Senja mulai turun menyelimuti kota dengan cahaya tembaga yang hangat namun sendu. Rumah besar yang biasanya dipenuhi tawa dan langkah kaki kecil itu, kini hanya tinggal keheningan yang menggema. Aura duduk diam di sofa ruang keluarga. Rambutnya tergerai, wajahnya bersandar pada lutut yang ditarik ke dada. Matanya memandangi sudut-sudut ruangan yang terasa lebih luas dan kosong. Bantal-bantal sofa tempat Vina biasa menyembunyikan biskuit sudah rapi. Gambar-gambar krayon di lembaran kertas masih tertempel di lemari es, tapi tak lagi bermakna sama.Rey memperhatikannya dari ambang pintu. Ia sudah tahu betapa hancurnya hati Aura, bahkan jika perempuan itu tidak berkata sepatah kata pun. Karena ia juga merasakannya, perasaan kosong yang aneh, kehilangan yang sepi. Tapi Aura ... ia kehilangan lebih dari itu. Ia kehilangan seseorang yang ia rawat seperti darah daging sendiri. Dan Rey tahu … diam Aura bukan ketegaran, tapi luka yang tak berdarah.Rey mulai panik saat mata Aura mulai berkaca-
“Diniiii!”Teriakan itu menggema, menabrak dinding kaca ruang konferensi pers seperti palu godam menghantam jantung semua orang yang hadir. Suara berat, kasar, dan penuh amarah itu membuat semua kepala serempak menoleh ke arah pintu masuk utama yang sudah terbuka dengan keras. Dua petugas keamanan yang bertugas di sana terhempas ke samping, dan seorang pria gempal bertato kepala harimau di lehernya melangkah masuk dengan napas memburu dan mata membara seperti bara api.Tatapan matanya terkunci pada Dini, seperti predator yang akhirnya menemukan mangsanya. Jaket kulit lusuhnya terbuka sebagian, memperlihatkan kaos hitam tipis yang basah oleh keringat dan mungkin darah. Satu tangan menggenggam ponselnya yang hancur sebagian, dan tangan lainnya terkepal begitu kencang hingga buku-bukunya memutih.“Aku sudah bilang, kamu nggak bisa lari dariku!” Tengu meraung memperlihatkan emosinya yang membara, dan saat itu juga ruangan konferensi yang semula penuh keraguan berubah jadi kepanikan.Warta
Pagi itu, sinar matahari menyelinap dari celah tirai jendela ruangan kaca lantai tiga gedung D’Amartha. Pancaran hangatnya jatuh di meja panjang tempat tiga orang duduk dalam ketegangan yang hampir tak bernapas. Rey bersandar diam, pandangannya menusuk tajam ke arah Dini. Aura duduk di sampingnya, diam namun siaga, dengan tatapan yang campur aduk antara curiga, cemas, dan serpihan emosi yang belum sempat tuntas. Di hadapan mereka, Dini tampak rapuh meski mencoba tampil tegar dalam blazer rapi dan riasan tipis yang mulai luntur. Jemarinya menggenggam cangkir kosong, mencoba meredam getar halus yang sulit dikendalikan.Ketika Rey akhirnya membuka suara, suaranya datar, tajam, tak bisa ditawar. “Jika kau benar ingin perlindungan untuk Vina, kau harus cerita semuanya. Bukan setengah. Bukan versi yang kau pilih.”Dini menunduk, menarik napas panjang seolah mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa. “Indra … dia menjeratku sejak aku masih dua puluhan. Awalnya dia manis, seperti pacar pad
Langkah Tengu terhenti sejenak saat cahaya lampu jalanan berkedip samar di ujung lorong. Ia mendesis, mengendus udara seperti binatang buas yang mencium bau mangsanya.“Dini ...” bisiknya pelan namun menggema. “Aku tahu kau di sini. Aku tahu kau mencium bau kematianmu sendiri.”Ia menyeringai lagi. Gigi depannya yang ompong membuat senyum itu tampak makin menyeramkan. Tangannya menggenggam pisau lipat kecil, yang dengan cekatan ia buka dan tutup seperti sebuah kebiasaan lama yang mengerikan. Matanya menyisir sudut gelap lorong demi lorong di penginapan tua yang sepi itu, mengabaikan lolongan anjing dari kejauhan dan suara pipa bocor yang menetes tanpa irama.Tapi mendadak, terdengar suara sepatu berlari. Lampu senter menyorot tajam ke wajahnya."Police! Don't move!"Tengu menyumpah kasar dan berbalik lari secepat mungkin. Beberapa peluru karet sempat ditembakkan, tapi hanya memantul di tembok. Ia melompati pagar besi belakang penginapan dan menghilang di lorong gelap. Nafasnya terenga
Rey menyambar handuk di dekatnya, menyeka tubuhnya sebelum melangkah keluar menghampiri ponselnya yang terus berdering di atas nakas. Nama Arga muncul di layar.Rey menatapnya sejenak, lalu menjawab. “Arga, ada apa.”Suara Arga terdengar berat di seberang. “Rey, kita punya masalah. Masalah besar.”Rey duduk tegak. Seolah ikut merasakan ketegangan itu, Aura ikut keluar dari dalam bak dan meraih satu handuk yang tersisa. Ia melilitkannya di tubuhnya. Aura segera mendekat, ia menatap Rey dengan gelisah.“Apa maksudmu?” tanya Rey.“Aku berhasil telusuri pergerakan Dini di Melbourne. Tapi bukan cuma itu … Indra Tengu ternyata bukan cuma mantan suaminya. Dia membuntuti Dini sejak seminggu lalu. Tapi yang bikin aku makin yakin … seseorang membayarnya. Ini bukan soal Dini doang. Ini ... lebih besar dari yang kita kira.”Suasana di kamar menjadi tegang seketika. Aura menggenggam tangan Rey, dan dalam matanya tergambar bayangan kekacauan baru yang mungkin akan segera datang.Rey menggeram pel
Langit sore mulai menjingga saat Rey memarkir mobilnya di halaman rumah. Vina tertidur di kursi belakang, kepalanya bersandar pada jendela dengan teddy beruang lusuh di pelukannya. Boneka itu sudah usang, warnanya memudar, bulunya menggumpal di beberapa bagian, namun selalu menjadi tempat Vina menumpahkan rasa aman.Dengan hati-hati, Rey membuka pintu belakang dan mengangkat gadis kecil itu dalam gendongannya. Kepala Vina menyandar di bahunya, napasnya tenang, dan pelukan kecil tangannya tetap erat memegang teddy itu. Rey mengecup pelan keningnya sebelum masuk ke dalam rumah.Aura sudah menunggu di ruang tamu. Ia berdiri saat mendengar pintu terbuka. Wajahnya langsung melunak saat melihat Rey membawa Vina dalam gendongan. Ia menghampiri, menyentuh kepala Vina dengan penuh kelembutan.“Dia tidur sejak perjalanan?” tanya Aura pelan.Rey mengangguk. “Tidak terbangun sama sekali.”Aura tersenyum, lalu membuka jalan agar Rey bisa membawa Vina ke kamarnya. Beberapa saat kemudian, setelah me