“Ah! Iya, Dokter!” Ziandra menoleh cepat sambil menghapus air matanya.
Dengan patuh, dia pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Jantungnya berdebar kencang, menanti apa yang akan dikatakan oleh dokter. Hatinya tak surut memanjatkan doa terbaik untuk sang anak.
Dia tak tahu, bahwa di tempat lain, ada yang mengerutkan kening usai termangu memandang handphone yang sudah terputus koneksinya.
Ziandra tidak tahu ada yang bergegas memanggil anak buahnya untuk melakukan sesuatu.
_ _ _
‘Ya ampun … lega!’ Ziandra akhirnya bisa melepaskan sejenak semua kekhawatirannya akan Clara.
Dokter sudah memastikan bahwa Clara stabil dan akan baik-baik saja. Apabila sampai besok sore kondisi Clara terus menunjukkan level stabil, Clara harus dipindahkan ke bangsal khusus.
Teringat ketika dokter menjelaskan hal ini padanya, “Bu Pradipta, karena kondisi Clara sudah lebih baik dan infeksinya sudah berhasil kami atasi, maka sebaiknya Clara dipindah ke bangsal Hematologi setelah nanti mulai stabil dan bangun, sambil terus kami pantau. Semoga Clara tidak perlu kemoterapi dan bisa lekas sembuh.” Dokter mengucapkannya dengan nada lembut dan ramah.
Tadi Ziandra mengangguk saja sebagai respon.
Sungguh akan merupakan sebuah keajaiban apabila putrinya tidak perlu menjalani kemoterapi. Yang dia dengar, proses kemoterapi sangat menyakitkan. Mana mungkin dia ingin putrinya menderita?
“Sayangku Rara … bangun dan cepat sembuh, yah! Bunda kangen kamu.” Dia ambil tangan mungil putrinya dan menangis dengan suara lirih di sana.
Hari berganti. Ziandra berdebar-debar mengenai kestabilan kondisi putrinya.
Tibalah harapan sesuai dengan salah satu yang dia mohonkan di banyak doanya. Yaitu putrinya membuka mata di siang harinya.
“Rara sayang!” Betapa gembiranya Ziandra ketika menyaksikan buah hati tercinta akhirnya tersadar. Air mata bahagia sampai terkumpul di pelupuk.
Clara langsung merengek begitu melihat ibunya. Dengan hati-hati, Ziandra menggendong si kecil agar tenang. Rasanya seperti surga ketika dia bisa memeluk buah hatinya lagi.
Kondisi Clara ternyata stabil. Maka petang itu, Clara dipindah ke bangsal Hematologi yang memiliki 10 tempat tidur. Ada 3 anak yang sudah ada di sana dengan berbagai penyakit kelainan darah masing-masing.
“Wah, udah ada temannya, tuh Rara.” Ziandra menghibur putrinya, berharap Clara lebih bersabar demi kesembuhan.
Si kecil hanya tersenyum masam. Clara sedikit kurang pandai bergaul dan terkesan introvert. Di lingkungan tetangga pun, dia dikenal sebagai anak pemalu.
Di malam pertama Clara berada di bangsal Hematologi, bocah itu tak mau lepas dari sisi Ziandra. Padahal masih ada Susan di sana bersama Namila.
“Bocah ini,” ujar Namila pada keponakannya. “Makanya jangan sakit, makan yang banyak biar sehat. Kalau sakit, semua orang jadi susah, kan?”
Ziandra menahan kekesalan atas ucapan sang adik. Bisa-bisanya ini disalahkan ke Clara?!
Namun, Susan lebih dulu menepuk keras lengan putri bungsunya. “Mila! Tak baik bicara begitu ke Rara!”
Namila hanya bisa cemberut karena ditatap tajam oleh kakaknya. Kalau Ziandra marah, bisa-bisa jatah uang bulanan untuknya akan sirna.
“Mungkin Rara memang sedang manja-manjanya ke kamu, Zia. Biasanya kan dia cuma bertemu kamu di malam hari sebelum tidur karena kamu kerja. Nah, sekarang dia menginginkan waktumu lebih banyak lagi.” Susan berkata.
Ziandra mengangguk. Mungkin benar seperti yang dikatakan ibunya. Anaknya tak mau ditinggal olehnya. Bahkan dia kesulitan jika ingin buang air kecil.
“Tak mau! Jangan pergi! Bunda jangan pergi!” Clara merengek dan berlanjut ke tangisan pelan.
Mau tak mau, Ziandra harus berjuang menahan keinginannya berkemih sampai Clara tertidur.
Bahkan, saat putrinya tidur, dia juga menggunakan kesempatan itu untuk membayar sejumlah biaya rumah sakit menggunakan uang dari Aldric.
“Zia, kamu jangan pergi-pergi dulu dari Clara,” pesan Susan sebelum pulang. “Dia pastinya masih merasa asing dengan bangsal barunya dan butuh pendampingan kamu terus.”
“Iya, Ma, aku mengerti.” Ziandra mengangguk.
Setelah ibu dan adiknya pulang, dia kembali ke bangsal anaknya dan duduk di kursi penunggu pasien, seperti yang lainnya di sana.
Baru saja dia hendak berkenalan dengan penunggu pasien lainnya, sudah ada telepon masuk dari Aldric. Dia lekas menyingkir ke sudut sepi.
“Besok ikut aku ke luar negeri!” Aldric memberi perintah absolut, seperti biasa.
Dengan mengetatkan gerahamnya, dia menjawab, “Maaf, Pak, tidak bisa!”
“Ta-takut sama papamu?”Winda mematung. Susan dan Ziandra terkejut. Suasana menjadi hening seketika, seolah udara lenyap dari ruangan.Mereka semua tidak memiliki sangkaan sejauh itu terhadap apa yang menjadi alasan Clara.“Apa maksudmu, Sayang?” Susan bertanya pelan.Clara menatap takut-takut ke Winda dan semua orang di sana. Seakan bocah itu hendak mengatakan sesuatu, tapi ragu.“Sayang, ada apa? Bicara saja, tak apa, kok!” bujuk Ziandra sambil menatap lembut ke putrinya.“Papa… Rara takut. Papa… papa sering cubit Rara. Papa… sering marah ke Rara. Oma Susan tak ada, Papa pukul Rara.” Bocah itu berbicara dengan kalimat kurang beraturan. Tubuhnya sedikit gemetar saat menyatakan itu.Ziandra dan semua di sana membelalakkan mata. Winda bahkan ternganga tak percaya.“Sayang, maksudmu… papamu sering memukul kamu?” tanya Ziandra hati-hati.Dia tatap lurus mata putrinya.Clara mengangguk dan tertunduk takut.Semua orang pun runtuh dalam kekecewaan.Tangan Ziandra terkepal erat di samping tu
“Zia… menikahlah denganku.”Tatapan pria itu begitu dalam, penuh ketulusan. Tapi justru karena itulah Ziandra dilanda badai dalam hatinya.“A-Apa?” ujarnya terbata.Ziandra terpaku. Kata-kata Aldric menggema dalam pikirannya seperti gema yang tak lekas reda.“Aku serius,” Aldric menggenggam tangannya. “Aku ingin kamu. Clara juga. Kita bisa menjadi keluarga yang utuh. Aku ingin menjagamu selamanya, bukan cuma diam-diam seperti ini.”Ziandra menarik napas dalam. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena senang, tapi karena panik.Dia menunduk. “Aldric… maaf. Aku tidak bisa.”Tatapan Aldric mengeras. “Kenapa?”Ziandra menatap pria itu, mencoba bersikap tenang. “Aku tidak ingin mengaburkan hubungan kita. Kamu… adalah bosku. Aku masih bekerja untukmu. Dan… aku belum siap. Aku tidak ingin… jatuh ke dalam perasaan yang mungkin cuma sementara.”Dia meremas tangannya di atas pangkuannya sendiri. Kepalanya tertunduk.Sebenarnya, bukan itu alasan utamanya.Dia… hanya takut. Dia takut kecewa, tak
“A-Aldric… kita… kita tak perlu melakukan ini.” Ziandra cukup gentar dengan apa yang ada di ruangannya.Ruangan itu tidak menyeramkan, justru interiornya indah dengan dominasi warna kuning pastel dan merah muda.Hanya saja, yang membuat ruangan itu seram adalah alat-alat yang ada di sana.“Kupikir bersenang-senang dengan cara unik, tidak masalah. Ini bisa memperdalam intimasi kita, ya kan?” Aldric menyeringai sambil menutup pintu dan menguncinya.Mata Ziandra beralih dari ranjang bertiang, borgol, palang kayu berbentuk X, dan hal-hal memalukan lainnya ke Aldric.Memperdalam intimasi? Untuk siapa? Yang jelas, bukan dirinya!Dia bukan penyuka BDSM!“Ayo!” Aldric merengkuh pinggang Ziandra dan menggiringnya ke palang kayu berbentuk X.Napas Ziandra memburu, tapi bukan karena bersemangat, justru sebaliknya. Apakah Aldric mulai memiliki fetish tak normal ini?“Jangan khawatir, aku janji takkan kasar dan takkan menyakitimu.” Aldric berbisik di belakang telinga Ziandra. “Lagipula, ini bagian
“Oma?”Clara menatap neneknya dengan mata melebar karena kaget dan bingung.Winda, ibu Dion, sudah berdiri di tengah kamar. Mata merahnya dipenuhi amarah, bukan kesedihan. Nafasnya memburu, seperti hendak menerkam.“Clara Sayang, ke sini sama Oma, ya. Oma mau bicara sesuatu… penting banget.” Suaranya yang manis terdengar dipaksakan, seperti topeng yang sudah nyaris retak.Ziandra segera berdiri dan menghalangi Winda menghampiri Clara. Ibu mertuanya tak boleh mengatakan apa pun pada Clara.Belum saatnya!Ziandra berdiri cepat. “Mami, jangan! Clara belum siap…”“Tidak siap? Kamu yang tidak siap! Kamu yang takut!” Winda menuding Ziandra dengan jari gemetar. “Kamu takut kebenaran terungkap, ya kan? Bahwa kamu penyebab anakku mati?!”“Mami, tolong jangan di depan Rara,” lirih Ziandra dengan suara hampir pecah. “Dia masih kecil.”“Justru karena dia masih kecil, dia harus tahu sejak sekarang betapa ibunya hanyalah pengkhianat! Wanita jahat!” Winda melangkah maju.Clara memeluk bantalnya kuat
“Kaitan denganku?”Aldric tak langsung menjawab. Dia mengusap rambut Ziandra pelan, seperti menenangkan.“Kenapa tiba-tiba menuduhku, hm?” suaranya datar, tanpa emosi, namun justru membuat Ziandra merinding.Ziandra menelan ludah. “Aku tidak menuduh. Aku hanya… bertanya.”Aldric menatapnya lama, seolah menimbang. “Mereka sudah cukup lama menjerat hidupmu. Menindasmu. Merampas kebahagiaanmu. Seandainya mereka pergi karena kebetulan…” Dia berujar pelan, nyaris tak terdengar, “bukankah itu lebih baik?”Ziandra merasakan dadanya mencelos. Seketika napasnya tercekat.“Aku tidak pernah meminta mereka mati, Aldric,” bisiknya gemetar.Sepertinya dugaannya memang benar. Kematian suami dan adiknya ada campur tangan Aldric di dalamnya.Dia tak boleh lupa rumor mengenai Aldric. Apalagi pria itu memiliki kuasa yang tak bisa diremehkan di negeri ini.Aldric meraih tangan Ziandra. Hangat, menenangkan, tetapi juga membuatnya gentar.“Aku pun tidak memintanya,” katanya samar. “Tapi dunia terkadang pun
“Bagaimana, Pak Aldric, bukankah itu sangat ringan bagi Anda? Saya sudah menurunkan nominalnya untuk memudahkan hubungan kita.” Dion tersenyum iblis.Dia yakin Aldric takkan keberatan jika harga yang dia bayar adalah tidak lagi mengganggu Ziandra dan pria kaya itu.Aldric menatap Dion tanpa sedikit pun rasa takut. Dia duduk santai di kursi kerjanya, mencondongkan tubuh hanya sedikit, menatap Dion bagai menatap sampah.“Dua ratus juta, ya?” Bibir Aldric tertarik ke satu sisi, tersenyum sinis. “Nilai harga kebusukanmu ternyata tidak mahal-mahal amat. Aku pikir kamu akan menuntut lebih tinggi.”Dion mencelos, tidak menyangka Aldric akan membalas dengan kalimat setajam itu.“Jangan banyak gaya, Pak Aldric,” desisnya geram, meski gentar. “Saya ini pemegang rahasia Anda. Kalau saya buka ke publik, bukan cuma Anda, tapi juga perusahaan Anda bisa habis reputasinya.”Aldric tertawa pendek, ringan, namun tajam. “Rahasia apa yang kamu pegang? Foto buram? Video gelap? Bahkan jika kamu berkoar, sia