Aura menatap Micho, matanya menyipit tidak percaya. Napasnya masih terengah-engah setelah pertikaian kecil mereka. Map coklat itu terbuka lebar di tangannya, lembarannya yang lembab terasa dingin di jemarinya yang gemetar.“Menjebakmu?” Aura tertawa getir sambil menggelengkan kepala. “Kamu selalu begini. Selalu menyalahkan orang lain untuk kesalahanmu sendiri.”Micho mengambil langkah maju, tangannya terulur memohon. “Kamu harus percaya padaku, Ra. Lihat semua ini.”Jari pria itu menunjuk ke arah map yang digenggam Aura. “Kenapa namamu ada di situ? Kenapa begitu banyak nama wanita? Apa kamu nggak curiga?”Aura membalik-balik lembaran kertas dalam map. Matanya membelalak saat menemukan nama lain yang dikenalnya. “Maureen.”“Ya.” Micho memanfaatkan momen keterkejutan Aura. “Semua wanita yang pernah dekat dengan Om Rey. Semua yang pernah dia dekati. Dan lihat—namamu di deretan terakhir.”Aura menelan ludah, jarinya menelusuri namanya sendiri yang tertulis di bagian bawah halaman terakhir
Rey berdiri mematung. Cahaya biru dari layar besar di depannya menyinari wajahnya yang tegang, menajamkan setiap kerutan di dahinya. Layar itu menampilkan riwayat akses server internal — data dingin dan teknis yang kini terasa seperti peluru mematikan yang siap menembus pertahanan terakhirnya.Di belakangnya, seorang teknisi muda berdiri kaku. Napasnya terdengar tak beraturan. “Kami hampir tidak menyadarinya, Pak.”“Aksesnya bersih... nyaris tanpa jejak. Tapi, saat kami telusuri lebih dalam seperti instruksi Anda, kami menemukan ini,” katanya gugup.Dengan satu klik, layar menyorot nama pengguna: Soju_87. Kolom itu dipenuhi warna merah menyala, seolah meneriakkan bahaya yang tersembunyi di baliknya. Rahang Rey mengeras, ia menatap kolom log-in yang disorot merah. Nama pengguna itu berdiri mencolok — Soju_87.Darahnya langsung mengalir lebih cepat. Ia mengenal nama itu. Sofia Lorenza.Sofia dulu adalah aset paling menjanjikan bagi D'Amartha Group yang direkrut langsung oleh kakeknya. P
Micho berdiri membatu di balik pohon palem kecil, tubuhnya menempel rapat pada batang yang dingin. Malam menyelimuti rumah Rey dalam kegelapan yang nyaris absolut. Tak ada cahaya dari jendela-jendela tinggi itu, hanya siluet bangunan yang menjulang dingin seperti raksasa tidur. Tapi Micho tahu: raksasa ini tidak tertidur. Ia menyimpan rahasia.Sudah tiga malam Micho mengintai di sana, diam-diam, tanpa suara, hanya napasnya yang menggema di dada yang sesak. Setiap malam, rasa sesak itu semakin menyesakkan — bukan karena takut, tapi karena Aura. Aura yang kini berada dalam lingkaran Rey. Aura yang seharusnya menjadi miliknya. Aura yang pergi setelah melihatnya meniduri sahabatnya tepat di hari pernikahannya. Sebuah kesalahan yang kini harus ditebus."Aku akan merebut hatimu kembali," bisik Micho pada dirinya sendiri. Jemarinya menggenggam kuat ranting di sampingnya. "Apapun caranya."Ia menyeberangi halaman dengan hati-hati. Malam sunyi, angin menggigit, namun ia nyaris tak merasakannya
Gadis itu terbatuk keras saat tubuhnya membentur aspal. Air genangan jalanan membasahi wajahnya yang pucat, membuat riasan tipis yang dipakainya luntur. Rambutnya yang tipis menempel di keningnya yang berkeringat. Dia beringsut mundur seperti binatang terluka, matanya liar mencari jalan keluar.“Siapa kamu?” tanya Aura lagi, suaranya lebih tegas kali ini. “Cepet jawab!” Jessy yang berdiri di belakang Aura menyalakan senter ponselnya, menyorot wajah gadis itu. Di bawah cahaya yang terang, mereka berdua bisa melihat lebih jelas—wajah yang tirus dengan lingkaran hitam di bawah matanya, bibir pecah-pecah yang gemetar, dan lengan kurus dengan bekas-bekas suntikan yang coba disembunyikan di balik lengan hoodie yang kebesaran. Aura dan Jessy merinding dibuatnya.“Kamu bisu ya?” Mata Aura melotot tidak sabar. Seolah ia siap untuk mengambil tindakan pada gadis penguntit itu.“Maureen,” bisik gadis itu akhirnya. Suaranya serak dan terdengar jauh, seperti berasal dari tempat yang sangat dalam
Langit senja mulai meredup ketika Aura melangkah memasuki Neon Kafe, tempat yang sejak dulu menjadi saksi banyak kenangan antara dirinya dan sahabatnya, Jessy. Kafe itu tidak terlalu ramai malam ini, hanya beberapa meja yang terisi. Musik akustik mengalun pelan di latar, mengiringi gemerincing sendok dan cangkir. Aroma kopi bercampur kayu manis dan sedikit karamel memenuhi udara, menenangkan siapa pun yang datang mencari pelarian dari dunia luar.Di sudut ruangan, duduklah Jessy, dengan rambut gelombangnya yang selalu tampak anggun walau dibiarkan tergerai begitu saja. Ia tersenyum ketika melihat Aura mendekat, tapi ekspresi matanya menunjukkan bahwa ia tahu, sahabatnya datang bukan sekadar untuk secangkir kopi dan cerita ringan."Kamu telat sepuluh menit," sapa Jessy ringan.Aura tersenyum tipis. "Maaf. Aku... butuh waktu buat meyakinkan diri datang ke sini."Jessy menatapnya tajam namun lembut. “Kamu kelihatan... capek banget, Ra,” katanya lirih. “Capek secara batin.”Aura menganggu
Lelaki itu tampak gelisah dalam tidurnya, dahinya berkerut, keringat bercucuran, dan bibirnya bergerak menggumamkan sesuatu. Satu nama. Dan itu berulang-ulang disebutkannya. "Sofia..."Kegelisahan itu membuat Aura semakin yakin akan adanya hubungan erat di antara keduanya. Bukan sekedar adik dan kakak ipar. Tapi lebih dari pada itu. Hubungan yang mungkin menjadi trauma hingga selalu menghantuinya. Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Rey."Om, Rey. Bangun, Om!" serunya sembari mengguncang tubuh lelaki yang masih terbaring di sisinya. Rey tersentak, matanya terbuka lebar saking kagetnya. Ia menatap Aura dengan ekspresi bingung. Butuh beberapa detik baginya untuk memahami apa yang baru saja terjadi.Aura mundur satu langkah, tangannya gemetar dan buru-buru ia sembunyikan ke balik punggung. Rasa bersalah langsung menyergap. Ia tidak bermaksud menyakitinya, hanya ingin dia bangun dan lepas dari mimpi buruknya.Rey menyentuh pipinya yang panas. Bercak merah terlihat akibat tamparan
“Tidak ada hubungan apa-apa di antara kami.” Kalimat penyangkalan itu bahkan membuat Aura semakin curiga. Apalagi kata-kata tante Sofia saat menerima panggilan itu seolah sengaja mempertegas hubungan mereka. Tante Sofia seolah mengirimkan sinyal padanya agar menjauh dari sesuatu yang bukan miliknya. Perempuan itu seakan sengaja memamerkan siapa pemilik hati sang penguasa D’Amartha Group yang sejati. “Om Rey yakin?” “Dia hanya seorang kakak bagiku.” Aura mengedikkan pundaknya. “Seandainya Om Rey menganggap dia kakak, bagaimana kalau dia sebaliknya?” Rey menjentik hidung Aura. “Nggak usah mikir yang macem-macem. Dia itu kakak ipar aku. Apapun yang dilakukannya, aku harus memakluminya. Mungkin dia takut terjadi sesuatu yang buruk,” belanya, “dia sudah banyak bantu aku selama ini.”Aura mengerutkan keningnya. Kecurigaannya semakin kuat karena jawaban itu.“Sebaiknya kita nikmati saja malam ini. Hanya kamu dan aku.” lanjut Rey mengalihkan perhatian Aura dari kenangan tentang masa lalu
Aura seperti tercekat mendengar kalimat yang diucapkan Rey. Lelaki itu seakan sedang memperoloknya saat ini. Rey mendekatkan tubuhnya, jemarinya menyentuh bibir kemerahan sang gadis dengan seulas senyuman yang mengintimidasi. “Bibirmu bisa membohongi siapa saja, tapi tubuhmu berteriak yang sebaliknya. Aura, apa kamu menginginkanku?”Aura terkesiap saat jemari kasar itu menyentuh bibirnya. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofanya, sementara sepasang matanya tak bisa lepas menatap bibir sang pemilik kumis tipis yang kini hanya berjarak beberapa senti saja di hadapannya.Rasa gelisah dan euforia kenikmatan yang pernah direngkuhnya bersama Rey, seperti bermain dalam ingatannya. Dan bibir lelaki itu mengakhiri kegelisahannya dengan sebuah lumatan di bibirnya. Lumatan yang panas dan penuh hasrat.Ia merasakan lengan kokoh itu melingkar di pinggangnya, mendorong tubuhnya mendekat dengan punggung yang tegak. Posisi yang membuat Aura merasa lebih nyaman menikmati lumatan penuh hasrat d
“Boss! Aku menemukannya! Seorang anak buahku melihat gadis yang Anda cari di ….”Kalimat itu seakan memacu hormon endorfin Rey meningkat. Rasa bahagia membuat pikirannya semakin tak tenang dan memutuskan untuk segera menemuinya. Ia tidak ingin kehilangan jejak gadis itu untuk kesekian kalinya. Apalagi kali ini benar-benar tidak mudah bagi orang-orang suruhannya untuk menemukannya. “Arga, antar aku menemuinya.” Rasa gelisah yang sudah sekian lama dirasakannya lenyap dalam seketika. Kerinduan semakin membuncah di dadanya membawanya melangkah lebih cepat menyisir setiap lorong toko itu.Lorong peralatan dapur di supermarket sore itu tak begitu ramai, namun cukup hidup. Lampu LED di langit-langit menyinari rak-rak logam yang dipenuhi panci, wajan, dan spatula beraneka rupa. Musik instrumental mengalun pelan, diselingi suara kasir memanggil pelanggan berikutnya.Di depan rak paling ujung, seorang gadis muda berdiri diam dengan mata berbinar. Ia mengenakan blus biru muda dan celana kain