Waktu, konsep yang dulu begitu mengikat Celine, kini hanyalah sebuah ilusi yang meleleh di bawah teriknya gairah. Dua hari berikutnya adalah sebuah kabur sensual yang memabukkan, sebuah pusaran kenikmatan di mana detik, menit, dan jam kehilangan makna. Vila Puncak, yang tadinya terasa sunyi, seolah menyusut, menjadi semesta pribadi yang terisolasi. Di sini, di balik dinding kaca yang menghadap perbukitan hijau, tidak ada nama Gilang yang berani disebut, tidak ada tanggung jawab yang membebani, dan tidak ada jejak dosa yang membebani. Yang ada hanyalah Valdi dan Celine, dan gairah tak terbatas yang membakar di antara mereka, lebih terang dari matahari.
Valdi memperlakukan Celine bukan hanya seperti ratu, tapi seperti dewi yang baru turun dari surga. Pagi hari, ia akan membangunkannya dengan ciuman lembut, bibir hangatnya menyentuh setiap inci kulit Celine yang terbuka. Aroma kopi yang baru diseduh dan roti
Napas Intan tercekat. Ciuman Valdi, yang tadinya lembut menjajaki bibirnya, kini berubah menjadi badai yang melumat, menghisap setiap oksigen dari paru-parunya. Ia meraih wajah pria itu, jemarinya yang lentik mencengkeram rambut tebal Valdi, menariknya semakin dekat, seolah ingin menyatukan mereka menjadi satu. Semua keraguan, semua permainan catur psikologis yang selama ini mereka mainkan, kini lenyap ditelan gelombang gairah murni yang membakar, melenyapkan akal sehat. Ia membalas setiap lumatan Valdi dengan kerakusan yang sama, lidah mereka bertaut dalam tarian panas yang basah dan menuntut, saling menjajah, saling mengklaim. Erangan pelan keluar dari bibirnya, bukan penolakan, melainkan undangan.Valdi menggeram puas, merasakan dominasinya. Ia merasakan penyerahan diri total dalam ciuman Intan. Dengan gerakan cepat namun tetap sensual, ia menarik blus sutra Intan ke atas, melepaskannya dari tubuh wanit
Satu jam kemudian, tim audit tiba. Namun, saat mereka masuk ke ruang rapat, Valdi merasakan gelombang kekecewaan yang dingin menghantamnya. Intan tidak ada di antara mereka.“Di mana Intan?” tanya Valdi langsung pada ketua tim, nadanya tidak menyembunyikan kekesalannya.“Maaf, Pak Valdi,” jawab pria itu gugup. “Nona Intan sedang mengurus audit darurat di perusahaan klien kami di Singapura. Beliau baru akan kembali ke Indonesia sore ini.”Valdi menatap pria itu dengan tatapan dingin yang membuat seisi ruangan merinding. “Jadwal penerbangannya?” tanyanya.Ketua tim itu, dengan tangan gemetar, segera memberikan detail penerbangan Intan. Valdi mendengarkan, mencatatnya dalam benak. “Kalian boleh pergi,” usirnya, mem
Keesokan harinya, Valdi datang lebih pagi ke kantor, bahkan sebelum matahari sepenuhnya menampakkan diri. Ada energi gelisah yang membakar di dalam dirinya. Ia bukan datang untuk bekerja. Ia datang untuk menunggu. Ia duduk di singgasananya di ruang kerja yang luas, matanya terpaku pada pintu masuk lobi melalui layar CCTV, menantikan satu siluet yang telah meracuni pikirannya: Intan.Namun, jam demi jam berlalu, Intan tak kunjung datang. Matahari naik semakin tinggi, lalu mulai condong ke barat. Valdi semakin kalut. Setiap derit pintu lift, setiap langkah kaki di koridor, membuatnya menoleh penuh harap, hanya untuk dikecewakan.Debby, sekretarisnya yang sensual, mencoba segala cara untuk menarik perhatiannya. Ia masuk membawakan kopi dengan rok yang terasa lebih pendek dari kemarin, membungkuk lebih rendah dari seharusnya, membiarkan Valdi melihat belahan payuda
Valdi menatapnya, matanya yang tajam menyapu penampilan Debby. Ia tahu persis permainan apa yang sedang dimainkan oleh sekretarisnya ini. Biasanya, ia akan menikmati permainan itu. Tapi hari ini, pikirannya terlalu penuh oleh Intan.“Tim audit eksternal,” kata Valdi langsung. “Aku ingin tahu semua tentang ketua tim mereka, Intan.”Debby tampak sedikit kecewa karena Valdi tidak menanggapi godaannya. “Nona Intan, Pak?” ulangnya. “Informasi yang saya miliki terbatas. Beliau auditor senior dari firma Kreston Advisory, sangat profesional. Sejauh ini hanya itu, Pak.”Valdi mendengus, jelas tidak puas. “Hanya itu?”“Apa Bapak ingin saya mencari informasi lebih lanjut?” tawar Debby, melihat kesempatan untuk membuat atasannya terkesan.
“Kamu milikku Lana….milikku,” bisik Valdi, tangannya memegang pinggul Lana, memompanya dengan ritme yang ia sukai.Lana membungkuk, memeluk dan mencium Valdi dengan penuh gairah, payudaranya yang mungil menekan dada bidang pria itu. Keringat membasahi tubuh mereka, menyatukan aroma mereka menjadi satu. “Aku milikmu, Mas… selamanya… Lakukan apa pun padaku…” bisiknya di sela ciuman mereka yang panas.Valdi membiarkan Lana mengendalikan permainan untuk sementara waktu, menikmati pemandangan wanita itu yang kehilangan dirinya dalam kenikmatan. Ia memompa liang Lana tanpa ampun sampai wanita itu kembali menjerit, mencapai puncak kenikmatannya yang kedua, lalu yang ketiga. Setiap orgasme terasa lebih kuat dari sebelumnya, membuat Lana menangis dan tertawa pada saat yang bersamaan, kewalahan oleh badai sensasi yang diciptakan oleh Valdi.
Fajar menyingsing, sinarnya yang lembut menyelinap masuk, menyinari pemandangan kekacauan sensual di ruang keluarga. Valdi terbangun di atas sofa yang luas, tubuhnya terasa sedikit pegal namun luar biasa puas. Di sekelilingnya, terbaring tiga tubuh telanjang yang terkulai lemas dalam tidur yang sangat pulas. Mayang meringkuk di dadanya, napasnya yang polos berembus teratur. Farah tergeletak di sisinya, salah satu lengannya masih memeluk paha Valdi. Dan Ella, di karpet bawah, bersandar di sofa dengan senyum tipis di bibirnya yang tertidur.Mereka adalah piala kemenangannya, tiga budak yang telah ia hancurkan dan bentuk ulang sesuai kehendaknya. Dengan gerakan tanpa suara, Valdi meloloskan diri dari tumpukan tubuh itu. Ia berjalan menuju jendela, menatap matahari terbit. Permainan semalam adalah penegasan. Hierarki telah ditetapkan.Ia meninggalkan ruangan itu, b