LOGIN"Aku tidak akan pulang maupun berhenti begitu saja. Aku baru berhasil masuk ke dalam rumah itu. Aku pastikan, semuanya akan terungkap. Jangan pernah menghubungiku, aku lebih tahu apa harus kulakukan selanjutnya!!"
Tttuuut. Sambungan telepon dimatikan. Silvi menatap bangunan sekolah elite itu dari dalam mobilnya. Leon baru saja masuk, pemuda tengil itu tetap menunjukkan raut dinginnya bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun saat tiba. Silvi menyematkan kacamata hitam kemudian menyalakan mesin mobilnya kemudian tancap gas meninggalkan sekolah itu. "Ini waktunya untuk memulai rencana," gumamnya sambil tersenyum misterius. Sementara itu di kelas. “Woy, tumben berangkat pagi! Kesambet apa lo?” Salah seorang temannya menepuk bahu Leon yang baru duduk di bangku kelas. Leon hanya diam, wajahnya datar. Biasanya kalau ada yang nyeletuk, ia tak segan melabrak balik bahkan melayangkan tinju. Tapi kali ini, entah kenapa, ia malas bicara. Pikirannya masih kacau gara-gara obrolan dengan Tante Silvi tadi di mobil. “Eh, di parkiran gue gak lihat ada motor lo. Jangan bilang lo dianter Tante itu lagi?” goda temannya yang baru saya tiba. Leon melirik sekilas, terlihat tak peduli meski teman-temannya terus bertanya. Hingga perhatian mereka semua teralihkan saat seorang gadis cantik dengan rok pendek di atas lutut menghampiri Leon. Jessica—si primadona kelas 12B sekaligus pemimpin geng Sweetgirl menyapanya. “Hai, Leon! Pulang nanti jalan yuk. Udah lama kita nggak nonton bareng.” Jessica terkenal cantik, berkuasa, dan jadi sorotan sekolah karena gengnya adalah cheerleader sekaligus dancer yang sering mengikuti kejuaraan lomba antar sekolah. kepopulerannya sama dengan Leon. Dan bukan rahasia lagi jika ia naksir berat pada sang kapten basket yang dingin dan tampan itu. “Aku lagi males,” jawab Leon ketus. Jessica mendekat, menyentuh tangannya. “Masa sih? Aku kangen banget. Sekali ini aja, please?” Leon tersenyum sinis. “Enggak ya enggak.” Jessica cemberut, lalu merayu lagi. “Kalau gitu, nanti malam datang ke rumahku ya. Mommy-daddy lagi pergi. Aku bikin party, cuma buat orang-orang spesial.” Ia mengedip genit. Teman-teman Leon langsung menyahut. “Jess, kita nggak diajak?” Jessica mengibaskan rambutnya. “Boleh, asal kalian sama Leon. Kalau enggak, jangan harap.” Ia lalu mengusap pipi Leon lembut sebelum pergi. “Bye, Myy baby. Jangan lupa datang ya.” Begitu Jessica pergi, suasana kelas 12 A itu jadi ramai. “Wah, party malam ini! Basecamp lo kan masih disita si Tante bohay itu, jadi pas banget kita seneng-seneng di rumah Jessica,” kata teman disampingnya. “Betul! Lo nggak bosan apa, jadi anak rumahan gara-gara Tante itu?” “Mana Leon yang pemberani? Jangan-jangan sekarang Lo ciut sama tante-tante?” Leon menatap teman-temannya dengan kilatan tajam. Ia tentu saja tak terima, merasa tertantang oleh para provokator itu. Leon akhirnya bersuara tegas. “Oke. Malam ini gue datang. Hubungi yang lain. Kita party di rumah Jessica.” Semua bersorak puas. “Nah gitu dong! Itu baru Leon yang kita kenal!” ** Malam hari. Leon terus menatap jam dinding, ia siap untuk melancarkan aksinya malam ini. Ketika Silvi sedang menjelaskan materi, Leon mendadak memegang perutnya sambil meringis. “Aduh, Tante… sakit.” Silvi langsung mendekat, wajahnya khawatir. “Kamu kenapa? Perlu ke dokter?” Leon salah tingkah melihat wajah cantik wanita itu begitu dekat. “Nggak usah, Tante. Cukup minum obat dan tidur. Malam ini saya istirahat dulu ya.” Silvi menatap curiga, tapi Leon terus meringis hingga akhirnya ia mengalah. “Baiklah. Kita akhiri pembelajaran malam ini. Sekarang kamu minum obat, lalu tidur.” Leon mengangguk, menunjukkan raut kesakitan ketika keluar dari rumah belajar itu. Ia bergegas menuju kamar, senyum seketika terbit di wajahnya, merasa telah berhasil mengelabui guru privatnya itu. Begitu keadaan tenang, Leon buru-buru ganti baju: jeans hitam, jaket kulit, sepatu sneakers. Ia berjalan mengendap-endap, lalu mengancam para pelayan dan penjaga rumah. “Jangan bilang Tante Silvi. Sebelum jam tiga gue balik.” Semua patuh, tak berani melawan. Di luar, teman-temannya sudah menunggu di motor masing-masing. Leon sendiri tidak membawa kendaraan karena motornya masih disita. “Aman, Bro?” “Aman dong. Tante itu gampang dibodohi,” jawab Leon sombong. "Hahaha... siapa dulu dong? Bos Leon gitu lho," sahut yang lain. Leon dibonceng. Mereka melaju kencang ke kompleks elite tempat tinggal Jessica. Dari luar rumahnya sudah terdengar dentuman musik pesta. Jessica yang memakai gaun hitam langsung menyambut Leon dengan girang. “Honey, akhirnya kamu datang!” Ia menarik tangan Leon ke halaman belakang yang sudah disulap jadi venue meriah: lampu-lampu pesta, DJ ternama, meja penuh makanan dan minuman. “Leon, are you happy?” tanya Jessica sambil melingkarkan tangan di lehernya. Leon tersenyum tipis. “Yes, Jess. Gue pasti datang. Gue gak pernah ingkar." Leon menyeringai, entah mengapa setelah mengucapkan itu, ia tiba-tiba teringat dengan Silvi. karena pada malam ini, ia telah menipu wanita itu. Pukul 01.15 malam. Silvi nampak gelisah. Ia tak bisa tidur. Entah kenapa kepikiran terus, khawatir jika Leon masih kesakitan. Ia berjalan ke kamar Leon, mencoba memastikan kondisi anak muridnya itu. Pintu kamar terkunci. Namun Silvi punyaku cinta cadangannya. tanpa sepengetahuan Leon, ia telah membuat duplikat dari kunci kamar itu. Ceklek. Pintu terbuka. Lampu dinyalakan. Di ranjang, terlihat tubuh tertutup selimut. Silvi mendekat, memanggil pelan. “Leon? Kamu tidur? Baik-baik saja, kan?” Tak ada jawaban. Anehnya, selimut itu tak bergerak sama sekali. Silvi panik, membayangkan kemungkinan terburuk. Ia cepat-cepat menyingkap selimut itu. Matanya membelalak. Yang ada hanyalah guling dan bantal yang disusun seolah tubuh manusia. “LEON!!!” teriaknya, wajahnya merah padam. Silvi menggertakkan giginya, sadar dirinya baru saja dibohongi. “Kurang ajar! Anak nakal! Awas kau!” --- Sementara itu, pesta masih berlangsung meriah di rumah besar milik keluarga Jessica. Malam itu berubah menjadi arena kebebasan tanpa batas. Lampu warna-warni berkelip mengikuti hentakan musik DJ yang mengguncang dada. Lantai dansa di halaman belakang penuh oleh remaja-remaja elit yang larut dalam euforia—menari, berteriak, tertawa, seolah dunia hanya milik mereka. Botol-botol minuman beralkohol berserakan di meja panjang, sebagian sudah kosong. Bau tajam bercampur manisnya aroma wine dan vodka menusuk hidung, menguarkan suasana pesta yang benar-benar lepas kendali. Beberapa pasangan bahkan tak ragu untuk bermesraan di sudut gelap halaman, saling merengkuh, berciuman tanpa malu di depan teman-teman mereka. Leon duduk di sofa tepi kolam, sebatang rokok terselip di jemarinya. Asap mengepul perlahan dari bibirnya yang dingin. Matanya menatap kerumunan liar itu dengan senyum tipis, seakan puas bisa melepaskan diri dari penjara Tante Silvi. "Ini baru namanya kebebasan," gumamnya. “Leon…” suara merdu Jessica menghampiri, manja sekaligus menggoda. Gadis itu mendekat. Tangannya terulur, meraih rokok dari jemari Leon, lalu ia mengisapnya dengan gaya sensual sebelum meniupkan asap ke udara. “Udah lama aku nunggu momen kayak gini,” bisiknya serak. "Cuma kita berdua.” Leon tersenyum miring, lalu meneguk minumannya. Seolah tak peduli. Jessica menatap matanya tajam, lalu menggenggam tangan Leon. “Ayo ikut aku.” Leon terdiam sejenak kemudian bangkit, tentu ia tak mau melewatkan kesempatan emas untuk melampiaskan hasratnya ini. Jessica menariknya masuk ke sebuah kamar besar dengan aroma parfum mewah yang pekat. Begitu pintu tertutup rapat, suasana berubah. Hanya ada mereka berdua, berdiri berhadapan dalam ketegangan yang manis sekaligus berbahaya. Jessica mendekat, jaraknya hanya beberapa senti dari wajah Leon. “Kamu tahu kan… aku ini udah lama suka sama kamu. Dan kamu, malah dekat sama cewek-cewek lain di sekolah. Tapi kali ini cuman ada aku, Leon." Leon menatapnya tajam, lalu tanpa basa-basi, ia menarik pinggang Jessica dan menempelkan bibirnya. Ciuman itu panas, rakus, penuh desakan hasrat remaja yang selama ini ditekan. Jessica melingkarkan tangannya di leher Leon, membalas penuh gairah. Suara napas mereka saling bertabrakan, semakin berat. Bibir bertemu bibir, lidah saling mengejar, tubuh kian rapat tak berjarak. Hingga saat ciuman panas itu berakhir, Jessika mendorong tubuh Leon, mengukungnya dan menyentuh dada pria itu sambil memutar-mutar jemari lentiknya. "Aku mau kamu, Baby. Berikan kenikmatan itu malam ini! ** Bersambung….Keesokan hari.Roberto sedang duduk membaca koran pagi, sementara Emily, wanita bar-bar yang kini lebih lembut, keibuan dan sebentar lagi akan menjadi istrinya itu sedang menata bunga. Cheryl, adik tiri Leon yang ceria, bermain boneka Barbie di ruang keluarga.Suasana rumah hangat, damai… kontras dengan dulu, ketika Leon selalu menjaga jarak dan tidak mau terlibat dengan siapa pun di keluarganya, termasuk pada ayahnya sendiri.Hari ini berbeda.Hari ini, Leon mengetuk pintu dan masuk sambil menggandeng Silvi. Wajahnya tidak sedingin dulu. Ia tampak… bahagia. Yah, meskipun senyum itu terkesan dipaksakan ketika melihat kebersamaan Roberto dengan calon ibu sambungnya itu.Roberto tersenyum. “Leon. Silvi. Akhirnya kalian datang."Leon menarik napas panjang. Silvi menggenggam tangannya, memberikan isyarat agar Leon bersikap ramah. "Ya, kan kau yang suruh. Jika tidak, mungkin kita masih liburan bulan madu."Silvi menyenggol lengannya. "Leon...""Ya, ya, Sorry. Heum, baiklah... Pah, dan kau
Pagi hari berjalan kacau balau tapi juga romantis setelah insiden mie instan es krim vanilla yang membuat Leon hampir menyerah pada dunia kuliner.Setelah mandi, Leon kembali ke kamar, rambutnya masih basah, wajahnya segar… tapi matanya sedikit trauma ketika melihat piring bekas mie instan di meja.Silvi menatapnya sambil tersenyum bersalah.“Kamu masih mual?”Leon menjauh satu langkah dari piring itu. “Kita… jangan bahas mie itu lagi.”Silvi tergelak kecil. “Maaf, calon papa.”Leon memutar mata. “Aku lebih takut ngidam berikutnya daripada menghadapi rapat direksi.”Silvi menepuk lengannya. “Nanti aku belajar menahan diri.”Leon menatapnya penuh curiga. “Jangan janji palsu, Sayang.”Silvi mencibir, lalu meraih tangannya. Ia ingin bermanja-manja dengan suaminya, namun Leon tiba-tiba menariknya pelan dan membawanya berdiri.“Ayo jalan-jalan sebentar. Udara pagi bagus buat ibu hamil."Silvi mengangguk. Sementara Leon langsung bergerak seperti bodyguard pribadi. Ia mengambilkan sandal Sil
“Leon… turunin aku,” gumamnya, pipinya merah padam.Leon mengerutkan kening. “Kenapa? Kamu pusing? Mau muntah? Mau—”“Enggak! Aku… takut jatuh,” protesnya lirih. Leon langsung menghentikan putaran seakan mendapat teguran dari dokter kandungan. “Oke. Maaf! Langsung mode hati-hati.”Ia meletakkan Silvi perlahan di tepian bathtub, seperti menurunkan barang pecah belah paling mahal di seluruh dunia. Bahkan, cara Leon melepaskan tangannya pun pelan sekali, seakan Silvi bisa meledak kalau disentuh terlalu keras.Silvi menatapnya, geli sekaligus terharu."Sayang… aku itu manusia, bukan telur burung unta.”Leon mendesah panjang, meraih wajah Silvi dengan kedua tangannya. “Kamu itu istriku. Dan kemungkinan besar… ibu dari anakku. Kau pikir aku bisa santai setelah lihat dua garis itu?”Silvi tersenyum kecil. “Leon, baru lima menit yang lalu kamu hampir—”“—melakukan keganasan di malam pengantin kita, heum?” Leon mengangkat alis. “Sekarang aku akan hati-hati. Aku gak akan ganas-ganas, janji de
Leon baru saja menutup pintu suite itu dengan kakinya ketika ia meletakkan Silvi di atas kasur king size yang penuh dengan kelopak mawar putih. Lampu-lampu temaram membuat mata Leon terlihat semakin dalam, gelap, dan penuh cinta. Silvi sendiri tampak bersemu merah, napasnya tidak beraturan setelah ciuman panjang barusan.“Leon…” bisik Silvi, suaranya lirih, manja, dan… sedikit bergetar. Leon membungkuk, menangkup wajahnya, “Jangan gugup. Kita lakukan pelan-pelan.” Silvi menahan tawa. Ini benar-benar lucu. padahal mereka sering melakukan dengan ganas, tapi malam ini seolah menjadi malam pertama untuk mereka. Tak ingin merusak suasana yang romantis itu, Silvi mengikuti permainan Leon. Jemarinya bergerak pelan ke dada Leon, lalu ia menarik napas dalam—sangat dalam—dan—“Leon… aku…”Dia tiba-tiba menegakkan tubuh. Matanya melebar. Rasa aneh itu tiba-tiba muncul. Merusak suasana penuh gairah yang sejak tadi menggebu-gebu.Leon mendekat, khawatir. “Kenapa? Sakit? Kamu takut?”Silvi mengg
Langit Bali sore itu seperti lukisan hidup. Sapuan jingga, merah muda, dan ungu bertumpuk lembut di cakrawala. Matahari perlahan turun menuju garis laut, memantulkan cahaya keemasan yang berkilau di permukaan air, sementara ombak kecil berkejaran ke bibir pantai, menciptakan irama alam yang menenangkan.Di sisi pantai pribadi milik Wijaya Group yang dikenal sebagai salah satu lokasi paling eksklusif di Bali, resepsi pernikahan Leon dan Silvi digelar.Tidak megah berlebihan. Tidak penuh glamor mencolok. Namun justru karena kesederhanaan elegan itulah, suasana resepsi ini terasa begitu hangat… intim… dan luar biasa berkesan.Deretan kursi putih dengan kain tule tipis tertata rapi menghadap laut. Meja-meja bundar dihiasi rangkaian bunga lily dan mawar putih berpadu dengan greenery eucalyptus, memberikan aroma segar yang menenangkan. Lampu-lampu bohemian berbentuk bola rotan menggantung rendah, siap menyala ketika senja benar-benar tenggelam.Dress code para tamu: putih.Gaun santai namun
Di tengah kekacauan itu, Leon justru bergerak. Wajahnya nampak tenang, meskipun geram karena kedatangan Anya yang menggangu pernikahannya ini.Ia memeluk Silvi, mencoba menyenangkannya. Matanya menatap ke arah Anya yang berdiri di pintu utama gereja.Kemudian tatapannya beralih pada seluruh hadirin yang hadir. Ia begitu Tegas dan penuh enuh wibawa.Leon melepaskan pelukan dari Silvi hanya untuk berdiri lebih maju, tubuhnya melindungi Silvi di belakangnya. Matanya menatap lurus ke arah Anya dan barisan paparazi, sorot hitam tajam yang membuat banyak orang otomatis terdiam.Dengan suara yang rendah namun menggema ke seluruh sudut gereja, Leon berkata, “Cukup.” Para tamu membeku, paparazi ragu mengambil langkah, bahkan Anya tersentak sejenak.Leon melangkah lagi, naik satu tapak ke altar, lalu menatap seluruh ruangan. “Aku tidak peduli siapa yang mencoba menghentikan pernikahan ini,” ucap Leon. Suaranya tak bergetar, penuh keyakinan dan kekuatan. “Aku tidak peduli rumor. Tidak peduli m