Kenzo terkekeh. Dia tak mundur, justru mendekat sedikit, menatap langsung ke mata ayahnya. “Kamu bisa mencoba. Tapi aku tidak datang untuk mengancam. Aku datang karena aku peduli.”“Peduli?” suara Aldric merendah, seperti menahan emosi.“Ya. Aku peduli pada mereka. Pada Clara. Dan pada dia…” Kenzo menoleh sedikit ke arah Ziandra yang hanya berdiri mematung, tak tahu harus berkata apa.Tatapan Aldric semakin gelap. “Kamu bermain api, Kenzo.”Kenzo menegakkan badan, suaranya tetap ringan tapi tegas. “Kalau kamu benar-benar peduli pada mereka, kamu tak akan mengekang mereka seperti ini. Zia bukan milikmu. Dan Clara… dia tak perlu menjadi bagian dari permainanmu.”“Cukup!” suara Aldric naik, tajam bagai cambuk.Ziandra akhirnya angkat suara, mencoba menengahi. “Kenzo, tolonglah. Kamu sebaiknya pergi sekarang.”Kenzo menatap Ziandra, sorot matanya sejenak melembut. “Aku akan pergi. Tapi aku pasti akan kembali lagi. Clara menyukaiku.” Kemudian dia menoleh ke Aldric untuk berkata, “Dan aku t
Sementara itu, di sisi lain kota, Kenzo bersandar santai di balkon apartemennya, menatap layar ponselnya. Dia menulis pesan:[Zia, aku ingin bertemu lagi. Clara sangat manis. Kamu juga… masih terlihat seperti yang kuingat.]Dan dia menekan send, tanpa tahu badai apa yang sudah menunggunya.……Siang itu tampak biasa saja. Clara sedang duduk di teras rumah Susan, bermain dengan bonekanya.Ziandra sibuk melipat cucian di ruang tamu, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh dengan gosip tetangga yang tak kunjung padam.Tiba-tiba suara mesin mobil terdengar berhenti di depan rumah. Clara langsung menoleh, matanya berbinar.“Om Kenzo!” serunya riang.Ziandra spontan menoleh ke arah pintu. Jantungnya berdetak tak karuan.Dan benar saja—Kenzo muncul di gerbang, tampak santai dengan kemeja polo dengan sweater tipis ditali di bahunya. Tampak gaya dan trendi.Ta
“Siapa yang bilang?”Aldric yang sedang sibuk memeriksa berkas, langsung menghentikan gerakannya. Tatapannya terangkat perlahan, gelap dan tajam.“Saya mendapatkan info dari beberapa tetangga Bu Ziandra. Katanya, pria itu muda, tampan seperti artis, dan ramah. Mereka pikir… dia kekasih Bu Ziandra yang lain.” Orang itu menunduk, tak berani menatap.Keheningan menggantung berat. Bahkan udara terasa menekan bagi sang bawahan.Aldric tidak langsung bicara. Dia hanya meremas perlahan pena di tangannya hingga terdengar suara krek kecil—pena itu patah di antara jemarinya.“Batalkan jadwal rapatku sore ini,” katanya saat menghubungi sekretarisnya, dingin. “Aku ada urusan pribadi.”….Di rumah Susan, Clara sudah tertidur siang. Ziandra duduk di sofa, memeluk bantal. Rasanya pikirannya kacau.Dia sadar, gosip ini pasti akan menyebar lebih cepat dari virus. Dan kalau Aldric mendengar—Tok… tok… tok!Suara ketukan itu lagi.“Siapa lagi?” Ziandra menggumam resah. Dia berjalan ke pintu, membuka per
Ziandra menatapnya lama, lalu menghela napas. “Baiklah. Tapi hanya sebentar saja, yah!”Senyum lebar Kenzo langsung merekah. Dia pun mengikuti Ziandra ke dalam.Di dalam rumah, Kenzo duduk di sofa dengan santai. Clara sudah duduk di sebelahnya, memperlihatkan semua gambarnya.“Ini Bunda, ini aku, ini Oma,” Clara menunjuk satu per satu.Kenzo memerhatikan gambar Clara dengan tatapan fokus, seolah dia sedang menilai karya seni tingkat tinggi.“Bagus sekali, Clara!” Kenzo mengangguk dengan mata berbinar. “Clara sangat pintar menggambar. Om bangga!”Ziandra datang membawa segelas air putih. Dia menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk.Kenzo selalu punya cara masuk ke hati siapa pun, termasuk anak-anak.“Clara masih sekolah?” tanya Kenzo sambil menyesap air.“Rara belum sekolah, Om. Rara nanti masuk sekolah kalau sudah sembuh dan dibolehkan Bunda,&r
“Ini… Kenzo… kenapa….?” Dia bingung dengan kedatangan tamu siang itu.Pria yang berdiri di ambang pintu itu tersenyum lebar. Wajahnya cerah, kulitnya bersih, rambutnya sedikit berantakan tapi justru menambah pesona santainya.Kenzo mengenakan kaus putih tipis yang memperlihatkan sedikit lekuk otot dadanya, serta celana chino krem. Dia tampak seperti baru saja keluar dari majalah fashion, tapi tetap ada kesan santai yang membuatnya tak terlalu berjarak.“Surprise.” Kenzo mengangkat sebelah alis, senyumnya begitu ramah dan menawan. “Kamu kelihatan terkejut, Zia.”“Kenapa kamu… di sini?” Ziandra masih tidak percaya.Dia melirik kanan kiri, memastikan tetangga tidak mengamati.“Ya, karena aku rindu,” jawab Kenzo ringan sambil mengangkat bahu. “Bukankah itu alasan paling jujur?”“Kenzo…” Ziandra menatapnya setengah bingung, setengah jengkel. “Kamu tidak bisa begitu saja datang ke sini tanpa pemberitahuan. Apalagi…”“Apalagi ini rumah ibumu, banyak tetangga kepo, dan Aldric tidak tahu aku k
Aldric mengangkat jari ke bibirnya, memberi isyarat diam. “Tidak perlu tahu terlalu banyak. Yang perlu kamu tahu… kamu dan Clara aman.”Ada sesuatu di balik kalimat itu yang menimbulkan rasa campur aduk—perlindungan yang menenangkan, tapi juga ancaman yang samar.Ziandra menarik tangannya pelan, menunduk. “Aku… tidak ingin ada yang terluka karena aku.”Dia takut.Dia benar-benar takut jika Aldric melakukan hal-hal di luar logika yang bisa membahayakan siapa pun.Memang tak bisa dipungkiri, dia tertekan dengan tindakan mantan ibu mertuanya dan juga para tetangga yang dia yakin terus bergosip secara diam-diam di belakangnya.Tapi, bukan berarti dia menginginkan Aldric menyingkirkan mereka semua. Pria itu tak boleh berbuat seenaknya begitu saja hanya karena memiliki kekuasaan.Aldric menatapnya lama, matanya gelap namun tak menunjukkan emosi berlebihan. “Terkadang, untuk melindungi yang berharga, kita harus menghapus hal-hal kotor di sekitarnya. Apakah itu salah?”Ziandra tak bisa menja