Anya memandang wajah Valdi yang kosong dengan sorot mata penuh keprihatinan. Ia mengangguk membenarkan. “Iya Val, sebulan. Kamu kena varian Covid yang ganas.” Ia menjelaskan dengan suara lembut namun jelas, memberikan detail yang mungkin sulit diterima Valdi, “Saat itu kamu hipertensi, stres tinggi, dan mengalami badai sitokin yang menyerang parah. Kamu hampir nggak bisa bertahan.” Anya menghela napas, menghentikan kalimatnya sejenak, tak sanggup mengucapkannya lebih lanjut. Implikasinya menggantung di udara: tanpa penanganan cepat, Valdi mungkin tak akan bangun lagi.
Valdi masih tertegun, tatapannya kosong menembus langit-langit putih. Pikirannya sibuk memproses informasi yang saling bertolak belakang ini. “Sebulan koma karena Covid?” gumamnya, suara serak seperti tak dipakai lama, “Bukan karena ditabrak?”
Anya m
Keheningan itu terasa seperti kain beludru tebal yang menindih. Di ruang VIP rumah sakit itu, jejak tamparan keras kenyataan masih terasa begitu nyata, membekas bukan di kulit, melainkan di hati dan benak Valdi. Matanya terpaku pada kedua kakinya yang terdiam di bawah selimut tipis, terasa asing, terasa… mati rasa. Bagai terputus dari sisa tubuhnya. Udara dingin dari pendingin ruangan seolah merayap masuk ke pori-porinya, membawa serta gelombang kecemasan yang perlahan naik ke permukaan.Suaranya sendiri terdengar jauh, serak, nyaris patah—seperti ranting rapuh yang siap patah kapan saja. Ia memecah keheningan yang terasa begitu mencekik, memanggil nama yang terasa asing di lidahnya setelah sekian lama terdiam. "Anya…"Anya, mantan istrinya, bergerak mendekat. Ia berusaha keras agar suaranya terdengar tenang, seolah ini hanya masalah kecil y
Ia menelan ludah, tiba-tiba disergap keraguan yang dingin. Apakah gadis ini nyata? Atau sisa-sisa kabut di benaknya yang belum sepenuhnya sirna?Di sebelahnya, Anya berdiri, mengawasi. Diam, namun sorot matanya menajam, menembus kebingungan dan keterpukauan yang terpancar jelas di wajah Valdi yang terlalu lama terpaku pada gadis itu.Dengan langkah pelan, Anya mendekati sisi ranjang. Ujung jarinya menyentuh bahu Valdi, sentuhan ringan namun penuh arti.“Val,” suara Anya terdengar rendah, nyaris seperti bisikan peringatan yang lembut. “Kamu kenapa?”Sentuhan itu menarik Valdi kembali. Ia menoleh sekilas ke arah Anya, lalu kembali pada Mayang. Dadanya terasa sesak—bukan karena sakit fisik, melainkan karena lilitan perasaan yang asing namun men
Anya memandang wajah Valdi yang kosong dengan sorot mata penuh keprihatinan. Ia mengangguk membenarkan. “Iya Val, sebulan. Kamu kena varian Covid yang ganas.” Ia menjelaskan dengan suara lembut namun jelas, memberikan detail yang mungkin sulit diterima Valdi, “Saat itu kamu hipertensi, stres tinggi, dan mengalami badai sitokin yang menyerang parah. Kamu hampir nggak bisa bertahan.” Anya menghela napas, menghentikan kalimatnya sejenak, tak sanggup mengucapkannya lebih lanjut. Implikasinya menggantung di udara: tanpa penanganan cepat, Valdi mungkin tak akan bangun lagi.Valdi masih tertegun, tatapannya kosong menembus langit-langit putih. Pikirannya sibuk memproses informasi yang saling bertolak belakang ini. “Sebulan koma karena Covid?” gumamnya, suara serak seperti tak dipakai lama, “Bukan karena ditabrak?”Anya m
Lorong kelam itu membahana oleh suara tawa dan canda yang riang. Mayang, Sarah, dan Kamala mendatanginya, bukan dalam balutan busana sehari-hari, melainkan seragam pelayan super-mini berwarna hitam putih yang nakal. Rok mereka hanya sebatas pangkal paha, memperlihatkan renda-renda halus di baliknya, kontras dengan kaki jenjang dan belahan dada yang menggoda. Sarah, dengan senyum iblisnya, duduk di tepi ranjang, menyilangkan kaki tinggi-tinggi hingga roknya makin tersingkap. Mayang terkikik geli sambil membungkuk, seolah membersihkan noda transparan di lantai, memamerkan punggung mulus dan lekuk tubuhnya yang sempurna dari balik kain tipis. Kamala, yang paling berani, mendekat dan membisikkan sesuatu yang vulgar di telinganya, napas hangatnya menggelitik kulit Valdi. Tangan lentiknya membelai pelan dadanya, turun lebih rendah, seolah menguji ketegangan di sana. Mereka menggodanya, menjanjikan kenikmatan tanpa kata lewat mata yang berbinar birahi. Dan d
Hantaman itu terjadi dengan kecepatan yang mematikan. Mobil yang melaju tanpa kendali menghantam tubuh Valdi dengan keras. Bunyi benturan logam dan daging itu terasa seperti ledakan kecil yang merobek ketenangan pagi. Tubuh Valdi terlempar ke udara bagai boneka kain, berputar tak berdaya sebelum jatuh menghantam aspal dengan bunyi yang menggelegar, memekakkan telinga.Waktu seolah berhenti sejenak. Kendaraan di sekitar mengerem mendadak, menimbulkan bunyi decitan ban yang tajam. Orang-orang di pinggir jalan, yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, berhenti, menoleh ke arah sumber keributan, mata mereka dipenuhi kengerian. Pengemudi mobil yang menabrak panik, menginjak rem sekuat tenaga, namun momentum mobil itu membawanya melaju beberapa meter lagi sebelum akhirnya berhenti dengan tersentak.Di seberang jalan, Anya masih terpaku. Jeritannya terputus, di
Langkahnya ringan namun terkesan tegas. Ia tahu Valdi ada di rumah, ia bisa melihat sepatunya di dekat pintu. Suasana di dalam rumah terasa hangat tapi juga sedikit berantakan—tanda bahwa malam sebelumnya banyak hal terjadi. Anya menaiki tangga menuju lantai atas, mengikuti intuisi yang menuntunnya ke kamar Valdi.Saat sampai di depan pintu kamar, Anya merasakan degup jantungnya semakin kencang. Ia menekan gagang pintu, membuka perlahan. Apa yang ia temukan membuat dunia seolah berhenti sejenak.Di dalam kamar, Valdi tertidur dengan empat wanita lain—Mayang, Sarah, Kamala, dan Indah—semuanya masih berselimut seadanya, dengan pakaian yang sebagian besar berserakan di lantai. Anya berdiri terpaku, matanya membelalak. Ada perasaan hancur, kecewa, dan marah yang bercampur menjadi satu.“Val&helli
Sementara itu, Sarah dan Kamala juga tak mau ketinggalan. Kamala, dengan kemaluannya yang kecil, mulai memasukkan kemaluannya ke dalam lubang anus Sarah, membuat Sarah mendesah keras. Sarah merasakan sensasi yang unik, tubuhnya menegang karena kenikmatan yang tak tertahankan.Indah mencapai puncak kenikmatan, tubuhnya bergetar hebat karena orgasme yang dahsyat. Valdi, yang masih bergairah, beralih ke Sarah yang kini berada dalam posisi doggy style. Ia memasukkan penisnya yang besar ke dalam lubang kenikmatan Sarah. Sarah mengerang keras, tubuhnya bergoyang mengikuti irama gerakan Valdi. Kamala, yang masih bernafsu, mulai mengocok penisnya sendiri sampai mencapai puncak kenikmatan, sambil berciuman panas dengan Sarah.Sarah mencapai puncak kenikmatan, tubuhnya lemas dan basah kuyup karena orgasme. Valdi, yang belum puas, mendekati Mayang yang mulai bergair
Valdi mengerti. Ia merasakan hasrat yang sama membuncah dalam dirinya. Ia menggenggam tangan Mayang lebih erat, mendekatkan tubuhnya dan membisikkan kata-kata yang membuat Mayang sedikit terkejut. "Pengen apa, sayang," bisiknya, matanya tak lepas menatap mata Mayang.Mayang, yang merasa jantungnya berdebar kencang, semakin mendekat ke tubuh Valdi. Ia merasakan tubuh Valdi yang tegap dan hangat. Aroma maskulin Valdi memenuhi indranya, membangkitkan rasa nyaman dan gairah yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.Valdi mulai mengecup lembut bibir Mayang, merasakan kelembutan dan kehangatannya. Ciuman mereka semakin dalam, penuh gairah dan rasa haus. Mayang membalas ciuman Valdi dengan penuh semangat, tangannya mulai menjelajahi tubuh Valdi. Ia merasakan otot-otot Valdi yang tegang, merasakan tubuhnya yang kuat dan maskulin.Sarah dan Indah, yang masih asyik berbincang, tak menyadari apa yang terjadi d
Kamala muncul dari dapur minibar dengan nampan besar berisi minuman racikannya yang berwarna cerah. Beberapa gelas berisi cairan yang menggoda terlihat berembun, dihiasi potongan jeruk dan daun mint. “Minuman spesial malam ini, aku buat biar suasananya lebih santai,” katanya sambil tersenyum lembut, menaruh nampan di meja taman.“Apa ini, Kamala? Kayaknya enak banget,” tanya Sarah, langsung meraih salah satu gelas.“Campuran vodka, jus buah, dan sedikit soda. Aku bikin smooth, jadi nggak terlalu berat,” jawab Kamala sambil tersenyum puas. “Coba aja, pasti kalian suka.”Mayang segera meraih gelas dengan antusias, menyeruputnya perlahan. “Wah, ini enak banget! Kamu memang paling jago bikin minuman,” katanya dengan nada ceria, meski kilatan di matanya menunjukkan efek alkohol yang mulai terasa.Sementara itu, di sisi taman yang lebih tenang, Serafina masih terlibat percakapan santa