Keesokan harinya, Valdi tidak menghubungi Vina. Ia juga tidak menghubungi Intan. Ia membiarkan mereka berdua terlarut dalam neraka pribadi mereka, membiarkan racun dari pengakuan semalam bekerja, meresap ke dalam setiap pori-pori jiwa mereka. Ia tahu, dalam kekacauan emosional, seorang wanita akan mencari pegangan. Dan ia telah memposisikan dirinya sebagai satu-satunya pegangan yang tersedia.
Benar saja, sore harinya, sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan gerbang kediaman Wirasatya. Vina melangkah keluar, wajahnya pucat dan matanya bengkak, namun ia mengenakan gaun terbaiknya, sebuah baju zirah keanggunan untuk menutupi kerapuhannya.
Valdi menemuinya di ruang kerja, tempat yang telah menjadi saksi bisu dari banyak dosa mereka.
“Bagaimana keadaan Intan?” tanya Valdi, suaranya penuh dengan “kepe
Pertanyaan itu adalah sebuah provokasi. Valdi tidak lagi peduli dengan kerapuhan Celine; ia hanya peduli untuk menunjukkan pada Intan betapa kuatnya pengaruhnya, betapa dalamnya kenikmatan yang bisa ia berikan, yang mampu membuat seorang wanita melupakan segalanya.Intan mencoba mempertahankan topeng profesionalnya, namun ia bisa merasakan wajahnya memanas. Pemandangan itu… suara itu… aroma s*ks yang pekat di udara… semua itu adalah serangan sensual yang meruntuhkan benteng pertahanannya lapis demi lapis. Ia menelan ludah, mencoba menjawab, namun yang keluar hanyalah desahan napas yang tertahan.Intan masih terpaku di kursinya, napasnya tercekat di tenggorokan. Pemandangan di hadapannya adalah sebuah lukisan hidup dari dosa dan kenikmatan yang paling murni. Di atas meja kerja yang dingin dan kokoh, Celine, wanita yang baru saja ia kenal seb
Tanpa sadar, didorong oleh gelombang nafsu yang Valdi bangkitkan, tangan kanan Celine bergerak turun, jari-jarinya yang lentik menemukan dan mulai mengusap serta menggesek biji kecilnya yang sudah membengkak dan sangat sensitif. Di saat yang sama, tangan kirinya meremas payudaranya sendiri yang membesar karena kehamilan, putingnya yang mengeras ia pilin dengan gerakan yang putus asa. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan jeritan yang ingin meledak.Lalu, matanya yang sayu terbuka sedikit. Ia menatap lurus ke arah Intan, yang masih duduk membeku di kursinya. Tatapan Celine begitu dalam, seolah mengirimkan pesan bisu, seolah ingin membagi kenikmatan luar biasa yang sedang ia alami, sebuah undangan diam ke dalam neraka sensual mereka.Tak berapa lama, tubuh Celine kembali bergetar hebat. Kali ini, getarannya bukan hanya di permukaan, melainkan mengguncang dari inti
Sore itu, Intan melangkah masuk ke ruang kerja Valdi. Setelan kerjanya sempurna, rambutnya disanggul rapi, dan matanya di balik kacamata berbingkai tipis tampak tajam dan fokus. Jika ada sisa-sisa badai emosional dari dua hari yang lalu, ia menyembunyikannya dengan sangat baik.Valdi duduk di balik mejanya, mengamatinya. Ia terpesona. Wanita ini benar-benar sebuah benteng.“Selamat sore, Pak Valdi,” sapa Intan, suaranya datar. “Ada masalah audit mendesak apa yang perlu kita diskusikan?”Valdi tersenyum. “Tidak ada masalah sama sekali, Intan. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”Intan mengangkat alisnya. “Kondisi personal saya tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya, Pak. Jika tidak ada yang perlu dibahas, saya perm
Keesokan harinya, Valdi tidak menghubungi Vina. Ia juga tidak menghubungi Intan. Ia membiarkan mereka berdua terlarut dalam neraka pribadi mereka, membiarkan racun dari pengakuan semalam bekerja, meresap ke dalam setiap pori-pori jiwa mereka. Ia tahu, dalam kekacauan emosional, seorang wanita akan mencari pegangan. Dan ia telah memposisikan dirinya sebagai satu-satunya pegangan yang tersedia.Benar saja, sore harinya, sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan gerbang kediaman Wirasatya. Vina melangkah keluar, wajahnya pucat dan matanya bengkak, namun ia mengenakan gaun terbaiknya, sebuah baju zirah keanggunan untuk menutupi kerapuhannya.Valdi menemuinya di ruang kerja, tempat yang telah menjadi saksi bisu dari banyak dosa mereka.“Bagaimana keadaan Intan?” tanya Valdi, suaranya penuh dengan “kepe
Malam itu, Valdi tiba di lobi apartemen Intan yang mewah dan minimalis. Ia tidak datang dengan tangan kosong. Di satu tangan, ia membawa koper Intan. Di tangan lainnya, ia membawa sebotol wine Perancis edisi terbatas yang harganya bisa membeli sebuah mobil.Intan membuka pintu, ia tampak terkejut (atau pura-pura terkejut) melihat Valdi di sana. Ia mengenakan gaun rumah satin sederhana yang justru menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. “Mas Valdi? Kukira akan menyuruh sopir,” sapanya, suaranya terdengar manis.“Untuk wanita sepertimu, aku lebih suka mengantar sendiri,” balas Valdi, melangkah masuk melewati Intan, membawa serta aura dominasi dan aroma parfum mahalnya ke dalam apartemen yang terasa begitu personal.Namun, Intan tidak menyambutnya lebih jauh. Ia hanya berdiri di ambang pintu, t
Keesokan harinya, Valdi terbangun dengan kejantanan yang mengeras luar biasa, sisa-sisa gairah dari malam sebelumnya masih membakar setiap sel di tubuhnya. Napsunya memburu, menuntut pelepasan yang tak kunjung ia dapatkan. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya, namun yang ia temukan hanyalah sprei sutra yang dingin dan kosong. Intan tak ada. Dia telah pergi.Valdi menggeram frustasi. Ia meraih ponselnya di nakas dan melihat ada pesan baru. Dari Intan.“Aku pergi dulu, ada meeting pagi. Terima kasih untuk malam yang… menarik.”Di bawahnya, ada pesan kedua yang masuk beberapa menit kemudian.“Kalau Mas berkenan, nanti malam tolong antarkan koperku ke apartemen. Sepertinya aku tidak sengaja meninggalkannya di mobilmu.”