Tiba-tiba terdengar suara dering lembut dari ponsel Runa. Ia menghentikan tawa kecilnya bersama Robert, keningnya mengerut saat melihat layar. Hatinya mencelos saat melihat nama itu mengambang di layarnya. Nama yang sempat ia tunggu dengan jantung berdebar beberapa malam terakhir.Entah kenapa, jari-jarinya sedikit gemetar saat menyentuh ikon hijau. Untuk sekejap, Runa ragu, takut akan apapun yang mungkin ia dengar, tapi rasa ingin tahu lebih kuat. Ia menyeret napas panjang sebelum menjawab.“Halo?” suaranya nyaris hanya bisikan.Lalu suara itu terdengar dengan jelas. Suara dengan nada dingin itu tak meredakan debaran jantungnya. “Kita perlu bicara. Sekali ini saja. Lalu aku akan pergi.”Runa membeku. Nada itu seperti benteng yang membatasi mereka. Sama sekali berbeda dengan suara hangat yang selalu keluar dari bibirnya dulu. “Maaf,” ucap Runa pada Robert sambil menutupi mikrofon ponselnya dengan tangan. “Aku harus menjawab ini sebentar.”Robert mengangguk sopan dan santai sambil me
Malam terasa panjang dan sunyi. Di kamar apartemen yang redup, Runa duduk bersandar di tepian ranjang. Lampu meja menyala temaram, menyinari ekspresi bimbang di wajahnya. Kata-kata mama Darrel terus terngiang di kepalanya.“Runa … tolong, jangan ceraikan anak Mama. Mama mohon."Suara itu lembut, lirih, dan penuh permohonan. Tapi justru membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu, perempuan tua itu selalu bersikap baik padanya. Tapi ... jika ia harus menurut hanya karena iba, maka ia harus kembali hidup dalam bayang-bayang pengkhianatan. Bukan hanya itu, ia juga membiarkan dirinya kembali tersakiti oleh Darrel dan Litha. Ia tidak mau perasaannya kembali hancur yang tidak bisa ia kendalikan.Apalagi tanpa Kian seperti saat ini. Ia tahu, ia tidak akan pernah punya keberanian sebesar itu. Keberanian untuk pergi, untuk menghargai dirinya sendiri. Tapi lelaki itu, Kian, sekarang seolah lenyap ditelan bumi setelah insiden itu. Tidak satupun kabar atau pesan darinya.Runa menggigit bibirnya, menaha
Runa buru-buru turun dari taksi, napasnya terengah, wajahnya masih menyisakan dinginnya perlakuan Kian tadi. Tapi semua itu menguap begitu ia melihat sosok perempuan paruh baya di sudut kafe. Perempuan itu duduk memeluk tas tangannya dengan erat. Wajah yang biasanya tenang itu kini tampak kusut dan sembab.“Mama .…”Begitu Runa mendekat, wanita itu langsung berdiri dan memeluknya.“Runa … Maaf, Mama tiba-tiba panggil kamu ke sini. Hati Mama nggak tenang. Mama benar-benar gelisah sejak terakhir ke apartemen kamu .…”Pelukan itu begitu erat dan terasa hangat. Tapi gemetar di tubuhnya dengan jelas menggambarkan perasaan galaunya. Ia tak dapat menyembunyikan perasaannya dari Runa. Dan … Runa hanya bisa berdiri kaku, membalas pelukan itu perlahan. Ia mengangkat tangannya dan perlahan meletakkannya di punggung mertuanya, menepuknya dengan lembut seolah dengan demikian bisa mengurangi keresahan hatinya.“Mama mimpi buruk, Runa. Mimpi yang sama berulang-ulang. Dan kamu tahu? Firasat Mama se
Lobi kantor property Surya Group terasa dingin dan sunyi, meskipun orang-orang berlalu lalang dengan langkah tergesa. Di tengah hiruk-pikuk itu, Runa berdiri kaku dengan napas tak beraturan. Ia baru saja turun dari taksi tanpa rencana matang, hanya berbekal satu dorongan dalam hati untuk bertemu Kian.Langkahnya membawanya ke meja sekretaris yang berada tepat di depan pintu ruangan Kian. “Saya mau bertemu Pak Kian,” ucapnya cepat masih sedikit terengah.Sekretaris wanita itu memandangnya sejenak sebelum berkata sopan, “Maaf, Bu Runa. Bapak sedang bersiap untuk keberangkatan malam ini. Beliau tidak bisa ditemui.”“Keberangkatan?” Runa tertegun. “Ke mana?”“Beliau dijadwalkan terbang ke luar negeri, ada urusan bisnis mendadak,” jawabnya, tetap dengan nada formal.Belum sempat Runa merespons, langkah cepat terdengar dari arah lift. Fauzan muncul mengenakan jas hitam, map di tangan, dan wajah sedikit berkeringat.Begitu melihat Runa,
Pintu lift hampir menutup ketika ponsel Runa terlepas dari tangannya, terlempar ke luar membentur lantai lobi dengan suara nyaring.“Ah!”Sebelum ia sempat menahan pintu, sebuah tangan terulur dari luar, menyelip tepat di celah yang nyaris tertutup. Sensor mendeteksi gerakan itu dan pintu terbuka kembali dengan bunyi berdenting.Sosok itu masuk membawa ponselnya.Jantung Runa mencelos saat melihat sosok pria yang berdiri tegak dengan jaket jas abu gelap membingkai tubuhnya dengan elegan. Kemeja biru muda di baliknya terbuka dua kancing atasnya, tanpa dasi. Rambutnya sedikit lembab, membuat beberapa helaian jatuh di dahinya. Wajahnya dingin, nyaris tak berubah, namun matanya sekilas menyiratkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Seperti badai yang sedang menunggu waktu.Ia mengulurkan ponsel itu padanya.“Hati-hati kalau pegang sesuatu yang penting,” ucapnya pelan. Suara baritonnya terdengar, dalam seolah menabrak kesadarannya.Runa menerimanya dengan canggung. “Makasih .…”Tatapan mere
Sebuah pesan masuk dari Darrel. Runa menatapnya lama, seperti menatap hantu masa lalu yang enggan mati. Tubuhnya masih setengah membeku saat membaca isinya.“Aku ingin bicara. Penting. Soal kita. Bisa ketemu besok?”Runa menarik napas panjang. Lalu menjawab singkat.“Besok. Jam dua. Jangan telat.”---Kafe itu sepi. Siang menjelang sore membawa langit yang mendung, seakan ikut menyembunyikan banyak hal yang tak bisa diucap terang-terangan. Runa datang lebih dulu, duduk di sudut dekat jendela. Satu gelas kopi masih utuh tak tersentuh di hadapannya.Darrel datang tepat dua menit sebelum pukul dua. Wajahnya bersih, kemeja digulung sampai siku, langkahnya santai. Seolah ini sekadar pertemuan biasa.“Terima kasih sudah datang,” katanya sambil duduk. Senyum tipis menggantung di wajahnya, seperti pemain sandiwara yang kehabisan naskah.“Aku datang untuk satu hal saja.” Runa menatap langsung ke matanya. “Aku mau kita akhiri hubungan kita. Aku mau kita cerai.