"Angh! Pak, tolong pelan!" pinta Ziandra Askara dengan wajah memelas. "Tidak usah berlagak sok perawan, karena aku yakin kamu biasa melakukan ini! Kamu yang mendatangi aku dan setuju melayaniku demi uang. Dasar perempuan matre! Terus puaskan aku!" hina Aldric Hagar tanpa memperlambat entakan penuh agresif dirinya ke Ziandra. Ucapan Aldric Hagar sangat menyayat perasaan Ziandra Askara. Padahal dia nekat mendatangi pria itu bukan karena dia matre! Lalu, apa sebenarnya alasannya mengorbankan martabat sebagai wanita terhormat? ----> ikuti FB Shefira Alma untuk mengetahui info buku-bukuku ^^
Lihat lebih banyak"Anak saya mengidap leukemia, Dok? Kok bisa?"
Ziandra Askara nyaris pingsan saat dokter spesialis anak memberitahu penyakit Clara, anaknya yang masih berusia 5 tahun. Dia sedang berada di dalam ruang dokter anak rumah sakit Mayapada.
Dokter menjelaskan. "Berdasarkan hasil pemeriksaan, Clara mengidap Acute Lymphoblastic Leukemia atau ALL. Yaitu jenis leukemia akut yang biasa terjadi pada anak-anak."
Di tangan Ziandra, terdapat dua kertas. Yaitu hasil pemeriksaan medis dari dokter Ilham dan satu lagi tagihan biaya rumah sakit Clara dari kasir. Dia mengerutkan kening saat membaca keduanya.
Ziandra menatap dokter yang menangani anaknya. "Lalu, kenapa dia bisa pingsan, Dok?"
Saat hendak pergi bekerja tadi, Clara jatuh pingsan. Dia panik dan membawanya ke rumah sakit dibantu ibu dan adiknya. Sedangkan Dionーsuaminya, tidak peduli.
Dion kecanduan judi online selama satu tahun belakangan ini. Utang pinjaman online Dion menggunung. Tidak terasa, Ziandra mulai menangis. Hatinya benar-benar hancur.
"Leukemia dimulai di sumsum tulang, tempat sel darah dibuat. Lalu, produksi sel darah putih terus meningkat dan nggak normal. Clara pingsan karena anemia dan kelelahan."
Dokter terus berbicara. Ziandra mencoba memahaminya.
"Clara harus segera menjalankan beberapa pengobatan. Silakan ke bagian administrasi! Waktu anak Ibu sangat terbatas." Ucapan ini seakan menjadi pemacu.
Di kepala Ziandra, seperti ada detik jam waktu mundur. Dia akan berpacu dengan waktu demi Clara. Demi Clara!
"Baik."
Ziandra melangkah keluar. Tangannya gemetar. Sebelum ke ruangan dokter, Ziandra telah lebih dulu pergi ke bagian administrasi. Kasir menyatakan bahwa waktunya hanya 24 jam. Ini semakin membuatnya gugup.
Demi nyawa anaknya, Ziandra akan melakukan apa saja. Dia mengeluarkan handphone, berharap ada kabar baik dari keluarga suaminya.
Ziandra tidak melihat notifikasi apapun di layar handphone. "Mami mertua pasti tidak mau membantu. Aku sudah berulang kali menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ada balasan sampai sekarang."
Ketika dia mencoba menghubungi saudara-saudara ibunya, mereka juga tidak memberikan pertolongan seperti yang dia harapkan.
Ziandra berjalan menuju ruang ICU di mana Clara berada. Tepat di depan pintu, Susan dan Namila sudah menunggunya.
Ziandra kebingungan melihat keduanya. "Kenapa kalian tidak masuk?"
"Kamu sudah mendapatkan uangnya?" tanya Susan.
Ziandra menggeleng. "Aku tidak punya uang sebanyak Rp100 juta, Ma."
"Lalu, apakah kamu tak mau berusaha, Zia?!" Susan tidak sabar. "Clara itu cucuku satu-satunya. Kamu tak boleh diam saja! Cepat cari pinjaman!"
"Bukan begitu, Ma," kilah Ziandra. "Aku baru saja mendapat Rp3 juta dari dua sahabatku. Akuー"
Namila menyela, "Kak, Mas Dion kesayangan kamu punya utang banyak gara-gara judi online. Kamu tidak bisa lagi melakukan pinjaman online memakai identitas kamu. Bagaimana kalau meminjam pada Bos kamu saja? Bukankah kamu kepala Sekretaris kesayangannya? Tidak mungkin dia tidak kasihan padamu."
Ziandra tercengang mendengar saran Namila. Dia telah bekerja selama 3 tahun di Zigma Group sebagai kepala Sekretaris. Tapi, dia tidak pernah memikirkan untuk mengajukan pinjaman karyawan.
Lagipula, tidak ada perusahaan yang akan meminjamkan uang sebanyak Rp100 juta. Belum lagi, biaya pengobatan Clara lainnya. Jika ditotal bisa mencapai Rp1 miliar.
Ziandra menjadi gugup karenanya. "Tidak bisa begitu!" tolak Ziandra buru-buru. "Lebih baik aku menjual perhiasan saja."
"Eh tapi, Kakー" Namila terlihat kesal.
"Jual rumah saja, Zia," celetuk Susan.
Namila menghela napas. "Hasil menjual perhiasan tidak seberapa. Menjual rumah pun butuh waktu lama. Lagipula, kita akan tinggal di mana nanti, Ma?"
Rumah yang sekarang mereka tempati adalah peninggalan satu-satunya mendiang sang ayah. Jadi, Ziandra tidak akan setuju untuk menjual rumah.
Ziandra membalikkan badan, lalu pergi. Susan dan Namila membiarkannya.
Ziandra kembali ke motornya dan mulai melaju ke jalanan. Selama berjalan di koridor rumah sakit tadi, dia mencoba menghubungi Dion. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.
Jalanan di Kota Teranesia tidak begitu macet. Tidak lama, Ziandra sampai di kantor. Tujuannya hanya satu. Yaitu bertemu dengan Aldric Hagar, presdir Zigma Group.
"Akhirnya, aku sampai di lantai 17."
Tidak butuh waktu lama, Ziandra sudah sampai di lantai paling atas gedung pencakar langit Zigma Group. Dia melihat asisten Aldric, baru saja keluar dari ruangan presdir.
Ziandra mengetuk pintu ruang kerja presdir Aldric Hagar. Lalu, dia mendengar suara pria dari dalam.
"Masuk!"
Ziandra membuka pintu dengan gugup. Dia melangkah mendekati meja kerja Aldric dengan wajah tertunduk.
"Kamu sudah datang, Zia?" tanya Aldric tanpa mengangkat wajahnya.
"Iya, Pak."
Aldric sibuk dengan menandatangani dokumen. "Bagaimana persiapan meeting nanti siang? Semua sudah beres?"
Tidak ada jawaban. Aldric mendongakkan kepala. Dia melihat sikap Ziandra yang tidak biasanya.
Aldric bertanya, "Kamu sakit?"
Ziandra menggeleng. "Pak, tolong bantu saya!"
Kedua mata Ziandra berkaca-kaca. Dia berusaha tenang di depan Aldric.
Aldric meletakkan pena. "Bicaralah!"
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya Ziandra berkata, "Pinjami saya uang ...."
“Ja-jantungnya… berhenti?”Kata-kata itu seperti palu godam menghantam batok kepala Ziandra.Tubuhnya goyah, nyaris terjatuh. Kenzo sigap menopangnya, meski wajahnya sendiri kaku, sulit menyembunyikan keterkejutannya.“Tidak… tidak… jangan katakan dia…” Ziandra terisak, suaranya patah-patah. “Dia tidak bisa pergi… dia tidak boleh pergi!”Clara ikut menangis, memeluk ibunya erat-erat, meski bocah itu belum sepenuhnya mengerti arti henti jantung.“Dok, tolong katakan yang benar!” Kenzo ikut emosional mendengar kabar mengenai ayahnya.Dokter melanjutkan, “Kami sudah melakukan resusitasi. Memang berhasil, tapi masa kritis belum berakhir. Saat ini… kami masih berusaha menjaga stabilitasnya. Tapi kemungkinan komplikasi tetap tinggi. Kami mohon kalian bersiap menghadapi segala kemungkinan.”Kata-kata itu membuat dunia Ziandra runtuh. Hatinya
“Graaakkhh!” Aldric meraung sambil maju menerjang.Dia langsung bergerak. Dalam satu gerakan cepat, dia menendang meja ke arah Gerald, membuat pistolnya terangkat.Dorr!Suara tembakan meledak, peluru menghantam dinding, tapi Clara sudah disambar Kenzo dan ditarik ke pelukan.“Pa, aku dapat dia!” seru Kenzo.Namun belum sempat lega, belasan pria bersenjata Gerald menyerbu masuk dari segala arah.Aldric meraih senjata dari dalam jasnya. “Lari ke luar dengan Clara! Aku yang tahan mereka!”“Tidak!” balas Kenzo keras. “Kita lakukan bersama!”Lalu ledakan suara tembakan memenuhi vila. Peluru berdesing, kaca jendela pecah, lampu berjatuhan.Aldric dan Kenzo bergerak selaras, seolah-olah mereka sudah berlatih bertahun-tahun.Aldric menembak tepat, jatuh satu demi satu penjaga.Kenzo lincah bergerak, menggunakan pisau untuk menjatuhkan lawan yang terlalu d
“Kita bicarakan rencana dulu.” Kenzo berkata. “Tunggu aku hentikan mobil dan mengeluarkan sesuatu yang penting.”Maka, mereka berhenti di sebuah tempat parkir bawah tanah, jauh dari keramaian kota.Kenzo membuka bagasi mobilnya, menyingkap tas hitam besar. Di dalamnya tersusun rapi senjata api, pisau, dan alat komunikasi kecil.Aldric mengangkat sebelah alis. “Tidak kusangka kamu selalu membawa gudang berjalan seperti ini.”Kenzo hanya mengedikkan bahu. “Dunia ini tidak ramah, Pa. Kamu tahu itu lebih dari siapa pun.”Mereka duduk berhadapan di kap mobil. Kenzo mengeluarkan peta digital dari tablet kecil.“Jika Gerald menuntut kamu datang sendiri, dia akan memilih tempat di mana dia bisa mengontrol semua pintu keluar. Tempat seperti gedung kosong, pabrik, atau rumah mewah yang sudah ditinggalkan. Dari riwayat bisnis hitamnya, ada dua lokasi kemungkinan besar: dermaga tua di Mauva Barat, atau vila rahasia di bukit Arven.”Aldric menimbang cepat, instingnya bekerja. “Dermaga terlalu terb
“Masih mau menuduhku?” Kenzo bersuara.Aldric terdiam sepersekian detik. Sorot mata Kenzo tidak menunjukkan kebohongan, setidaknya bukan yang biasa dia tangkap.Putranya berbicara lagi karena sang ayah terdiam. “Aku pulang karena kamu memaksaku. Kalau aku mau menculik Clara, aku sudah melakukannya sejak lama. Tapi ini? Aku tidak ada hubungannya.”Aldric melepaskan cekalannya dengan geram, lalu mundur selangkah. “Kalau bukan kamu, lalu siapa?”Kenzo menarik napas dalam, menatap lurus ke mata ayahnya. “Katakan dulu… siapa musuh terbesarmu yang ingin membuatmu hancur? Karena kalau Clara diambil orang lain, itu berarti mereka tahu satu hal penting, yaitu hubunganmu dengan Ziandra.”Ucapan itu membuat Aldric membeku.“Gerald Vascare.”Nama itu mencuat begitu saja di kepalanya seperti pisau yang siap menikam dan mulut dengan ringan mengucapkannya.Gerald Vascare. Pria itu pernah mencoba menjatuhkannya lewat serangan bisnis, tapi tak pernah berhasil. Jika kini dia menyerang lewat orang-orang
“Rara… Rara….” Ziandra menyebut terus nama putrinya.Dengan langkah panik, Ziandra menyusuri sekitar sekolah. Tapi semua sudah terlambat. Tidak ada jejak Clara.Clara dikatakan dijemput oleh pria dengan mobil hitam mewah. Mereka sempat melihat senyum manis pria itu saat menggandeng Clara dan melambaikan tangan ke arah gerbang.Ziandra merasa sesak.“Apa itu benar kamu, Kenzo?” bisiknya lirih sambil menatap sekeliling, berharap menemuka jejak putrinya.Dia mengingat jelas apa yang pernah Kenzo katakan saat bertengkar dengan Aldric: “Akan kuculik dia dan Clara agar terbebas dari kekanganmu yang merusak.”Ziandra tak pernah menyangka... bahwa ancaman itu akan diwujudkan.Dia segera menelepon Aldric.“Aldric... Rara hilang!” teriaknya. “Kenzo… Kenzo menculik Rara!”Suara di seberang hening sejenak.“Apa katamu?” suara Aldric berat, bergetar.“Dia menjemput Rara dari sekolah! Aku tidak pernah mengizinkannya! Aku tak menyangka dia bisa tahu sekolahnya Rara!”“Aku datang sekarang!” tegas Ald
“Aku… ini… di… di taman bermain.” Ziandra mengatur detak cepat jantungnya.Matanya memandang sekeliling, apakah Aldric ada di dekatnya? Atau mungkin ada anak buah pria itu yang mengawasinya hingga menelepon tepat ketika dia dan Clara sedang bersama Kenzo?Yang dia lihat, Kenzo sedang mengajak Clara membeli gulali tak jauh dari dia berdiri. Tak ada orang yang mencurigakan di sekitarnya.“Dengan siapa di sana?” Suara Aldric berubah berat dan rendah.Tangan Ziandra mendadak dingin. Dia menggigit bibirnya terlebih dahulu sambil berpikir.Apakah dia harus memberikan jawaban dusta? Tapi bagaimana jika Aldric sudah mengetahui kehadiran Kenzo?“Aku… aku dengan Clara….”“Hanya Clara?” Nada suara Aldric terasa menekan.Ziandra merasa dadanya dihimpit batu.“Juga… Kenzo.” Ziandra memejamkan mata, tak punya pilihan lain selain jujur
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen