Tiga tahun tak pernah disentuh suami, tubuh Runa mati rasa. Hingga malam itu di bus kota, tubuhnya terdesak pria asing. Sentuhan liar merayap di balik rok, membangkitkan panas yang lama terkubur. Napasnya memburu, lututnya melemas, dan sebelum turun, pria itu menuntut lebih dari sekadar sentuhan “tak sengaja”. Kini, pertanyaannya… beranikah Runa menyerahkan sisanya?
Lihat lebih banyakRuna menelan kasar salivanya saat merasakan seseorang sengaja menggesek-gesekkan tubuhnya di pantatnya. Ia merasa terhina. Namun tak berdaya dalam sesaknya bus yang sedang melaju itu.
Lelaki itu bahkan semakin intens menggesekkan tubuhnya seakan sengaja memancing reaksinya. Runa memperkuat cengkeramannya pada tiang yang berdiri di hadapannya. Ia ingin melawan, tapi ia terlalu takut. Lelaki itu mulai memberanikan diri menyentuh pinggangnya, seakan sedang membantunya memperoleh kekuatan di saat tungkainya mulai terasa lemas. Tapi tidak seperti yang ada dalam pikiran Runa. Lelaki itu justru menekan miliknya lebih kuat di bagian belakang tubuhnya. Ia merasakan sesak, tegang dan kedut yang kuat di antara kedua pahanya. Kegelisahan itu menjalar begitu saja di tubuhnya. Apalagi ketika tiba-tiba jemari tangan itu mulai menyentuh kulitnya. Ia seperti tersihir. Setiap sentuhannya seakan menghisap darah dari seluruh tubuhnya ke satu titik. Jemari itu semakin nakal dan liar. Ia bukan saja menyentuh bagian paha Aruna, bahkan menyusup naik, membelai kain penutup yang telah basah dengan gerakan yang menggoda. “Gadis nakal,” bisik lelaki itu di telinga Aruna, “apa kamu menyukainya?” Runa tersentak. Ia tidak bisa merespon apa pun, pikirannya kosong dan jantungnya berdegup kencang. Runa ingin menjerit, tetapi tiba-tiba seorang pria muda mencengkram tangan lelaki itu. “Lepaskan tanganmu dari istriku!” Suara itu membelah keheningan bus yang mendadak membeku. Suaranya yang tajam dan penuh kemarahan seolah menampar seluruh udara di dalam kendaraan itu. Tangan lelaki cabul itu langsung dipelintir ke belakang sebelum sempat melarikan diri. Ia menjerit tertahan. “Arghh!” Tubuhnya ditekan kuat ke tiang pegangan bus. Peluh dingin mengalir di pelipisnya. Nafasnya terengah-engah oleh rasa sakit dan panik. Runa membeku. Tubuhnya gemetar. Matanya perlahan menoleh, menatap pria asing yang berdiri di belakangnya, seperti tembok kokoh yang siap melindunginya dari dunia. “Berani-beraninya kamu menyentuh istriku.” Berbisik dingin di telinga pelaku, nyaris tak terdengar oleh orang lain, tapi penuh ancaman yang nyata. Penumpang lain mulai bergerak. Seorang wanita berteriak, “Pak sopir! Turunkan lelaki cabul ini sekarang juga!” “Lapor polisi! Ini pelecehan!” “Jangan biarkan dia pergi!” Suasana bus mendadak gaduh. Kemarahan mengalir bersama napas penumpang yang menyaksikan kejadian itu. Si sopir menginjak rem, bus berhenti mendadak di halte berikutnya. Lelaki asing itu mendorong pelaku ke depan dengan paksa. “Keluar,” ucapnya dingin. “Sebelum aku hilang kendali dan membunuhmu!” Beberapa penumpang membantu mengusir lelaki itu. Ia didorong turun tanpa ampun. Setelah pintu bus tertutup kembali, suasana hening. Semua mata kini tertuju pada Runa yang masih berdiri kaku dengan napas memburu, wajahnya pucat dan air matanya mengalir pelan. Pria asing itu berdiri di belakangnya. Tak menyentuh, tak berkata apa-apa. Tapi keberadaannya seperti selimut tebal di tengah malam musim dingin. “Terima kasih,” bisik Runa akhirnya, nyaris tak terdengar. “Aku ... aku tadi tidak bisa bergerak. Aku terlalu takut.” Lelaki itu tersenyum dan menautkan kedua tangannya di pinggang Runa. Ia sedikit membungkuk dan berbisik di telinganya. “Tapi … sebenarnya kamu juga menikmatinya, ‘kan?” Runa kembali tersentak, ia menggertakkan gigi, mencoba mengabaikan dan menahan ledakan emosi yang memenuhi dadanya. Tapi detak jantungnya berantakan. Tubuhnya berkeringat meski AC bus menyala. Ia ingin marah, ingin menoleh dan memaki, tapi juga takut kalau suaranya justru bergetar … karena kegugupan campur malu mendengar kalimat terakhir dari lelaki itu. Saat bus akhirnya berhenti di terminal, Runa melangkah keluar lebih dulu, menghela napas panjang dan mulai berlari di bawah payung orang lain yang lewat. Tapi sebelum berjalan pergi, ia sempat menoleh. Pria itu juga turun. Ia berdiri di bawah lampu jalan. Tinggi, jangkung, dan basah. Kemeja putih yang dikenakannya melekat pada tubuh bidangnya karena gerimis. Matanya tajam, rahangnya tegas, dan bagian bawah tubuhnya, masih menonjol di balik celana jeans yang basah. Jelas. Tegas. Tanpa malu. Runa menunduk cepat dan berbalik. Napasnya sesak. Bukan karena takut. Tapi karena rasa aneh yang menyerbu perutnya seperti pusaran panas yang belum punya tempat untuk meledak. Ia menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, memesan taksi daring, lalu berjalan cepat di tengah hujan menuju apartemen. Wajahnya memerah. Dadanya berat. Dan tubuhnya masih menahan sesuatu yang tak selesai. Sesampainya di unit apartemen, ia memasukkan kode dengan cepat dan masuk. Lampu ruang tamu mati, tapi dari lantai atas, alunan jazz lembut terdengar samar, terlalu sensual untuk malam sepanas ini. Runa menggantung tas dan langsung naik, masih dengan napas berantakan. Pintu kamar sedikit terbuka. Ia melangkah pelan, lalu berhenti. Dan semua darah di tubuhnya seperti ditarik ke satu titik di dada saat ia melihatnya. Darrel, suaminya sedang berdiri dengan tubuh setengah telanjang, bibirnya menempel di leher seorang wanita yang duduk di meja rias miliknya. Litha, model dengan reputasi vulgar juga seorang dari masa lalu yang katanya sudah selesai. Tangan Darrel menyusup ke balik gaun tipis Litha, mencengkram dengan rakus. Litha tertawa kecil dan menarik kepala Darrel untuk mencium bibirnya. Mereka tak mendengar langkah Runa. Tapi Litha melihatnya dari cermin. Ia tersenyum. Sebuah senyum licik, seperti sengaja memamerkan kemenangan. “Oh … kamu udah pulang?” ucap Litha manja, suaranya berat dan bergetar oleh kenikmatan yang belum usai. Darrel menoleh. Hanya sebentar sebelum kembali menempelkan mulutnya ke pundak Litha. Runa berdiri diam, seperti patung. Lalu perlahan, ia memutar tubuhnya dan turun. Tak berkata apa-apa. Tak menjerit. Tak menangis. Tapi napasnya memburu seperti seorang pelari marathon. Dan seluruh kulit tubuhnya, dari tengkuk sampai paha, terasa seperti dibakar. Runa melangkah cepat di antara hujan yang mengguyur trotoar, membiarkan air membasahi rambut dan pakaian kerjanya. Tangannya mencengkeram tali tas dengan erat, napasnya masih memburu. Dada sesak, perut terasa panas, dan pikirannya penuh ledakan yang belum menemukan tempat untuk meledak. Ia tak tahu hendak ke mana. Ia hanya berjalan, menjauh dari apartemen itu. Dari ranjang yang sudah ternoda, dari suara tawa Litha, dan tatapan dingin Darrel yang bahkan tak berniat membela. Langkahnya melambat di perempatan, ketika lampu merah memantulkan cahaya menyilaukan di jalanan basah. Runa hendak menyebrang, tapi tiba-tiba … ia berhenti. Ia menyadari seseorang sedang berdiri di hadapannya. Hujan jatuh di antara mereka, tapi tak mampu menyamarkan sosok itu. Pria dari dalam bus tadi. Tubuhnya menjulang tinggi, kemeja putihnya sudah sepenuhnya basah dan menempel sempurna di dada bidangnya. Rambut hitamnya basah, menetes, tapi tak mengurangi ketampanannya, justru menambah kesan liar, dingin, dan tak tertebak. Tatapan matanya tertuju langsung pada Runa. Tegas dan dalam, seolah sejak tadi memang mencarinya, menunggunya di sana. Runa terpaku. Hujan menetes di pelipisnya, tapi tubuhnya terasa panas. Ia menelan salivanya, menatap mata pria itu … lalu turun ke bagian wajahnya yang maskulin, leher panjangnya, dan dada yang tampak naik turun di balik kemejanya Dan kemudian tanpa bisa dicegah, matanya turun lagi, menyapu bagian bawah tubuhnya yang terlihat menegang. Begitu nyata, tegas dan liar, seolah memujanya. Detak jantung Runa menggema di telinganya sendiri. Bukan karena takut, bukan karena malu. Tapi karena hasrat. Hasrat yang sejak di bus tadi belum sempat padam. Hasrat yang dipermalukan oleh suaminya sendiri, yang kini seolah sedang mencari celah untuk menyala lagi. Dan kini, lelaki asing itu berdiri tepat di depannya. Tegap, penuh magnet. Seakan sedang menawarkan sebuah kesempatan. Runa menarik napas panjang. Dalam dadanya, suara Darrel dan Litha masih berputar-putar. Rasa ditampar, dihina, dan dilukai masih menggumpal dalam tenggorokannya. Suaminya bisa bercumbu terang-terangan di ranjang mereka, tanpa rasa bersalah. Lalu menatapnya seperti istri yang tak pantas dipedulikan. Maka, jika Darrel bisa bermain kotor di depan matanya .… Kenapa ia tidak boleh melakukan hal yang sama? Untuk pertama kalinya dalam hidup, Runa tak menahan dirinya. Ia melangkah maju, berdiri lebih dekat ke pria itu. Jarak mereka tak sampai satu lengan. Hujan mengguyur wajahnya, tapi ia tak berkedip. Matanya menatap lurus, tanpa rasa gentar. "Mau jalan ke mana?" suara pria itu rendah, serak, nyaris tertelan oleh hujan. Runa tidak menjawab. Hanya menatapnya … lalu tersenyum kecil.Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Runa kosong menatap ke luar jendela. Kilasan wajah Darrel, tawarannya, dan ancaman halusnya terus berputar di kepala. Ia masih bisa mendengar jelas suara laki-laki itu, begitu yakin bisa menariknya kembali hanya dengan janji manisnya. “Kalau kamu pulang, Litha akan aku usir malam ini juga.”Runa memejamkan mata. Ia tahu persis, itu hanya pola yang akan kembali berulang. Ia tahu Darrel melakukan itu hanya demi keuntungan pribadinya. Namun masalahnya jika ia menolak, Kian bisa saja menanggung akibat yang tak seharusnya. Tuduhan itu, mungkin akan berubah menjadi masalah yang semakin besar dan jika benar-benar masuk pengadilan, maka reputasi Kian akan hancur. “Run?” suara Juwita memecah lamunannya saat mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di depan apartemen.Runa tersentak ringan sebelum mengangguk. “Terima kasih.”“Yakin, nggak mau aku temenin malam ini?”Runa tersenyum samar, meski matanya letih. “Aku butuh sendiri. Jangan khawatir. Aku akan ba
Restoran malam itu dipenuhi cahaya lampu gantung kristal yang memantul lembut di dinding kaca. Aroma steak dan wine melayang di udara, diiringi alunan jazz klasik dari sudut ruangan. Runa duduk anggun bersama Juwita, sesekali menyuap potongan salmon sambil berdiskusi santai.“Lucu, ya,” ucap Juwita dengan nada getir, “orang kaya tabrak orang miskin, yang mati dihitung bukan nyawanya, tapi seberapa kuat koneksinya.”Runa meletakkan garpu, tersenyum tipis. “Hukum di negeri ini sering kali bukan soal benar-salah. Lebih sering soal siapa yang punya uang paling banyak untuk membeli kata ‘adil’.”Belum sempat Juwita menimpali, tawa keras dan bernada mengejek memecah ketenangan ruangan.“Oh, lihat siapa di sini. Runa Kartika, pengacara sekaligus duta anti selingkuh, yang kabarnya justru selingkuh dari suaminya sendiri.”Semua kepala refleks menoleh. Litha berdiri di dekat meja mereka, tubuhnya dilapisi gaun ketat merah marun yang berkilau. Wajahnya penuh kepuasan karena berhasil menarik perh
Runa duduk di ruang kerjanya dengan mata yang berat. Sejak berita kemunculan Chaca memenuhi headline, pikirannya terus kalut. Ia baru saja menutup berkas di hadapannya ketika suara telepon masuk memecah keheningqn. Melihat nama Robert yang mengambang di layarnya, Runa segera mengangkatnya. “Run?” suara Robert terdengar hati-hati. “Aku hubungi karena aku khawatir sama kamu. Apa sore tadi … Kian datang ke kantormu?” “Iya. Bagaimana kamu bisa tahu?” “Ada seseorang yang memotret kalian berdua dan foto itu sudah mulai beredar,” sahut Robert dengan suara tenang seolah sedang menjaga perasaan Runa. “Run, kalau boleh tahu … apa benar ada hubungan khusus di antara kalian?”Runa terdiam. Dadanya berdebar kencang. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan jadi pertanyaan. Jemarinya gemetar saat menggenggam ponsel. “Robert … aku —” suaranya tercekat, ia menarik napas panjang. “Aku memang bertemu Kian. Bukan hanya sekali. Dan aku … aku merasa bersalah. Karena aku masih terikat dengan Darrel. Aku s
Kian berdiri di ambang pintu ruang kerja Runa, rahangnya mengeras, sorot matanya tajam. Tidak ada keraguan dalam cara ia menatap perempuan itu.“Runa, kita perlu bicara.”Runa yang tengah merapikan berkas, mendongak dengan tatapan dingin.“Semua berita itu bohong, Run,” suaranya dalam, penuh tekanan. “Surya Group memang pelaksana proyek jembatan antar pulau seperti yang mereka sebutkan, tapi semua data keuangan yang dituduhkan itu fiktif. Semua itu hasil manipulasi. Aku masih pegang arsip aslinya. Semua aliran dana jelas, semua tercatat rapi, dan sekarang ada dalam penyelidikan resmi.”Runa terdiam sejenak, menimbang haruskah ia mempercayai kata-kata itu. “Lalu … Chaca? Kenapa namanya tiba-tiba muncul dalam kasus ini?”Kian menarik napas berat. Rahangnya mengeras, jelas ia menahan amarah. “Aku nggak bisa jelaskan semua detailnya sekarang. Yang jelas, dia sendiri yang datang padaku. Dia bilang, dia bisa bantu memulihkan citraku, mengubah semua opini miring. Syaratnya cuma satu. Aku har
“Ru … na,” desah Kian lirih. Genggamannya melemah, seakan takut jika sosok itu lenyap begitu saja. Matanya berkaca, masih tak percaya wajah yang dilihatnya nyata, bukan bayangan Chaca yang sedang menghantuinya.Runa tertegun, lalu cepat mendorong dadanya, menjauh dari pelukan itu. “Kian, kamu harus istirahat.” Suaranya bergetar, lebih karena menahan gejolak hatinya sendiri. Ia tahu, jika ia tinggal lebih lama, dirinya bisa jadi bagian dari masalah yang lebih besar.Namun tangan Kian sigap meraih tangannya lagi. Erat, penuh kegelisahan. “Run … tolong aku.” Nada suaranya pecah, seperti pria yang hampir tenggelam meminta pertolongan.Runa terpaku. Jemarinya ingin menggenggam balik, tapi otaknya menolak. Ia menarik tangannya pelan, berusaha tegar. “Aku nggak bisa. Aku nggak mau jadi beban tambahan buat kamu.”Sorot mata Kian redup, lelah, rapuh. Runa melihat jelas bagaimana lelaki itu hancur perlahan. Pundaknya merosot, napasnya berat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Semua itu menek
Setelah tegukan anggur terakhir dari gelasnya, perlahan Kian mulai merasakan sensasi aneh di tubuhnya. Panas, seakan bara sedang membakar tubuhnya. Kepalanya terasa berat, tubuhnya mulai gemetar.Ia berdiri dari kursinya dengan satu tangan melonggarkan dasinya. Napasnya mulai tak teratur. Ia yakin, ada sesuatu dalam minuman itu, tapi ia tak tahu apa. Suatu zat yang membuat tubuhnya tak terkendali.Chaca menarik sudut bibirnya. Ia meraih tangan Kian, ikut berdiri dan melangkah mendekatinya. Perempuan cantik dengan sepasang mata bulat itu mendongak, menatapnya. Sementara jari telunjuknya menyentuh garis rahangnya dan berhenti di bibirnya. “Kamu masih tampan, dingin dan menggoda, Kian,” desisnya dengan senyuman yang menggoda. Sentuhan jarinya terasa dingin di kulit Kian, sangat kontras dengan tubuhnya yang justru terasa panas bagaikan bara. Kian menelan kasar salivanya. Napasnya mulai tak teratur, ditambah provokasi sentuhan jemari itu, membuat tubuhnya justru merasa semakin gelisah.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen