Pagi itu udara di kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Rasa dingin itu bukan hanya datang dari pendingin ruangan, tapi dari tatapan diam-diam yang mengikutinya sejak melewati pintu lobi, dari balik layar komputer, dari meja resepsionis, bahkan dari lorong tempat beberapa rekan-rekan kerja Runa yang berdiri sambil pura-pura ngobrol.Tumit sepatu Runa beradu dengan lantai marmer, menghasilkan bunyi jernih yang terdengar terlalu nyaring, seolah setiap langkahnya mengumumkan keberadaannya kepada semua orang yang sudah lebih dulu membaca berita pagi ini. Bunyi itu memantul di kepalanya, selaras dengan detak jantungnya yang semakin cepat.Ia tak perlu membuka ponsel untuk tahu apa yang terjadi. Semalam, ia sudah melihat semuanya, tepat ketika ia berbaring gelisah di tempat tidur, mencoba memejamkan mata. Ia bisa melihat notifikasi masuk bertubi-tubi dari grup-grup chat kantor yang riuh, pesan dari nomor tak dikenal, tautan berita dengan judul tebal yang di layar ponselny
Runa memicingkan mata di depan layar laptop. Folder dalam flashdisk itu seolah memanggil-manggil untuk dibuka. Ia menggerakkan mouse dengan hati-hati, membuka file pertama. Di layarnya muncul sebuah tabel transaksi yang nilainya membuat napasnya tersendat. Ratusan juta, miliaran rupiah, berpindah tangan melalui rekening-rekening yang namanya asing tapi teregistrasi di luar negeri. Angkanya terlalu besar, alurnya terlalu rapi, untuk sekadar urusan bisnis legal.Rasa ingin tahu yang bercampur cemas membuatnya terus menggali untuk mencari tahu. Proposal demi proposal proyek besar muncul di layar, lengkap dengan cap resmi dan tanda tangan persetujuan. Sebagian dari proyek itu … ia tahu pasti tak pernah lolos jika jalurnya benar.Dan pada folder photo, jari Runa sempat ragu di atas mouse, tapi akhirnya ia memutuskan tak melewatkannya. Gambar-gambar memenuhi layar. Kian duduk di meja perundingan bersama para pejabat tinggi negeri. Kian berjabat tangan dengan pengusaha yang sering terseret k
Malam itu, setelah meninggalkan rumah sakit, tubuh Runa terasa berat seolah setiap langkahnya terbebani oleh bongkah batu yang sangat besar. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat, pada wajah pucat Nyonya Lila, juga tatapan Darrel yang penuh tuduhan. Ia hanya ingin sampai di apartemen, mandi air hangat, dan menutup mata untuk melupakan hari itu.Tapi langkahnya justru kembali menuju tempat kerjanya, Karsa dan Rekan, hanya karena beberapa hal yang tak sempat diurusnya seharian ini. Ia masih berada di atas taxi online pesanannya, saat ponsel di tangannya bergetar, ia sempat berharap itu kabar baik. Namun yang dilihatnya justru sebuah notifikasi berita yang kembali mengacaukan pikirannya. Judul yang mencolok itu dengan jelas ditujukan pada seseorang yang dikenalnya. "Surya Grup Diduga Terlibat Penyuapan: Penyelidikan Besar-Besaran Dimulai"Membaca tajuk itu, membuat jantung Runa berdegup kencang. Nafasnya tercekat ketika ia membaca isi berita. Nama Kian muncul ber
Lorong rumah sakit terasa sempit, penuh desahan napas dan langkah yang tergesa. Di ujung koridor, Bik Ijah berdiri dengan wajah memerah, tangan masih menggenggam sapu tangan kain. Ia menatap Runa lalu menunduk pada Darrel. “Nyonya Lila pingsan, Non Runa,” suaranya serak, penuh ketakutan. “Kata dokter karena tegang, asam lambungnya kumat. Cepat … cepat ke kamar.” Runa melesat, tapi belum sempat ia mencapai pintu kamar inap, Darrel sudah mencengkram lengannya. Wajah Darrel berubah, mata yang biasanya tenang kini menyala-nyala, suaranya meledak sebelum Runa sempat membuka mulut. “Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan?” Darrel menghardik, setiap kata menghantam seperti palu. “Kamu sudah mencemarkan nama keluarga Lukito. Bahkan Mama sampai pingsan dengar berita itu. Kamu mau tahu apa yang terjadi jika kamu biarkan ini berlanjut? Kamu akan aku buat menyesal seumur hidup. Aku tidak akan tinggal diam, Runa. Aku akan hancurkan hidupmu kalau perlu.” Kemarahan itu tak sekedar nada. Ada ketaku
Juwita menghela napas lega saat berhasil menemukan Runa. Ia menatap wajah rekannya dengan kening berkerut. “Kamu kenapa?” Gelagapan Runa menyembunyikan ponselnya. Ia tidak ingin orang lain tahu tentang hubungannya dengan Kian. Ia tidak mau citranya hancur karena foto-foto itu. Ia menarik sudut bibirnya, memaksakan seulas senyuman. Tapi mata Juwita lebih cermat, ia melihat bercak di leher Runa. “Kamu … oh … kamu sudah baikan sama suamimu, ya.” Juwita tersenyum. Senyum yang jelas bertujuan untuk menggoda rekan pengacaranya itu. “Pantes aja. Dia udah nungguin kamu tuh di ruanganmu.” “Hah! Darrel?” “Iya, siapa lagi?” goda Juwita sembari tertawa kecil dan menunjuk lehernya sendiri.Runa terkesiap, ia segera menarik naik kerah kemejanya lalu bergegas keluar dari tempat itu. Dalam pikirannya masih berkecamuk misteri tentang foto-foto itu. Siapa sebenarnya orang yang begitu berani menguntitnya. Dengan mengirimkan foto-foto
Matahari pagi menyusup di celah tirai, memercikkan cahaya keemasan di kamar yang masih dipenuhi aroma kenikmatan semalam. Runa membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terasa hangat karena pelukan selimut dan Kian yang melingkarkan lengan kuatnya di pinggangnya, seolah takut Runa akan menghilang.“Pagi …” suara Kian serak, nyaris berbisik di telinganya. Napasnya hangat, membuat Runa sedikit menggeliat.“Pagi,” jawabnya lirih. Ia ingin bangkit, tapi lengan Kian justru menahannya erat.“Aku harus bergegas. Hari ini ada beberapa janji temu,” ucapnya sambil mencoba menepis pelukan itu.“Lima menit lagi,” Kian memejamkan mata lagi, menggeser wajahnya ke leher Runa dan mencium kulitnya pelan. “Atau sepuluh … atau jangan pergi sama sekali hari ini.”Runa mendengus kecil, mencoba mengabaikan tatapan malas tapi penuh makna di mata pria itu. “Aku nggak bisa bolos cuma karena kamu nggak mau lepasin aku hari ini.”Kian tersenyum miring, tapi tidak bergeming. Ia malah menarik Runa lebih rapat, sam