Share

Bab 02

Author: kodav
last update Last Updated: 2025-04-09 16:42:03

Suasana di rumah sakit terasa suram, dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh langkah-langkah kaki perawat. Valdi duduk di kursi ruang tunggu, menatap kosong ke depan, sementara di sebelahnya Mayang menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang mendalam.

"Ibu... kenapa harus sekarang?" suara Mayang pecah, nyaris tak terdengar di antara isak tangisnya.

Valdi menatapnya dengan penuh simpati, hatinya terasa berat.

"Mayang... om turut berduka," katanya lembut, mencoba menghibur gadis yang kini menjadi yatim piatu.

"Kenapa harus seperti ini, Om Valdi?" Mayang meratap, wajahnya basah oleh air mata.

"Kenapa Ibu harus pergi? Aku... aku sekarang sendirian..." Tangisnya semakin keras, dan Valdi merasakan dorongan kuat untuk menenangkannya.

"Om tahu ini berat, Mayang. Ini nggak adil, tapi kamu nggak sendirian. Ibumu... dia sudah berjuang sekuat tenaga," ujar Valdi sambil menghela napas panjang.

Mayang menggeleng pelan, air mata terus mengalir di pipinya.

"Kenapa harus seperti ini? Mereka bilang... karena COVID, pemakamannya tanpa keluarga... aku nggak bisa ada di sana..."

Valdi merasakan simpati yang mendalam. Dia tahu bahwa situasi ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang kesepian yang tiba-tiba menghantam gadis muda ini.

"Mayang, om benar-benar minta maaf. Kalau saja ada cara lain..."

Kerabat Ibu Retno, seorang wanita tua yang terlihat lelah, mencoba menenangkan Mayang, tapi air mata juga membasahi pipinya.

"Mayang... kita nggak bisa berbuat banyak. Ibumu dimakamkan sesuai aturan. Itu yang terbaik yang bisa kita lakukan." katanya, suaranya gemetar.

Mayang hanya bisa mengangguk, meski jelas rasa sakit itu terlalu besar untuk ditahan.

Kerabat Ibu Retno, mengalihkan perhatiannya kepada Valdi.

"Pak Valdi," katanya lembut, "Mayang dibesarkan di desa terpencil bersama neneknya. Sejak kecil, Mayang telah bertanggung jawab merawat neneknya yang sudah tua dan sakit."

Valdi menatap penuh perhatian, terus mendengarkan kisah yang mengungkap lebih dari sekadar kehilangan.

"Hingga usianya yang sekarang, Mayang bahkan belum pernah mengenal internet," ujar wanita tua itu dengan nada prihatin, menatap Valdi seolah berharap ia bisa memahami betapa terisolasinya kehidupan Mayang. 

"Hidupnya dipenuhi oleh alam dan kebiasaan desa, dan dia tak begitu mengerti pergaulan seperti di kota-kota besar. Dia jarang sekali berinteraksi dengan teman sebaya, karena setiap hari habis untuk merawat neneknya."

Wanita itu menarik napas dalam, suaranya bergetar saat melanjutkan, "Kami sangat prihatin, bagaimana dia akan menghadapi semua ini sendirian." Matanya yang lembut menatap Valdi, memohon pengertian dan mungkin sedikit bantuan untuk gadis yang polos itu.

Valdi terdiam sejenak, berpikir keras. Dia tahu bahwa kehidupan Mayang akan menjadi lebih sulit tanpa Ibu Retno.

"Mayang," katanya akhirnya, "Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di rumah om. Kamu bisa kerja di sana, gantiin posisi Ibumu. Om tahu ini nggak mudah, tapi kamu perlu tempat tinggal dan pekerjaan."

"Mayang, ini kesempatan baik. Kamu tahu, aku tidak bisa menanggungmu, dan nenekmu juga tidak." kata kerabat Bu Retno sambil menepuk bahu Mayang dengan lembut.

"Aku nggak mau merepotkan Om Valdi." ujar Mayang sambil mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata.

"Kamu nggak merepotkan," jawab Valdi dengan lembut. "Kamu butuh tempat tinggal dan om butuh bantuan. Lagipula, ini cara paling sedikit yang bisa om lakukan buat Ibumu." kata Valdi dengan tegas namun penuh empati.

Secara refleks, Mayang memeluk Valdi erat, air matanya masih mengalir.

"Terima kasih, Om Valdi... terima kasih banyak..." isaknya, suaranya terdengar begitu putus asa dan penuh rasa syukur.

Valdi sedikit tersontak ketika merasakan tubuh Mayang yang menempel padanya, terutama dada Mayang yang kini bersentuhan dengan tubuhnya. Sensasi hangat dan lembut itu membuat pikirannya berkelana sejenak, memunculkan pikiran nakal yang seharusnya tidak dia miliki di saat seperti ini. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayangan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya.

Astaga, ini nggak seharusnya terjadi... batinnya. Valdi sadar bahwa Mayang hanyalah seorang gadis muda yang lugu, dan dia harus menjaga diri dari membiarkan pikirannya melenceng. Namun, detak jantungnya tak bisa dipungkiri, berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.

"Sssh... tenang, Mayang," bisiknya, sambil menepuk lembut punggung gadis itu, berusaha menenangkan meskipun pikirannya masih sedikit kacau.

Mayang semakin erat memeluk Valdi, dia berusaha sebaik mungkin untuk fokus pada rasa simpati yang tulus, . Namun, pikiran mesumnya mulai mengganggu kesadarannya. Di tengah kehangatan tubuh Mayang yang memeluknya, naluri kelakian Valdi kian menggelora.

***

Langit senja telah berubah menjadi gelap saat Mayang tiba di rumah Valdi, sebuah rumah besar dengan arsitektur modern yang megah. Sebuah kontras mencolok dari kehidupan sederhana yang biasa dia jalani di desa. Cahaya lampu yang hangat memancar dari jendela-jendela besar, menciptakan suasana yang mengundang namun juga sedikit menakutkan bagi Mayang. Dia pernah datang ke rumah ini ketika berusia 12 tahun, namun kali ini, situasinya berbeda. Bukan kunjungan singkat, melainkan tempat tinggalnya yang baru.

Valdi mengangkat tas Mayang dan membawanya masuk ke dalam rumah.

“Mayang, ayo masuk, anggap saja rumah sendiri” katanya dengan senyum tipis. Dia memimpin Mayang melalui ruang tamu yang luas, dindingnya dihiasi dengan seni modern yang mahal, dan furniture yang terlihat nyaman namun elegan.

Mayang berjalan di belakang Valdi dengan langkah ragu, matanya melirik ke sekeliling dengan perasaan campur aduk. Rumah ini terasa begitu besar dan asing baginya, meski pernah dia kunjungi, namun kali ini berbeda.

“Terima kasih, Om,” jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian rumah itu.

Valdi berhenti di depan sebuah pintu di lantai atas.

“Ini kamar kamu, Mayang. Dekat dengan kamar om, jadi kalau ada apa-apa, kamu tinggal panggil aja, ya.” Dia membuka pintu, memperlihatkan sebuah kamar yang cukup luas dengan jendela besar menghadap taman. Sebuah tempat tidur ukuran queen yang nyaman, lemari besar, dan meja rias menghiasi kamar itu.

Mayang mengangguk, tetapi ada sedikit keraguan di wajahnya. “Om, kalau boleh, aku mau tidur di kamar ibu aja. Di kamar ini terlalu besar dan… kayaknya aku nggak cocok.”

Valdi mengerutkan kening, merasakan keengganan gadis itu. “Kamar ibu kamu kecil banget, Mayang, dan posisinya di ujung rumah. Om nggak tega lihat kamu harus tinggal di situ. Lagipula, di sini lebih nyaman buat kamu.”

Mayang terdiam, menimbang-nimbang. Dia merasa tidak enak hati menerima kamar yang begitu mewah, apalagi kamar ibunya di ujung rumah terkesan lebih aman dan nyaman. Namun, melihat ekspresi Valdi yang penuh perhatian, dia mengalah.

“Baiklah, Om. Aku tidur di sini aja,” katanya akhirnya, suaranya lembut namun masih terdengar sedikit ragu.

Valdi tersenyum, merasa lega. “Kamu bakal nyaman di sini, percayalah.”

Malam itu, setelah makan malam yang hening dan canggung, Mayang kembali ke kamarnya. Suara air di kamar mandi Valdi yang bersebelahan membuatnya merasa sedikit canggung, menyadari betapa dekatnya dia dengan pria yang jauh lebih tua darinya. Dia duduk di tepi tempat tidur, meremas-remas ujung selimut, merasa gelisah.

Sementara itu, Valdi selesai mandi dan berjalan ke kamarnya. Dia merasa ada sesuatu yang aneh malam itu—seperti ada aura ketegangan yang menggantung di udara. Entah itu karena kehadiran Mayang yang kini tinggal di rumahnya, atau karena dia masih belum bisa menghilangkan pikiran-pikiran nakal yang sempat muncul saat Mayang memeluknya di rumah sakit.

Valdi menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu, namun bayangan tubuh Mayang yang hangat dan lembut terus membayangi benaknya. Sambil mengenakan celana tidur, dia keluar dari kamar mandi, dan berhenti sejenak di depan pintu kamarnya, mendengarkan. Dia bisa mendengar langkah-langkah kecil Mayang di kamarnya, tanda bahwa gadis itu juga belum tidur.

Valdi merasa dorongan aneh untuk mendekati pintu kamar Mayang, bahkan mungkin mengetuknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurani Novianty
rmh sebesar itu kgk kedap suara apa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Liar Pembantu Lugu   Bab 378

    “Tuan…” desah Farah, yang pertama kali tiba. Ia berlutut di samping sofa, tidak menunggu perintah. Tangannya yang lihai langsung meraih kejantanan Valdi yang basah oleh cairan Mayang, dan tanpa ragu, ia melahapnya. Ia menghisap dengan rakus, membersihkan setiap jejak Mayang dengan lidahnya, seolah ingin menegaskan bahwa kini gilirannya.Mayang, yang terkulai lemas di pangkuan Valdi, hanya tertawa kecil melihat tingkah Farah. Ia tidak cemburu. Di dunia ini, semua adalah milik Valdi, dan semua melayani Valdi.Valdi menggeram, tangannya mencengkeram rambut Farah. Namun, matanya tertuju pada Lana dan Ella yang kini berdiri di hadapannya. “Kalian berdua,” perintahnya, suaranya serak. “Naik ke sofa. Aku ingin kalian saling memuaskan. Aku ingin melihatnya.”Lana dan Ella sal

  • Gairah Liar Pembantu Lugu   Bab 377

    Farah dan Ella, seolah menerima perintah tak terucap, mereka berdua menoleh ke arah Intan dengan penuh kebencian, namun dengan raut yang menggairahkan. Valdi, dengan tatapan sayu, kini tengah melahap payudara Farah yang montok, sementara tangan kirinya yang bebas menusuk dan mengaduk liang basah Farah yang berkedut. Di sisi lain, tangan kanannya tak kalah sibuk, mencengkeram dan memeras batang kecil Ella yang menegang, membuat gadis trans itu melenguh panjang, matanya memutar ke belakang.“Di sini,” lanjut Mayang, suaranya melenguh panjang saat pinggulnya bergetar hebat, merasakan puncaknya sendiri mulai mendekat, “Om Valdi… ahhh… mendapatkan semua yang ia inginkan. Setiap hasratnya terpenuhi. Setiap keinginannya adalah hukum. Ia hanya perlu menikmati. Selamanya.”Inta

  • Gairah Liar Pembantu Lugu   Bab 376

    Di tengah ruangan, di atas singgasananya—sebuah sofa kulit hitam raksasa—duduklah Valdi. Ia bukan lagi pria sakit yang terbaring di ranjang. Ia seperti seorang dewa kenikmatan yang sedang dipuja. Jubah sutra hitamnya tersampir begitu longgar hingga nyaris melorot dari bahunya yang lebar, memperlihatkan dada bidangnya yang kokoh dan perutnya yang berotot sempurna. Kakinya terentang santai, dan di antara kedua pahanya, kejantanannya yang besar dan panjang, yang kini sepenuhnya mengeras, menjadi pusat dari semua pemujaan.Di sekelilingnya, di atas karpet tebal, para wanitanya bergerak dalam tarian sensual yang lambat dan memabukkan, tubuh telanjang mereka berkilauan oleh keringat di bawah cahaya temaram.Di kaki Valdi, Farah berlutut. Ia telanjang bulat, rambut hitamnya yang panjang tergerai menut

  • Gairah Liar Pembantu Lugu   Bab 375

    Dua hari kemudian, setelah memastikan Celine cukup tenang untuk ditinggal, Intan mengemudikan mobilnya sendirian, menjauh dari gemerlap Jakarta, menuju sebuah desa kecil yang tersembunyi di kaki Gunung Gede. Perjalanan itu seperti perjalanan menembus waktu. Jalanan aspal yang mulus perlahan berganti menjadi jalan berbatu yang sempit, diapit oleh hamparan sawah hijau dan pepohonan rindang. Udara menjadi lebih sejuk, lebih bersih, dipenuhi aroma tanah basah dan bunga liar.Ia akhirnya tiba di sebuah rumah joglo tua yang sederhana namun memancarkan aura ketenangan yang luar biasa. Halamannya dipenuhi tanaman herbal dan bunga-bunga berwarna-warni. Dari dalam rumah, tercium aroma dupa cendana yang menenangkan.Seorang wanita tua dengan rambut putih yang disanggul rapi dan wajah yang dipenuhi kerutan kebijaksanaan menyambutnya di ambang pintu. Matanya, meskipun sudah

  • Gairah Liar Pembantu Lugu   Bab 374

    Udara di koridor rumah sakit terasa dingin dan steril, kontras dengan kekacauan emosi yang membakar di dalam diri Celine. Ia menceritakan semuanya pada Intan saat mereka duduk di kafe rumah sakit yang sepi, secangkir teh hangat di antara mereka seolah menjadi satu-satunya sumber kehangatan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.Intan mengaduk tehnya perlahan, matanya yang jernih dan analitis menatap Celine dengan tajam. “Mimpi itu bukan hanya milikmu, Celine. Aku yakin itu. Rasanya seperti kita sedang melihat gema dari pertempuran yang terjadi di dalam pikiran Valdi. Dan Mayang… dia bukan sekadar gadis biasa di sana.”“Tapi dia hanya seorang gadis desa yang lugu,” bantah Celine, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Anak dari pembantu yang sudah lama mengabdi pada keluarga kami. Dia tulus ingin merawat Valdi.”

  • Gairah Liar Pembantu Lugu   Bab 373

    Beberapa hari kemudian, Celine tak kuat lagi. Gundah di hatinya semakin menjadi, menggerogoti setiap detik ketenangannya. Setiap kali ia merasakan tendangan halus dari janin di perutnya, bayangan Valdi yang terbaring di ICU justru semakin kuat, menciptakan sebuah kontras yang menyiksanya. Didorong oleh rasa penasaran dan kekhawatiran yang tak tertahankan, ia membuat keputusan nekat. Ia harus melihat Valdi, dengan mata kepalanya sendiri.Di rumah sakit, udara terasa pekat dengan aroma disinfektan yang tajam. Celine, terbungkus Alat Pelindung Diri (APD) lengkap dari ujung kepala hingga kaki, berdiri di depan sebuah dinding kaca tebal yang memisahkannya dari ruang ICU. Di baliknya, di tengah kerumitan kabel dan selang, Valdi terbaring.Pria yang dulu begitu tegap, begitu penuh kuasa, yang senyumnya bisa meluluhkan sekaligus mengintimidasi, kini hanyalah bayangan p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status