“Apa yang aku pikirkan sih?” bisiknya pada dirinya sendiri, merasa malu dengan dorongan tersebut. Namun, rasa penasaran dan keingintahuan mulai menguasainya, membuat dia berjalan perlahan mendekati pintu kamar Mayang.
Mayang, yang masih duduk di tempat tidur, mendengar langkah kaki mendekat ke kamarnya. Jantungnya berdegup kencang, menyadari bahwa Valdi mungkin akan mengetuk pintu. Di kepalanya, berbagai pikiran bercampur aduk—rasa tidak enak hati, kecanggungan, dan entah kenapa, ada juga sedikit rasa penasaran yang muncul.
Valdi berdiri di depan pintu kamar Mayang, tangannya terangkat, siap untuk mengetuk. Namun, dia ragu-ragu, menahan diri. Suasana hening semakin mencekam. Pintu kamar itu menjadi penghalang tipis antara mereka, namun juga penghalang antara dorongan hati Valdi dan kesadarannya akan apa yang benar dan salah.
Ketika akhirnya Valdi menurunkan tangannya, dia merasa kekuatan itu hampir menariknya kembali. Napasnya terasa berat, dan dia tahu, jika dia tidak berhati-hati, dia bisa terperosok lebih jauh ke dalam keinginan yang tak seharusnya dia rasakan. Namun, saat itu juga, pintu kamar Mayang terbuka sedikit, dan wajahnya yang lugu muncul dari celah pintu.
“Om Valdi… ada apa?” tanyanya dengan suara yang nyaris berbisik, matanya besar menatap Valdi dengan campuran rasa ingin tahu dan kebingungan.
Valdi tertegun, matanya bertemu dengan mata Mayang yang polos namun penuh rasa ingin tahu. Ada keheningan sejenak yang terasa begitu lama. Valdi membuka mulutnya untuk berbicara, tapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya. Di tengah keheningan itu, rasa canggung dan ketegangan antara mereka memuncak, menciptakan suasana yang hampir tak tertahankan.
Tanpa disadari, tangan Valdi bergerak perlahan, mendekati pintu kamar Mayang, sementara gadis itu berdiri di sana, seolah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika tangan Valdi hampir menyentuhnya, napas mereka bertaut, udara di antara mereka terasa berat, dan ruangan itu penuh dengan keheningan yang mendebarkan...
“Om Valdi?”
Suara lembut Mayang membuyarkan lamunan Valdi, membuatnya tersadar dari apa yang hampir saja terjadi. Seketika, Valdi merasa malu pada dirinya sendiri, dan segera menarik tangannya kembali. Senyuman dipaksakan terulas di wajahnya saat dia mencoba menutupi kecanggungan yang menyelimuti mereka.
“Eh, nggak, nggak ada apa-apa, Mayang,” balas Valdi dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan sudah cukup malam. “Kamu sudah makan malam belum? Om tadi pesan makanan, kalau kamu lapar, kita makan bareng aja.”
Mayang mengangguk perlahan, senyum kecil yang masih penuh kesedihan terlukis di wajahnya. “Belum, Om. Aku belum sempat makan apa-apa sejak tadi.”
Valdi menghela napas lega, bersyukur punya alasan untuk mengalihkan fokus. “Oke, yuk kita makan dulu.”
Mereka berdua berjalan menuju ruang makan, di mana makanan yang telah dipesan Valdi dari restoran favoritnya sudah tersaji di meja. Makanan itu tampak menggoda, dengan aroma yang memenuhi udara, namun suasana di antara mereka masih terasa agak kaku. Valdi berusaha membuat Mayang nyaman, namun setiap kali dia mencuri pandang ke arah gadis itu, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.
Sambil menyantap makanan, Valdi tak sengaja memperhatikan pakaian yang dikenakan Mayang. Baju kaus yang pudar dan celana panjang yang sudah mulai robek di bagian pinggir memperlihatkan bahwa pakaian Mayang tidak lagi layak pakai. Bahkan pakaian yang dibawanya dalam tas kecil tampak tidak jauh berbeda—semuanya terlihat lusuh, bekas pemakaian yang bertahun-tahun.
“Mayang,” Valdi memulai dengan nada lembut setelah beberapa saat hening, “kamu bawa pakaian berapa banyak dari rumah nenek? Kok om lihat semuanya udah mulai pudar?”
Mayang menunduk sedikit, wajahnya memerah karena malu. “Iya, Om. Pakaian Mayang nggak banyak, cuma ini aja yang masih bisa dipakai,” jawabnya pelan.
Valdi mengangguk, berpikir sejenak. Di tengah pandemi ini, keluar rumah memang tidak mudah, dan membeli baju di toko menjadi hampir mustahil. Namun, Valdi punya solusi lain.
“Gimana kalau kita pilih beberapa baju baru buat kamu, Mayang? Sekarang kan, semuanya bisa dibeli online. Kamu tinggal pilih di marketplace, nanti biar Om yang bayarin.”
“Tapi, Om, aku nggak mau merepotkan. Baju yang ada masih cukup kok,” tambahnya dengan senyum tipis, berusaha menolak tawaran itu secara halus.
“Jangan khawatir soal itu, Mayang. Anggap saja ini sebagai hadiah kecil dari Om. Lagipula, Om senang bisa membantu,” katanya dengan nada lembut namun tegas, memastikan Mayang merasa nyaman menerima tawarannya.
Mayang menatap Valdi dengan mata sedikit terbelalak. “Beneran, Om? Nggak apa-apa?”
“Tentu aja nggak apa-apa. Kamu kan sekarang tinggal sama Om, jadi nggak usah sungkan,” kata Valdi dengan nada yang lebih ringan, berusaha membuat Mayang merasa nyaman.
Setelah makan malam, mereka berdua pindah ke ruang keluarga. Valdi duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya, sementara Mayang duduk di sampingnya, tampak antusias meski sedikit canggung. Di layar laptop, Valdi membuka halaman marketplace oren, memutar layar sedikit ke arah Mayang agar dia bisa melihat lebih jelas. Mayang yang polos dan baru pertama kali melihat begitu banyak pilihan baju yang bagus di satu tempat, tampak terpukau. Matanya berkilat-kilat saat berbagai gambar pakaian berwarna-warni melintas di layar.
“Kamu suka yang mana, Mayang?” tanya Valdi sambil memandu, matanya sedikit melirik ke arah gadis muda itu yang tampak kebingungan memilih.
Mayang dengan polosnya mencondongkan tubuhnya lebih dekat untuk melihat lebih jelas, dan tanpa sengaja dadanya yang lembut sedikit menempel di lengan Valdi. Tanpa menyadarinya, Mayang semakin dekat, hampir bersandar di Valdi, ketika dia menunjuk beberapa baju kaus dan celana panjang yang sederhana.
“Ini aja, Om. Yang penting nyaman dipakai sehari-hari,” katanya dengan suara pelan, menunduk malu-malu. Sementara dia bicara, dadanya masih menempel lembut di lengan Valdi, membuat pria itu merasakan kehangatan yang tak bisa diabaikan.
Valdi merasakan sensasi yang mendebarkan ketika tubuh Mayang terus bersentuhan dengannya. Perasaan itu mulai merambat, menyalakan gairah yang tersembunyi. Namun, dia tetap berusaha menjaga sikap tenangnya. “Bagaimana kalau yang ini?” ujarnya, mengklik gambar sebuah kaus V-neck yang sedikit ketat dengan celana pendek yang serasi. “Baju ini nyaman dipakai di rumah, dan nggak bikin gerah.”
Mayang mengerutkan kening, merasa agak bingung dengan pilihan itu. Tapi karena Valdi menyarankan, dia pun menurut. “Kalau Om bilang nyaman, ya nggak apa-apa, Om,” jawabnya dengan ragu-ragu, meski dia merasa sedikit aneh dengan pilihan tersebut. Saat dia mendekatkan wajahnya ke layar untuk melihat lebih jelas, dadanya kembali bersentuhan dengan lengan Valdi, dan kali ini lebih kuat, memancing respons fisik yang tak terhindarkan dari Valdi.
"Celine... please," Valdi sekali lagi memohon, suaranya yang memelas membuat Celine terentak dari pusaran pikirannya yang sedang berkecamuk. Meskipun tubuhnya masih memberontak di bawah cengkeraman Valdi, goncangan batin yang memilukan bercampur dengan ketakutan."Gue nggak tahu harus gimana lagi kalau lo nggak bantu gue, Cel. Gue bisa lebih gila dari sekarang," lanjut Valdi, nada suaranya kini mengandung getaran ancaman yang terselubung di balik keputusasaan.Celine terdiam. Perlahan, kekuatan yang menopang tubuhnya runtuh. Pemberontakannya mereda, badannya melemas dalam cengkeraman Valdi. Dia mengangguk pasrah, setetes air mata meluncur turun membasahi pipinya yang dingin.Tok tok tok
“Jadi gimana? Gue harus telanjang dulu gitu baru boleh masuk?” Celine mengulang, kali ini dengan sedikit penekanan, menanti reaksinya.Valdi tersenyum miring, senyum mesum yang tadi dicela Celine kini terpampang nyata. “Yaaa… ga usah telanjang juga gapapa sih,” jawabnya pelan, suaranya serak, matanya tak lepas dari Celine. “Tapi… kalo loe mau… gada yang larang juga,” lanjutnya, nadanya menggantung penuh makna terselubung.“Dasar mesum…!!” Celine mendesis, namun ada gairah yang terpantul di matanya, gairah yang bercampur tantangan. Dia berdiri, lalu mundur dua langkah dari ranjang Valdi, menatap Valdi dengan tatapan nakal yang memancing.Perlahan, gerakannya disengaja, menghipnotis. Dia membuka kancing celana jeansnya satu per satu. Jari-jari
Di tengah kekalutan dan kebingungan dengan apa yang barusan terjadi, pandangan Mayang perlahan beralih pada Valdi. Pria itu masih terbaring, memejamkan mata, tapi anehnya... wajahnya kini terlihat begitu tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah beban berat yang selama ini dilihat Mayang di wajah itu, kini telah terangkat.Melihat Valdi yang tampak begitu damai seketika menorehkan perasaan aneh di hati Mayang. Ada... kepuasan? Perasaan bahwa ia berhasil mengurangi penderitaan Valdi, menenangkannya. Dan anehnya, perasaan itu juga menenangkan Mayang, meredakan sedikit kepanikannya.Dengan tangan masih sedikit gemetar, Mayang meraih handuk kecil dari baskom di dekat ranjang. Ia mulai membersihkan noda hangat lengket itu dari telapak tangannya, mengusap di antara jemarinya, lalu dengan hati-hati membersihkan bagian yang terkena noda di tubuh Valdi.Valdi merasakan sentuhan lembut lagi. Matanya terbuka sedikit, menatap Mayang yang sedang membersihkan noda dengan tekun dan tulus.
“Kamu… ngapain?” Suara Valdi serak, terdengar penuh pertanyaan, tapi mata yang baru terbuka separuh itu memancarkan sesuatu yang lain. Bukan marah, bukan kaget, melainkan… pengamatan yang dingin.Mayang menarik tangannya seolah tersengat listrik. Wajahnya masih memerah, napasnya sedikit terengah. “Ma-maaf, Om!” Ia tergagap. “Mayang… Mayang nggak sengaja…”Ia menatap Valdi dengan mata penuh penyesalan. “Mayang cuma… heran ini apa. Keras di dalam tapi lembek di luar. Tadi waktu Mayang pegang… kok tiba-tiba tegang sendiri. Mayang pikir… sakit.”Valdi mengamati ekspresi Màyang yang masih dipenuhi kebingungan. Ada sedikit keanehan, kegugupan yang halus yang mulai muncul di mata polosnya, tetapi dibungkus erat oleh hasr
Napas Mayang terasa pendek-pendek saat ia berdiri di depan pintu kamar Valdi. Rambutnya yang masih setengah basah menetes pelan, membasahi punggung crop top putih ketat yang dikenakannya. Kain tipis itu menempel erat, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang muda. Rok mini coklat muda di pinggangnya bergoyang lembut setiap kali ia bergerak, memperlihatkan paha jenjangnya yang bersih nyaris tanpa tertutup apa pun.Jantungnya berdebar. Bukan debaran normal, tapi debaran yang aneh—campuran gugup, rasa ingin tahu, dan sesuatu yang lain yang belum ia pahami.Dengan telapak tangan yang terasa lembab karena keringat dingin, ia mengangkat tangan dan mengetuk pintu.Tok. Tok.&ldqu
Dua hari telah berlalu sejak kepulangannya dari rumah sakit. Valdi akhirnya kembali ke rumahnya sendiri. Sebuah bangunan besar, megah berlantai tiga, berdiri kokoh di tengah kawasan elit yang sunyi, nyaris tersembunyi dari hiruk pikuk dunia luar. Pintu gerbang besi menjulang, dijaga ketat oleh sepasang penjaga berpakaian serba hitam yang nyaris tak pernah bersuara, mereka hanya bergerak atas instruksi langsung dari Valdi.Dahulu, sekitar tiga tahun lalu, Mayang pernah mengenal rumah ini dengan nuansa yang berbeda. Saat itu, ia datang bersama ibunya, yang berstatus sebagai pembantu setia di kediaman Valdi. Namun, sekarang... segalanya terasa asing. Rumah ini kehilangan kehangatannya, tanpa kehadiran Anya, mantan istri Valdi yang dulu ceria. Tanpa Ibunya, yang menjadi satu-satunya jembatan Mayang ke tempat ini. Dan tanpa siapa-siapa lagi... hanya Valdi... dan dirinya sendiri.