. Cassandra menggeliat, ia seakan tak dapat lagi menahan hasratnya. Setiap sentuhan Marco membuat tubuhnya bergetar, seolah sebuah medan listrik mengaliri tubuhnya. “Ah …” desah lembut kembali lolos dari bibirnya. Marco tak dapat menahan diri lagi. Tangan
“Tapi Rex, kenapa harus Zissy?” protes Marco. Ia masih merasa kesal dengan kejadian yang terakhir kali harus dialaminya karena ulah Zissy. “Karena hanya dia yang paling betah menghadapi kamu.” Rexy tersenyum lebar seolah mengatakan idenya adalah yang paling brilian dan Marco harus menyetujuinya. “Apa kamu gila? Tidak Rex, tidak! Aku tidak mau mati karena dicekoki pil pil aneh lagi olehnya.”Rexy mengedikkan pundaknya. “Terserah padamu. Asal kamu tahu, tidak ada satupun gadis yang betah berlama-lama di sisimu, kecuali dia. Dan setidaknya kamu harus bertanggung jawab karena sudah membiarkannya menunggumu begitu lama hingga mendapatkan gelar perawan tua.”Rexy menatap arloji yang melingkar di tangannya. Ia mendecak kesal dan menurunkan satu kaki lainnya ke atas lantai. “Aku pamit dulu. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan hari ini,” pamitnya. “Setidaknya aku berharap hubungan kamu dengan Zissy akan sepanas hub
“Kenapa dia bertingkah aneh seperti itu? Apa dia muak padaku? Kenapa setelah kuberikan segalanya, dia justru berbalik dan menikahi wanita lain? Bu Zissy, apa sih hebatnya dia? Kenapa Om Marco lebih memilih dia daripada aku?” Seribu pertanyaan bergelayut di kepala Cassandra. Hingga malam semakin larut, gadis itu belum juga dapat memejamkan mata. Ia masih mengingat semua ucapan Marco yang menyakiti hatinya.“Bahkan dia seperti sudah tidak tertarik lagi denganku,” keluhnya. Ia masih mengingat dengan jelas bahwa Marco mengabaikannya, sekuat apapun usahanya untuk melemahkan imannya. ***“Non, ada teman Non di depan.” Bik Sum mengetuk pintu kamar Cassandra. “Non Sandra ….” Dengan perasaan enggan Cassandra bangkit dari ranjangnya dan bergerak mendekati pintu. “Aduh …. Siapa sih yang dateng pagi-pagi gini. Nggak sopan amat,” omelnya pada Bik Sum. “Sudah sore, Non. Sudah jam tiga