LOGIN“Hah!? Farhan ketangkep?” suara Anita refleks meninggi sebelum buru-buru ia tekan lagi. Ponsel menempel di telinga, sementara langkahnya mondar-mandir di kamar. “Iya, Nit. Gue dapet kabar dari anak-anak kemarin,” suara Dede terdengar lebih tenang. Anita berhenti di dekat jendela, satu tangannya menekan pelipis. “Terus sekarang gimana? Kok bisa sih?” napasnya agak tersengal, dan mulai merasa panik. “Sementara stop dulu deh semua transaksi,” jawab Dede cepat. “Tunggu situasi bener-bener aman. Kita gak tau apa yang di nyanyiin Farhan ke polisi nanti.” Anita menghela napas panjang, lalu berbalik dan duduk di tepi ranjang. Matanya kosong menatap lantai. “Terus acara di vila gimana?” tanyanya ragu. “Itu kan udah direncanain dari jauh hari.” “Itu tetep jadi, Nit,” kata Dede. “Nggak enak sama yang lain. Lagian vilanya juga udah dibayar.” Anita terdiam sejenak. “Aman nggak?” suaranya kini jauh lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Aman. Lo tenang aja,” Dede menegaskan. “Farhan ke
“Hah, kamu mau ikut Anita ke acara gathering kantornya?” suara Raga terdengar agak meninggi saat mereka duduk di saung sore itu.Wulan yang sejak tadi selonjoran di bangku bambu menoleh santai. “Iya, Mas. Mbak Anita minta ditemenin katanya.”Raga menghela napas pelan, menatap halaman kosan. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia mengangguk. “Hmmm… yaudah, Lan. Gak apa-apa. Yang penting kamu hati-hati, ya.”Wulan tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Iya, Mas.”Raga meliriknya sekilas. “Terus kuliahmu gimana?”“Kan libur, Mas. Ih, gimana sih,” jawab Wulan sambil mencubit pelan lengan Raga.Raga terkekeh, refleks mengacak rambut Wulan dengan santai. “Kamu seneng banget nyubit orang, ya.”Wulan tertawa kecil, berusaha menepis tangan Raga. “Biar Mas gak lupa terus.”Belum sempat Raga menanggapi, suara dari arah halaman memecah suasana. “Wehehee! Kalian makin mesra aja, ya!”Ningsih berjalan mendekat ke saung dengan senyum jahil di wajahnya. Wulan langsung manyun. “Ihh, Mbak Ningsih!”Raga ikut
Malam itu Raga sedang berada di dapur lantai dua, membereskan sisa gelas dan cangkir sambil sesekali menyesap kopi. Suasana kosan cukup tenang, hanya terdengar suara kipas angin dan langkah kaki samar di lorong. Dari sudut matanya, Raga melihat pintu kamar Anita terbuka. Perempuan itu keluar, lalu berhenti di depan kamar Wulan. Raga refleks menoleh lebih jelas. Ia melihat setengah badan Wulan muncul dari balik pintu, tangannya menyodorkan sebungkus rokok ke arah Anita. Anita menerimanya cepat, tanpa banyak bicara. Alis Raga sedikit mengernyit. Sejak kapan Wulan ngerokok? batinnya, matanya menyipit sejenak. Tak lama kemudian Anita berjalan menyusuri lorong menuju tangga. Saat berpapasan, ia hanya menyapa singkat, lalu turun dan menghilang ke arah bawah, hingga terdengar samar suara gerbang dibuka. Rasa penasaran Raga akhirnya menang. Ia meletakkan lap dapur, lalu melangkah ke depan kamar Wulan dan mengetuk pelan. Pintu terbuka. “Iya, Mas? Kenapa?” tanya Wulan santai. “G
Keesokan harinya, kegiatan Raga berjalan seperti biasa. Pagi ia habiskan dengan beres-beres kosan, memastikan dapur rapi, lalu duduk sejenak sambil menyeruput kopi. Menjelang siang, suasana kosan mulai hidup kembali, beberapa penghuni lalu-lalang bersiap dengan urusan masing-masing. Saat Raga sedang berada di dapur, matanya menangkap sosok Anita dan Wulan yang berjalan berdampingan ke arah pintu gerbang. Ada sesuatu dari cara Anita melangkah yang langsung bikin perasaan Raga gak enak. “Mau ke mana, Lan?” tanya Raga spontan. Wulan menoleh sambil tersenyum. “Mau nemenin Mbak Anita bentar, Mas. Habis itu langsung ke kampus.” Raga mengangguk pelan, mencoba terdengar biasa. “Oh gitu. Yaudah, hati-hati ya, Lan. Anita juga.” “Siap, Mas ganteng,” jawab Wulan ringan. Anita hanya mengangguk singkat. “Iya, Kak.” Pintu gerbang tertutup perlahan di belakang mereka. Raga tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah luar. Ada rasa tidak nyaman yang makin menguat di dadanya. Jan
Saat sore menjelang malam, Raga duduk di ruang tamu rumah Tante Maya. Ia menyandarkan punggung di sofa sambil menatap televisi yang menyala tanpa benar-benar ia tonton. Lampu rumah sudah dinyalakan, membuat suasana sedikit terang.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan WhatsApp dari Wulan masuk.“Maaf Mas, HP-ku lowbat. Ini baru sampai kosan.”Raga menatap layar sebentar, lalu membalas sambil menghela napas ringan.“Oh gitu, yaudah kalau gitu.”Tak lama kemudian, notifikasi kembali berbunyi.“Emang kenapa, Mas?”Raga mengetik singkat, ibu jarinya bergerak cepat.“Gak apa-apa, Wulan.”Ponsel itu ia letakkan di sampingnya tepat saat suara mobil terdengar dari depan rumah. Beberapa detik kemudian, Laura dan Tante Maya masuk. Wajah mereka terlihat sedikit lelah, tapi senyum tipis masih melekat.Laura melepas sepatunya lalu menoleh ke arah Raga.“Nah tuh, Kak. Pas ada Raga,” katanya sambil menunjuk.“Ngomong aja langsung.”Raga mengangkat alis, lalu menoleh ke arah Tante Maya.“Ngomong apaan?”T
Raga bergerak cepat. Ia meraih pakaiannya, mengenakannya asal tapi rapi, lalu membuka pintu kamar Gita dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. “Mas, mau ke mana?” suara Gita terdengar pelan dari baliknya. Ia masih berdiri di dekat ranjang, dasternya dirapikan seadanya. “Mau liat Anita ke mana,” jawab Raga singkat sambil terus melangkah. “Aku ikut,” kata Gita refleks. Raga berhenti sejenak, menoleh. “Jangan. Kamu di sini aja. Aku bentar, nanti balik lagi.” Nada suaranya tegas tapi tenang. Gita tahu ia tidak bisa memaksa. Ia hanya mengangguk, ada cemas di wajahnya. “Yaudah… kamu hati-hati, Mas.” Raga sudah keburu keluar. Ia melangkah cepat menyusuri lorong. Begitu sampai di halaman, ia menghela napas, lalu berjalan menuju gerbang. Pintu gerbang sudah tertutup rapat, Raga membuka sedikit gerbang untuknya keluar. Raga melongok ke kanan. Jalanan sepi, hanya lampu jalan yang menerangi malam itu. Ia melangkah keluar, tanpa menutup kembali gerbang, lalu berjalan menyu







