“Sandra,” lirih Marco. Tentu saja lelaki itu tidak bisa memahami rasa kehilangan yang dirasakan oleh istrinya. “Maaf. Maafkan aku. Semua ini salahku.”Cassandra memejamkan matanya, membiarkan sebutir air mata melorot turun dari sudut matanya. Ia menarik sudut bibirnya untuk memaksakan sebuah senyuman. “Tentu saja, kita bisa melalui semua ini,” ucapnya dengan perasaan tak karuan. Ia mendengar percakapan Marco dengan dokter Mitha. Dari percakapan itu, Cassandra juga tak bisa menyangkal bahwa kejadian ini bukan hanya kesalahan Marco, tetapi juga kesalahannya. Ia tidak dapat menahan diri dan terbakar oleh gairahnya. Sebuah kebodohan yang berujung sesal. Namun nasi sudah menjadi bubur. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. “Sandra, jangan nangis lagi, ya,” pinta Marco. “Sepertinya Tuhan sangat menyayangi dia, lebih daripada kita.” “Maafkan aku, dia pergi karena aku bukan ibu yang baik,” lirih Cassandra. Tiba-tiba suara dehem terdengar menyela pembicaraan mereka. Wanita berjas putih it
Suara keras itu tak urung membuat keduanya terkejut. Suara yang lebih mirip benda berat yang jatuh itu, seakan menggiring pikiran mereka bahwa ada seseorang selain mereka di tempat itu. Cassandra segera meraih kemeja Marco yang ada di dekatnya. Dikenakannya kemeja yang kini terlihat seperti dress oversize di tubuhnya. Marco mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Ia tidak mau ada seseorang yang mengusik kekasihnya kembali. “Kamu yakin, tidak ada orang selain kita di sekitar sini?” tanya Cassandra tak percaya. “Seharusnya,” sahut Marco tanpa melepaskan pandangannya ke tempat asal suara. Sesaat kemudian, lelaki itu bernapas lega. Dilihatnya buah kelapa di atas tanah. “Itu hanya kelapa yang jatuh. Tidak ada yang perlu kita takutkan, Sayang,” ucap Marco. Lelaki itu mengusap rambut Cassandra. Jemarinya mempermainkan anak rambut kekasihnya dan menyelipkannya di belakang daun telinganya. “Aku … tidak nyaman,” tolak Cassandra. “Kita ke dalam saja. Aku tidak ingin bercinta denganmu d
“Kami tidak berhasil menemukannya,” ucap lelaki bertubuh kekar itu. “Maaf. Dia berhasil keluar dari rumah ini saat pengejaran kami.”“Aaah!” teriak Marco dengan gusar. “Bagaimana bisa perempuan bunting itu memperdaya kalian semua.” Marco berbalik meninggalkan para penjaga rumah barunya. Jemarinya dengan lincah bergerak di atas layar ponselnya. Ia menghubungi seseorang melalui ponselnya. ***Selang beberapa saat kemudian, beberapa orang polisi datang. Mereka mengamati batu berukuran medium itu dan mengambil beberapa foto sebagai barang bukti. “Dia sudah berhasil kami tangkap,” ucap salah satu abdi negara itu. “Akan sulit baginya untuk mengelak dari tuntutan yang nantinya diberikan. Semua bukti-bukti terlalu kuat bahkan jika ia mengelak dari perbuatannya.” “Syukurlah. Sebenarnya yang kami berdua inginkan hanyalah kedamaian.” Marco memeluk Cassandra yang berdiri di sampingnya. “Seandainya saja dia tidak sampai membahayakan nyawa istriku, aku tidak akan pernah bertindak sejauh ini, P
Irfan mengangkat tangan kanannya. Hampir saja tangan itu menampar wajah putrinya jika saja ia tak mampu mengendalikan emosinya. Selama dua puluh tahun ia mengabdikan diri sebagai menantu di keluarga itu, tak ada sedikit pun niat untuk menghabiskan harta yang bukan miliknya. Bahkan ia menggunakan hasil keringatnya sendiri untuk menopang biaya pendidikan Marco, adik sekaligus satu-satunya keluarganya yang tersisa.Hatinya terasa sakit saat Cassandra yang telah ia besarkan, bahkan diakuinya sebagai putri, telah menuduhnya dengan sekejam itu. Irfan tidak akan berbuat seperti kakek Cassandra. Ia tidak akan membiarkan putrinya menikahi pria yang tidak dicintainya. Ia bahkan sudah melepaskan Sophie Laurent yang dipercayakan padanya kembali pada satu-satunya ahli waris sesungguhnya. Tapi bagaimana mungkin ia rela membiarkan Cassandra menghancurkan satu-satunya warisan yang dimilikinya hanya karena emosi jiwa mudanya. Irfan memegang dadanya dan mulai menarik napas dalam-dalam. Irama jantung
Marco terkejut ketika tiba-tiba saja sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Lelaki itu berjingkat, namun ia segera mengenali seseorang yang sedang memeluknya dari belakang itu. Lelaki itu diam tak bergeming, sekalipun handuk yang tadinya melingkar di pinggangnya itu melorot turun terlepas dari tautannya. Kepala yang menempel di punggungnya dan aroma yang menguar, membuatnya langsung mengenali seseorang yang telah mengejutkannya itu. “Kenapa aku harus lahir di keluarga ini? Kenapa aku harus memikul tanggung jawab ini?” Terdengar keluh dari bibir perempuan itu. “Aku cuma ingin menikmati kehidupanku. Merasakan kebahagiaan seperti pasangan lainnya denganmu.”Marco meremas tangan kekasihnya. “Aku bahagia, asal ada kamu di sisiku. Sebenarnya aku bahkan menyesal telah menyia-nyiakan waktu selama sepuluh tahun itu. Sebuah perjalanan yang sia-sia, hanya karena menuruti emosiku.”Cassandra merasakan sebuah sindiran dalam kalimat itu. Ia melepaskan pelukannya dari pinggang Marco. Dibiarkann
“Maksud kamu, Cassandra?” tegas Marco. “Cassandra. Ternyata itu namanya,” balas wanita itu sembari tertawa. “Lucu sekali.”Sepasang mata cantiknya menatap bagian vital Marco. Bagian yang terbalut dalam celana bahan itu seakan membuatnya terobsesi untuk memilikinya. “Jangan ikut campur urusanku, Nia!” Marco menatap tajam wanita yang berdiri di depannya. “Aku sudah memperingatkanmu.” Wanita itu memamerkan senyumnya yang indah. Sesaat kemudian ia berbalik, ketika terdengar suara seseorang memanggil namanya. “Ternyata kamu sudah sampai.” Rexy melingkarkan tangannya ke pinggang wanita itu. “Duduklah!” Dengan tenangnya, wanita itu menarik kursi dan duduk di antara kedua lelaki yang saling berhadapan itu. Marco membelalakkan matanya pada kawannya. Hatinya bertanya-tanya tentang hal yang direncanakan oleh Rexy.Rexy tersenyum lebar, memamerkan satu giginya yang gingsul. Kegelisahan yang sebelumnya terlihat jelas di wajahnya, kini sama sekali tak terlihat. “Reana tak akan mau menceraika
Marco menarik dasinya, melonggarkan ikatan yang seakan mencekik di lehernya. Ia masih teringat setiap kalimat yang diucapkan oleh Nia. “Nasib Om ada di foto ini. Foto ini bahkan bisa aku sebar kemanapun aku mau. Lihat, betapa pintar temanku. Wajah Om terlihat sangat jelas dan begitu tampan, bukan?” “Om harus datang setiap kali aku butuh Om. Karena aku adalah kekasih Om yang lain, mulai hari ini.” Marco menghempaskan dasi yang kali ini begitu susah untuk dibukanya. Napasnya begitu berat, seberat beban yang ada di dalam pikirannya. Tiba-tiba dirasakannya sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Sepasang tangan mungil perempuan yang dicintainya itu kali ini terasa begitu menyiksa batinnya dengan sebuah perasaan bersalah. Dirasakannya pelukan yang menghangatkan punggungnya itu. Marco menghela napas panjang. Ia berusaha melepaskan semua pikiran buruk yang bergelayut dalam benaknya. Marco tak ingin masalah ini membebani kekasihnya. Cassandra sudah cukup kesal karena keingin
“Maafkan aku Sandra,” ucap Marco. “Aku harus mengakui jika kamu benar. Cinta itu egois. Seperti aku terlalu egois untuk melepaskanmu. Aku tidak akan pernah melepaskanmu apapun yang akan terjadi.” “Ingatlah, semua yang terlihat tak selalu seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak akan pernah mengkhianati cinta kita,” lanjut Marco. “Jadi tetaplah di sisiku apapun yang terjadi.”Cassandra memeluk suaminya dengan erat. Tanpa ia tahu makna yang dalam di balik kalimat itu. “Aku tidak akan pergi kemana-mana,” sahut Cassandra. “Aku akan selalu disini. Di rumah kita.” ***“Pak Marco, ada tamu untuk Anda. Tapi dia ….” Niken yang muncul dari pintu ruang kerjanya, tampak ragu untuk melanjutkan perkataannya. Marco mengangkat wajahnya dan mengalihkan perhatiannya dari lembaran kertas di depannya. “Kenapa?” “Aku tidak yakin kalau dia mengenal Anda,” lanjutnya penuh keraguan. “Perempuan itu mengaku bernama Nia Karenina.”Marco menelan kasar salivanya. Pena yang digenggamnya, hampir saja patah karena