Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
View MoreDi kamar yang sunyi dan remang, kehangatan malam terasa menekan, membungkus mereka dalam suasana yang berat dan penuh ketegangan. Aroma parfum lembut bercampur dengan keringat, menciptakan hawa yang hampir menyesakkan. Tirai setengah terbuka membiarkan sinar bulan samar menerobos masuk, menyoroti seprai yang kusut di atas tempat tidur, yang kini menjadi saksi pergulatan fisik dan emosional di antara mereka.
Tubuh Anya bergetar halus di bawah Valdi, mengikuti irama yang telah berlangsung terlalu lama. Matanya terpejam rapat, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun bibirnya terkatup rapat. Setiap gerakan Valdi terasa seperti beban yang semakin berat, mendorongnya ke titik di mana ia tak sanggup lagi bertahan. Anya mulai menggelengkan kepalanya perlahan, seolah menolak kenyataan yang tak bisa ia hindari.
"Cukup, Valdi... cukup..." bisiknya, suaranya terdengar serak dan penuh dengan keputusasaan.
Valdi yang berada di ambang puncak kenikmatan, hampir tidak mendengar bisikan Anya di tengah-tengah derasnya sensasi yang meluap dalam dirinya. Namun, gerakan kepala Anya yang menggeleng perlahan menarik perhatiannya. Dia melihat Anya dengan pipi yang sudah basah oleh air mata, kepalanya masih bergerak, seolah memohon agar semuanya berhenti.
Anya menggigit bibirnya untuk menahan isakan yang tak bisa lagi dia bendung. Kedua tangannya mengangkat sedikit, seolah ingin mendorong Valdi menjauh, namun kekuatan itu dengan cepat memudar dalam kelelahan yang mendalam.
"Tolong... cukup," suaranya kini lebih jelas, namun masih diwarnai isak yang tertahan.
Namun, Valdi terlalu tenggelam dalam hasratnya untuk sepenuhnya menyadari kehancuran yang dia sebabkan. Detik-detik terakhir itu terasa seperti keabadian bagi Anya, yang hanya bisa menunggu, dengan perasaan pasrah, sampai semua ini berakhir.
Setelah dua jam bercinta, Valdi mencapai puncaknya dengan erangan yang menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya menggigil dalam kenikmatan yang meluap, sementara di bawahnya, Anya terbaring dengan tubuh yang lelah, bergerak tanpa semangat mengikuti irama yang telah terlalu lama menuntutnya. Air mata jatuh perlahan dari sudut matanya, membasahi pipinya yang dingin.
Setiap sentuhan Valdi terasa seperti beban yang tak tertanggungkan, dan setiap desahan adalah pengingat akan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Anya berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri, namun hatinya menjerit dalam diam, terperangkap dalam lingkaran yang tak kunjung usai. Tangisnya tak bersuara, hanya air mata yang membasahi bantal, menciptakan pola keputusasaan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasa terjebak.
Setelahnya, Valdi merebahkan diri di samping Anya, menghela napas panjang saat tubuhnya mulai rileks di atas kasur. Tapi Anya, dengan hati yang berat, segera berguling menjauh, memunggungi Valdi, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.
"Aku nggak bisa lagi, Valdi," suaranya pecah dalam keheningan, menyuarakan beban yang lebih berat daripada sekadar kata-kata.
Valdi menoleh, meski dalam hatinya dia sudah tahu.
"Maksudmu...?" tanyanya dengan suara yang lebih lelah daripada bingung.
Anya menghela napas panjang, suaranya terdengar getir dan penuh kelelahan.
"Ini bukan pertama kalinya kita bicara soal ini. Aku sudah coba, Valdi. Aku benar-benar sudah berusaha. Tapi aku nggak bisa lagi. Setiap malam rasanya seperti siksaan, bukan cinta."
Dia menoleh, menatap Valdi dengan mata yang sembap dan penuh luka.
"Aku udah capek. Bukan cuma tubuhku yang nggak sanggup lagi, tapi juga hatiku. Aku mau cerai."
Valdi terdiam, kata-kata Anya menembus sisa-sisa pertahanannya yang sudah lemah. Dia tahu keinginannya yang tinggi sering kali tak bisa dikendalikan, dan Anya selalu mengeluh tak mampu mengimbanginya. Tapi dia tak pernah membayangkan bahwa itu akan menghancurkan pernikahan mereka.
"Maaf, Anya. Aku tahu ini berat... Aku tahu aku minta terlalu banyak..."
Anya menutup matanya, menahan lebih banyak air mata yang ingin tumpah.
"Aku butuh keluar dari ini, Valdi. Aku nggak bisa terus merasa seperti ini, terjebak dalam sesuatu yang nggak lagi membuatku bahagia. Ini harus berakhir."
Valdi terdiam, rasa sakit mengiris hatinya saat menyadari bahwa ia mungkin akan kehilangan wanita yang pernah menjadi cinta sejatinya. Di tengah keheningan yang mencekam, Valdi menyadari bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.
****
Valdi duduk di kursi tunggu rumah sakit, tangannya memijit pelipis yang berdenyut. Pikiran dan perasaannya masih berkecamuk, dibayangi proses perceraian yang baru saja berakhir. Valdi tidak menyangka di usianya yang baru menginjak 32 tahun dirinya sudah menjadi seorang duda.
Sejak Anya meninggalkannya, rumah terasa kosong, dan kenangan yang pernah manis kini menjadi pahit. Namun, hari ini, pikirannya harus terfokus pada Ibu Retno—pembantu yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama lebih dari dua puluh tahun.
Ibu Retno, yang selalu setia melayani keluarga Valdi, kini terbaring di rumah sakit, kondisinya semakin memburuk akibat COVID-19. Valdi merasa ada beban tambahan di hatinya, seolah-olah kehilangan orang yang setia mendampinginya hampir sepanjang hidup. Pikirannya masih terpecah antara rasa bersalah dan kesepian yang menggerogoti sejak perceraian, ketika sosok yang tak terduga menarik perhatiannya.
Langkah-langkah ringan mendekat, dan Valdi menoleh, melihat seorang wanita paruh baya yang tampaknya kerabat Ibu Retno, diikuti oleh seorang gadis muda. Saat pandangannya bertemu dengan gadis itu, jantung Valdi seolah berhenti sejenak. Gadis itu adalah Mayang, anak Ibu Retno, yang sekarang sudah berusia 18 tahun.
Valdi teringat saat pertama kali bertemu Mayang, seorang gadis kecil berusia 12 tahun yang pemalu dan pendiam. Tapi kini, di depannya berdiri seorang wanita muda yang telah tumbuh menjadi sangat menawan. Wajah Mayang cantik, dengan mata besar yang berkilauan, dan tubuhnya telah berkembang menjadi bentuk yang menggoda. Namun, yang paling mencolok adalah kesan lugunya yang luar biasa. Meski penampilannya telah matang, kepolosan itu masih terpancar jelas dari cara dia menunduk malu-malu dan senyum tipis yang muncul di bibirnya.
"Selamat sore, Om Valdi," sapanya dengan suara lembut, nyaris berbisik. Senyum yang dulu terkesan kekanak-kanakan kini lebih halus, namun tetap menyimpan kehangatan dan kepolosan yang sama.
Valdi menatap Mayang, senyum manis dan polosnya seolah-olah tak menyadari badai yang sedang berkecamuk dalam diri Valdi. Dalam pikirannya, Valdi merasakan pergulatan yang semakin intens—dorongan liar yang tak bisa dia redam, hasrat yang semakin sulit untuk dikendalikan.
Dia begitu dekat... begitu polos... pikir Valdi, merasakan adrenalin memacu lebih cepat dalam nadinya. Aku tahu ini salah, tapi kenapa aku tidak bisa berhenti membayangkannya?
Valdi menelan ludah, matanya tak bisa lepas dari sosok Mayang. Setiap gerakan gadis itu, setiap senyum kecil yang dia berikan, seolah-olah menarik Valdi lebih dalam ke dalam jurang keinginan yang tidak seharusnya.
Dia adalah milikku, dia harus menjadi milikku... pikirnya, hampir tak percaya dengan dorongan yang kini mendominasi pikirannya.
Bagaimana caranya? benaknya terus berputar, mencari cara,
Bagaimana aku bisa mendapatkan dia tanpa dia menyadari niatku?
“Tuan…” desah Farah, yang pertama kali tiba. Ia berlutut di samping sofa, tidak menunggu perintah. Tangannya yang lihai langsung meraih kejantanan Valdi yang basah oleh cairan Mayang, dan tanpa ragu, ia melahapnya. Ia menghisap dengan rakus, membersihkan setiap jejak Mayang dengan lidahnya, seolah ingin menegaskan bahwa kini gilirannya.Mayang, yang terkulai lemas di pangkuan Valdi, hanya tertawa kecil melihat tingkah Farah. Ia tidak cemburu. Di dunia ini, semua adalah milik Valdi, dan semua melayani Valdi.Valdi menggeram, tangannya mencengkeram rambut Farah. Namun, matanya tertuju pada Lana dan Ella yang kini berdiri di hadapannya. “Kalian berdua,” perintahnya, suaranya serak. “Naik ke sofa. Aku ingin kalian saling memuaskan. Aku ingin melihatnya.”Lana dan Ella sal
Farah dan Ella, seolah menerima perintah tak terucap, mereka berdua menoleh ke arah Intan dengan penuh kebencian, namun dengan raut yang menggairahkan. Valdi, dengan tatapan sayu, kini tengah melahap payudara Farah yang montok, sementara tangan kirinya yang bebas menusuk dan mengaduk liang basah Farah yang berkedut. Di sisi lain, tangan kanannya tak kalah sibuk, mencengkeram dan memeras batang kecil Ella yang menegang, membuat gadis trans itu melenguh panjang, matanya memutar ke belakang.“Di sini,” lanjut Mayang, suaranya melenguh panjang saat pinggulnya bergetar hebat, merasakan puncaknya sendiri mulai mendekat, “Om Valdi… ahhh… mendapatkan semua yang ia inginkan. Setiap hasratnya terpenuhi. Setiap keinginannya adalah hukum. Ia hanya perlu menikmati. Selamanya.”Inta
Di tengah ruangan, di atas singgasananya—sebuah sofa kulit hitam raksasa—duduklah Valdi. Ia bukan lagi pria sakit yang terbaring di ranjang. Ia seperti seorang dewa kenikmatan yang sedang dipuja. Jubah sutra hitamnya tersampir begitu longgar hingga nyaris melorot dari bahunya yang lebar, memperlihatkan dada bidangnya yang kokoh dan perutnya yang berotot sempurna. Kakinya terentang santai, dan di antara kedua pahanya, kejantanannya yang besar dan panjang, yang kini sepenuhnya mengeras, menjadi pusat dari semua pemujaan.Di sekelilingnya, di atas karpet tebal, para wanitanya bergerak dalam tarian sensual yang lambat dan memabukkan, tubuh telanjang mereka berkilauan oleh keringat di bawah cahaya temaram.Di kaki Valdi, Farah berlutut. Ia telanjang bulat, rambut hitamnya yang panjang tergerai menut
Dua hari kemudian, setelah memastikan Celine cukup tenang untuk ditinggal, Intan mengemudikan mobilnya sendirian, menjauh dari gemerlap Jakarta, menuju sebuah desa kecil yang tersembunyi di kaki Gunung Gede. Perjalanan itu seperti perjalanan menembus waktu. Jalanan aspal yang mulus perlahan berganti menjadi jalan berbatu yang sempit, diapit oleh hamparan sawah hijau dan pepohonan rindang. Udara menjadi lebih sejuk, lebih bersih, dipenuhi aroma tanah basah dan bunga liar.Ia akhirnya tiba di sebuah rumah joglo tua yang sederhana namun memancarkan aura ketenangan yang luar biasa. Halamannya dipenuhi tanaman herbal dan bunga-bunga berwarna-warni. Dari dalam rumah, tercium aroma dupa cendana yang menenangkan.Seorang wanita tua dengan rambut putih yang disanggul rapi dan wajah yang dipenuhi kerutan kebijaksanaan menyambutnya di ambang pintu. Matanya, meskipun sudah
Udara di koridor rumah sakit terasa dingin dan steril, kontras dengan kekacauan emosi yang membakar di dalam diri Celine. Ia menceritakan semuanya pada Intan saat mereka duduk di kafe rumah sakit yang sepi, secangkir teh hangat di antara mereka seolah menjadi satu-satunya sumber kehangatan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.Intan mengaduk tehnya perlahan, matanya yang jernih dan analitis menatap Celine dengan tajam. “Mimpi itu bukan hanya milikmu, Celine. Aku yakin itu. Rasanya seperti kita sedang melihat gema dari pertempuran yang terjadi di dalam pikiran Valdi. Dan Mayang… dia bukan sekadar gadis biasa di sana.”“Tapi dia hanya seorang gadis desa yang lugu,” bantah Celine, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Anak dari pembantu yang sudah lama mengabdi pada keluarga kami. Dia tulus ingin merawat Valdi.”
Beberapa hari kemudian, Celine tak kuat lagi. Gundah di hatinya semakin menjadi, menggerogoti setiap detik ketenangannya. Setiap kali ia merasakan tendangan halus dari janin di perutnya, bayangan Valdi yang terbaring di ICU justru semakin kuat, menciptakan sebuah kontras yang menyiksanya. Didorong oleh rasa penasaran dan kekhawatiran yang tak tertahankan, ia membuat keputusan nekat. Ia harus melihat Valdi, dengan mata kepalanya sendiri.Di rumah sakit, udara terasa pekat dengan aroma disinfektan yang tajam. Celine, terbungkus Alat Pelindung Diri (APD) lengkap dari ujung kepala hingga kaki, berdiri di depan sebuah dinding kaca tebal yang memisahkannya dari ruang ICU. Di baliknya, di tengah kerumitan kabel dan selang, Valdi terbaring.Pria yang dulu begitu tegap, begitu penuh kuasa, yang senyumnya bisa meluluhkan sekaligus mengintimidasi, kini hanyalah bayangan p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments