Suara detak jantung mereka berpacu dengan ritme yang bahkan lebih cepat dibanding detak jam di dinding kamar itu. Marco meremas gemas gumpalan di dada gadisnya. Hasratnya semakin memuncak, bahkan kejantanannya terasa berkedut seakan tak sabar lagi untuk merasakan kenikmatan dunia. Cassandra menggigit bibirnya, menahan gelenyar di dadanya. Tenggorokannya terasa kering, namun ia tetap diam. Ia tak ingin kehilangan sentuhan Marco malam itu. Desahan pun lepas dari bibirnya, saat gelitik terasa di bagian intimnya. Marco mengusap lembut bagian intim gadisnya. Sesuatu yang tersembunyi di balik kain berbahan renda itu seolah menjanjikan sesuatu baginya. Cassandra menggeliat, ia seakan tak dapat lagi menahan hasratnya. Setiap sentuhan Marco membuat tubuhnya bergetar, seolah sebuah medan listrik mengaliri tubuhnya. “Ah …” desah lembut kembali lolos dari bibirnya. Marco tak dapat menahan diri lagi. Tangan
“Tapi Rex, kenapa harus Zissy?” protes Marco. Ia masih merasa kesal dengan kejadian yang terakhir kali harus dialaminya karena ulah Zissy. “Karena hanya dia yang paling betah menghadapi kamu.” Rexy tersenyum lebar seolah mengatakan idenya adalah yang paling brilian dan Marco harus menyetujuinya. “Apa kamu gila? Tidak Rex, tidak! Aku tidak mau mati karena dicekoki pil pil aneh lagi olehnya.”Rexy mengedikkan pundaknya. “Terserah padamu. Asal kamu tahu, tidak ada satupun gadis yang betah berlama-lama di sisimu, kecuali dia. Dan setidaknya kamu harus bertanggung jawab karena sudah membiarkannya menunggumu begitu lama hingga mendapatkan gelar perawan tua.”Rexy menatap arloji yang melingkar di tangannya. Ia mendecak kesal dan menurunkan satu kaki lainnya ke atas lantai. “Aku pamit dulu. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan hari ini,” pamitnya. “Setidaknya aku berharap hubungan kamu dengan Zissy akan sepanas hub
“Kenapa dia bertingkah aneh seperti itu? Apa dia muak padaku? Kenapa setelah kuberikan segalanya, dia justru berbalik dan menikahi wanita lain? Bu Zissy, apa sih hebatnya dia? Kenapa Om Marco lebih memilih dia daripada aku?” Seribu pertanyaan bergelayut di kepala Cassandra. Hingga malam semakin larut, gadis itu belum juga dapat memejamkan mata. Ia masih mengingat semua ucapan Marco yang menyakiti hatinya.“Bahkan dia seperti sudah tidak tertarik lagi denganku,” keluhnya. Ia masih mengingat dengan jelas bahwa Marco mengabaikannya, sekuat apapun usahanya untuk melemahkan imannya. ***“Non, ada teman Non di depan.” Bik Sum mengetuk pintu kamar Cassandra. “Non Sandra ….” Dengan perasaan enggan Cassandra bangkit dari ranjangnya dan bergerak mendekati pintu. “Aduh …. Siapa sih yang dateng pagi-pagi gini. Nggak sopan amat,” omelnya pada Bik Sum. “Sudah sore, Non. Sudah jam tiga
Marco menghentikan langkahnya. Pupilnya melebar dalam kegelapan karena memaksakan diri untuk mengenali dua sosok manusia di hadapannya. Sepasang manusia yang sedang bercumbu, di tengah teriakan para makhluk halus settingan. “Sandra?” panggilnya pelan karena sedikit ragu akan penglihatannya. Sepasang kekasih itu balas menatapnya. Mereka bergeming di tempatnya hingga Marco semakin dekat dan berhasil mengenali keduanya. “Bukan! Syukurlah, itu bukan mereka,” batin Marco. “Tapi bagaimana kalau mereka justru melakukan hal yang lebih dari itu di tempat ini?” Memikirkan hal itu, membuat Marco tiba-tiba menjadi paranoid. Ia tidak ingin laki-laki itu menyentuh Cassandra. Ia tidak rela siapapun menyentuhnya. Sepasang matanya terus memindai sekelilingnya. Hingga tiba-tiba ia mendengar sebuah jeritan. Jeritan yang khas, yang dapat dikenalinya. “Cassandra!” teriaknya tanpa ragu. Ia berjalan lebih cepat menuju ke asal suara. Sepasang mata
“Marco Asmara! Bukankah itu dia?” Marco mengedarkan pandangannya. Ia merasa ada seseorang yang memanggil namanya. Namun tak terlihat seorangpun yang dikenalnya. Namun hal itu tidak membuatnya lengah. Lelaki itu menggenggam tangan keponakannya dan membawanya pergi dari tempat itu. Keesokan harinya ….“Apa kamu sudah baca berita hari ini?” berondong Rexy yang baru saja masuk ke dalam ruang kerja Marco. Rexy memperlihatkan sebuah artikel di dalam gadgetnya. Sebuah foto dengan wajah yang tidak terlalu jelas terpampang di layarnya. Dan semuanya bertambah jelas karena judul yang terpampang di bawahnya. ‘Pengusaha garmen merk ternama tertangkap basah berkencan dengan gadis di bawah umur’“Ini kamu kan? Siapa gadis itu? Apa yang kalian berdua lakukan di Wonderland malam-malam? Apa dia benar-benar di bawah umur?” cecar Rexy. Marco menatap layar gadget itu cukup lama. “Siapa yang berani mengambil foto itu?” Rexy men
Mendengar laporan dari Bik Sum, membuat pikiran Marco pun berkecamuk. Berita itu mungkin saja membuat Cassandra tertekan. Dan Marco adalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas masalah ini. Lelaki itu meninggalkan rapat yang sedang berlangsung. Baginya Cassandra jauh lebih penting dari apapun, bahkan jika itu adalah proyek bernilai ratusan juta sekalipun. Gegas ia menuju ke rumah kediaman keluarganya. Dan segera berlari menuju kamar gadis itu. Sunyi. Tak ada suara sedikit pun dari dalam sana. Pikiran Marco semakin kacau. Bayangan yang terburuk pun muncul di benaknya. “Bagaimana kalau … dia benar-benar mengakhiri hidupnya?” Ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah pukul enam sore. Sudah hampir satu jam semenjak Bik Sum memberitahunya. Bagaimana kalau ia datang terlambat? Diketuknya pintu itu. Jantungnya berdetak dengan kencang. Sebenarnya ia ingin segera mendobrak pintu di hadapannya. Namun diurungkannya niat itu hanya karena tak ingin menakuti Cassandra.
Marco mendekati Cassandra. Ia melirik remote yang tergeletak di atas ranjang gadis itu. Dicobanya untuk meraih benda itu. Namun sayang, gerakan Cassandra jauh lebih gesit. Gadis itu menegakkan tubuhnya, menjadikannya tameng untuk menghadapi Marco. Marco terkejut karena tak menduga gerakan itu. Tanpa sengaja, kejantanannya menyentuh bagian kenyal tubuh gadis itu. Marco menelan kasar salivanya. Jantungnya berdebar semakin keras. Ia tak mampu lagi menyembunyikan hasratnya.Suara desah dan erangan erotis yang keluar dari speaker itu, justru membuat batangnya semakin mengeras sempurna. Cassandra menggigit bibirnya. Sepasang matanya tak lagi memperhatikan layar datar itu, melainkan sesuatu yang menonjol dengan jelas di balik celana Marco. Perlahan Cassandra mendongakkan kepalanya. Ia memperhatikan jakun lelaki di hadapannya yang naik turun. Ia tersenyum dan berbisik di telinga laki-laki itu. “Om Marco … nggak papah?”
Marco terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah. Ia merasa mimpinya barusan begitu nyata. Mungkin karena beberapa hari terakhir Cassandra dan dia telah terlibat banyak masalah. Jam menunjuk ke angka dua. Tak terasa sudah satu jam ia tertidur di ruang kerja kakaknya itu. Ia berdiri dan menegakkan badannya. Dilangkahkannya kakinya menuju kamarnya sendiri. Dengan matanya masih terasa berat, ia merebahkan tubuhnya ke atas pembaringannya yang empuk. Pagi tanpa Bik Sum terasa dingin. Tak ada makanan hangat yang tersaji di atas meja. Cassandra duduk di depan meja makan dengan kedua tangan menyangga kepalanya. Ia menatap lelaki muda dengan apron di pinggangnya, sibuk mengaduk isi wajan penggorengan di depannya. Wajah tampan si pemilik kumis tipis itu menjadi pusat perhatiannya. Seandainya saja mereka tidak memiliki ikatan darah, kebahagiaannya lengkaplah sudah. Dia adalah lelaki paling sempurna yang pernah ditemui C