Home / Romansa / Gairah Liar Presdir Posesif / 7. Maaf, Tidak Bisa!

Share

7. Maaf, Tidak Bisa!

Author: Caramelodrama
last update Last Updated: 2024-11-22 11:02:39

“Ah! Iya, Dokter!” Ziandra menoleh cepat sambil menghapus air matanya.

Dengan patuh, dia pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Jantungnya berdebar kencang, menanti apa yang akan dikatakan oleh dokter. Hatinya tak surut memanjatkan doa terbaik untuk sang anak.

Dia tak tahu, bahwa di tempat lain, ada yang mengerutkan kening usai termangu memandang handphone yang sudah terputus koneksinya.

Ziandra tidak tahu ada yang bergegas memanggil anak buahnya untuk melakukan sesuatu.

_ _ _

‘Ya ampun … lega!’ Ziandra akhirnya bisa melepaskan sejenak semua kekhawatirannya akan Clara.

Dokter sudah memastikan bahwa Clara stabil dan akan baik-baik saja. Apabila sampai besok sore kondisi Clara terus menunjukkan level stabil, Clara harus dipindahkan ke bangsal khusus.

Teringat ketika dokter menjelaskan hal ini padanya, “Bu Pradipta, karena kondisi Clara sudah lebih baik dan infeksinya sudah berhasil kami atasi, maka sebaiknya Clara dipindah ke bangsal Hematologi setelah nanti mulai stabil dan bangun, sambil terus kami pantau. Semoga Clara tidak perlu kemoterapi dan bisa lekas sembuh.” Dokter mengucapkannya dengan nada lembut dan ramah.

Tadi Ziandra mengangguk saja sebagai respon.

Sungguh akan merupakan sebuah keajaiban apabila putrinya tidak perlu menjalani kemoterapi. Yang dia dengar, proses kemoterapi sangat menyakitkan. Mana mungkin dia ingin putrinya menderita?

“Sayangku Rara … bangun dan cepat sembuh, yah! Bunda kangen kamu.” Dia ambil tangan mungil putrinya dan menangis dengan suara lirih di sana.

Hari berganti. Ziandra berdebar-debar mengenai kestabilan kondisi putrinya.

Tibalah harapan sesuai dengan salah satu yang dia mohonkan di banyak doanya. Yaitu putrinya membuka mata di siang harinya.

“Rara sayang!” Betapa gembiranya Ziandra ketika menyaksikan buah hati tercinta akhirnya tersadar. Air mata bahagia sampai terkumpul di pelupuk.

Clara langsung merengek begitu melihat ibunya. Dengan hati-hati, Ziandra menggendong si kecil agar tenang. Rasanya seperti surga ketika dia bisa memeluk buah hatinya lagi.

Kondisi Clara ternyata stabil. Maka petang itu, Clara dipindah ke bangsal Hematologi yang memiliki 10 tempat tidur. Ada 3 anak yang sudah ada di sana dengan berbagai penyakit kelainan darah masing-masing.

“Wah, udah ada temannya, tuh Rara.” Ziandra menghibur putrinya, berharap Clara lebih bersabar demi kesembuhan.

Si kecil hanya tersenyum masam. Clara sedikit kurang pandai bergaul dan terkesan introvert. Di lingkungan tetangga pun, dia dikenal sebagai anak pemalu.

Di malam pertama Clara berada di bangsal Hematologi, bocah itu tak mau lepas dari sisi Ziandra.  Padahal masih ada Susan di sana bersama Namila.

“Bocah ini,” ujar Namila pada keponakannya. “Makanya jangan sakit, makan yang banyak biar sehat. Kalau sakit, semua orang jadi susah, kan?”

Ziandra menahan kekesalan atas ucapan sang adik. Bisa-bisanya ini disalahkan ke Clara?!

Namun, Susan lebih dulu menepuk keras lengan putri bungsunya. “Mila! Tak baik bicara begitu ke Rara!”

Namila hanya bisa cemberut karena ditatap tajam oleh kakaknya. Kalau Ziandra marah, bisa-bisa jatah uang bulanan untuknya akan sirna.

“Mungkin Rara memang sedang manja-manjanya ke kamu, Zia. Biasanya kan dia cuma bertemu kamu di malam hari sebelum tidur karena kamu kerja. Nah, sekarang dia menginginkan waktumu lebih banyak lagi.” Susan berkata.

Ziandra mengangguk. Mungkin benar seperti yang dikatakan ibunya. Anaknya tak mau ditinggal olehnya. Bahkan dia kesulitan jika ingin buang air kecil.

“Tak mau! Jangan pergi! Bunda jangan pergi!” Clara merengek dan berlanjut ke tangisan pelan.

Mau tak mau, Ziandra harus berjuang menahan keinginannya berkemih sampai Clara tertidur.

Bahkan, saat putrinya tidur, dia juga menggunakan kesempatan itu untuk membayar sejumlah biaya rumah sakit menggunakan uang dari Aldric.

“Zia, kamu jangan pergi-pergi dulu dari Clara,” pesan Susan sebelum pulang. “Dia pastinya masih merasa asing dengan bangsal barunya dan butuh pendampingan kamu terus.”

“Iya, Ma, aku mengerti.” Ziandra mengangguk.

Setelah ibu dan adiknya pulang, dia kembali ke bangsal anaknya dan duduk di kursi penunggu pasien, seperti yang lainnya di sana.

Baru saja dia hendak berkenalan dengan penunggu pasien lainnya, sudah ada telepon masuk dari Aldric. Dia lekas menyingkir ke sudut sepi.

“Besok ikut aku ke luar negeri!” Aldric memberi perintah absolut, seperti biasa.

Dengan mengetatkan gerahamnya, dia menjawab, “Maaf, Pak, tidak bisa!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Presdir Posesif   126. Pengakuan Hati Usai Dia Roboh

    “Ja-jantungnya… berhenti?”Kata-kata itu seperti palu godam menghantam batok kepala Ziandra.Tubuhnya goyah, nyaris terjatuh. Kenzo sigap menopangnya, meski wajahnya sendiri kaku, sulit menyembunyikan keterkejutannya.“Tidak… tidak… jangan katakan dia…” Ziandra terisak, suaranya patah-patah. “Dia tidak bisa pergi… dia tidak boleh pergi!”Clara ikut menangis, memeluk ibunya erat-erat, meski bocah itu belum sepenuhnya mengerti arti henti jantung.“Dok, tolong katakan yang benar!” Kenzo ikut emosional mendengar kabar mengenai ayahnya.Dokter melanjutkan, “Kami sudah melakukan resusitasi. Memang berhasil, tapi masa kritis belum berakhir. Saat ini… kami masih berusaha menjaga stabilitasnya. Tapi kemungkinan komplikasi tetap tinggi. Kami mohon kalian bersiap menghadapi segala kemungkinan.”Kata-kata itu membuat dunia Ziandra runtuh. Hatinya

  • Gairah Liar Presdir Posesif   125. Dorr!

    “Graaakkhh!” Aldric meraung sambil maju menerjang.Dia langsung bergerak. Dalam satu gerakan cepat, dia menendang meja ke arah Gerald, membuat pistolnya terangkat.Dorr!Suara tembakan meledak, peluru menghantam dinding, tapi Clara sudah disambar Kenzo dan ditarik ke pelukan.“Pa, aku dapat dia!” seru Kenzo.Namun belum sempat lega, belasan pria bersenjata Gerald menyerbu masuk dari segala arah.Aldric meraih senjata dari dalam jasnya. “Lari ke luar dengan Clara! Aku yang tahan mereka!”“Tidak!” balas Kenzo keras. “Kita lakukan bersama!”Lalu ledakan suara tembakan memenuhi vila. Peluru berdesing, kaca jendela pecah, lampu berjatuhan.Aldric dan Kenzo bergerak selaras, seolah-olah mereka sudah berlatih bertahun-tahun.Aldric menembak tepat, jatuh satu demi satu penjaga.Kenzo lincah bergerak, menggunakan pisau untuk menjatuhkan lawan yang terlalu d

  • Gairah Liar Presdir Posesif   124. Sekarang!

    “Kita bicarakan rencana dulu.” Kenzo berkata. “Tunggu aku hentikan mobil dan mengeluarkan sesuatu yang penting.”Maka, mereka berhenti di sebuah tempat parkir bawah tanah, jauh dari keramaian kota.Kenzo membuka bagasi mobilnya, menyingkap tas hitam besar. Di dalamnya tersusun rapi senjata api, pisau, dan alat komunikasi kecil.Aldric mengangkat sebelah alis. “Tidak kusangka kamu selalu membawa gudang berjalan seperti ini.”Kenzo hanya mengedikkan bahu. “Dunia ini tidak ramah, Pa. Kamu tahu itu lebih dari siapa pun.”Mereka duduk berhadapan di kap mobil. Kenzo mengeluarkan peta digital dari tablet kecil.“Jika Gerald menuntut kamu datang sendiri, dia akan memilih tempat di mana dia bisa mengontrol semua pintu keluar. Tempat seperti gedung kosong, pabrik, atau rumah mewah yang sudah ditinggalkan. Dari riwayat bisnis hitamnya, ada dua lokasi kemungkinan besar: dermaga tua di Mauva Barat, atau vila rahasia di bukit Arven.”Aldric menimbang cepat, instingnya bekerja. “Dermaga terlalu terb

  • Gairah Liar Presdir Posesif   123. Misi Penyelamatan Clara: Bapak dan Anak Bersatu

    “Masih mau menuduhku?” Kenzo bersuara.Aldric terdiam sepersekian detik. Sorot mata Kenzo tidak menunjukkan kebohongan, setidaknya bukan yang biasa dia tangkap.Putranya berbicara lagi karena sang ayah terdiam. “Aku pulang karena kamu memaksaku. Kalau aku mau menculik Clara, aku sudah melakukannya sejak lama. Tapi ini? Aku tidak ada hubungannya.”Aldric melepaskan cekalannya dengan geram, lalu mundur selangkah. “Kalau bukan kamu, lalu siapa?”Kenzo menarik napas dalam, menatap lurus ke mata ayahnya. “Katakan dulu… siapa musuh terbesarmu yang ingin membuatmu hancur? Karena kalau Clara diambil orang lain, itu berarti mereka tahu satu hal penting, yaitu hubunganmu dengan Ziandra.”Ucapan itu membuat Aldric membeku.“Gerald Vascare.”Nama itu mencuat begitu saja di kepalanya seperti pisau yang siap menikam dan mulut dengan ringan mengucapkannya.Gerald Vascare. Pria itu pernah mencoba menjatuhkannya lewat serangan bisnis, tapi tak pernah berhasil. Jika kini dia menyerang lewat orang-orang

  • Gairah Liar Presdir Posesif   122. Memburu Kenzo

    “Rara… Rara….” Ziandra menyebut terus nama putrinya.Dengan langkah panik, Ziandra menyusuri sekitar sekolah. Tapi semua sudah terlambat. Tidak ada jejak Clara.Clara dikatakan dijemput oleh pria dengan mobil hitam mewah. Mereka sempat melihat senyum manis pria itu saat menggandeng Clara dan melambaikan tangan ke arah gerbang.Ziandra merasa sesak.“Apa itu benar kamu, Kenzo?” bisiknya lirih sambil menatap sekeliling, berharap menemuka jejak putrinya.Dia mengingat jelas apa yang pernah Kenzo katakan saat bertengkar dengan Aldric: “Akan kuculik dia dan Clara agar terbebas dari kekanganmu yang merusak.”Ziandra tak pernah menyangka... bahwa ancaman itu akan diwujudkan.Dia segera menelepon Aldric.“Aldric... Rara hilang!” teriaknya. “Kenzo… Kenzo menculik Rara!”Suara di seberang hening sejenak.“Apa katamu?” suara Aldric berat, bergetar.“Dia menjemput Rara dari sekolah! Aku tidak pernah mengizinkannya! Aku tak menyangka dia bisa tahu sekolahnya Rara!”“Aku datang sekarang!” tegas Ald

  • Gairah Liar Presdir Posesif   121. Akan Kuculik Agar Terbebas

    “Aku… ini… di… di taman bermain.” Ziandra mengatur detak cepat jantungnya.Matanya memandang sekeliling, apakah Aldric ada di dekatnya? Atau mungkin ada anak buah pria itu yang mengawasinya hingga menelepon tepat ketika dia dan Clara sedang bersama Kenzo?Yang dia lihat, Kenzo sedang mengajak Clara membeli gulali tak jauh dari dia berdiri. Tak ada orang yang mencurigakan di sekitarnya.“Dengan siapa di sana?” Suara Aldric berubah berat dan rendah.Tangan Ziandra mendadak dingin. Dia menggigit bibirnya terlebih dahulu sambil berpikir.Apakah dia harus memberikan jawaban dusta? Tapi bagaimana jika Aldric sudah mengetahui kehadiran Kenzo?“Aku… aku dengan Clara….”“Hanya Clara?” Nada suara Aldric terasa menekan.Ziandra merasa dadanya dihimpit batu.“Juga… Kenzo.” Ziandra memejamkan mata, tak punya pilihan lain selain jujur

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status