LOGIN"Shiitttt!!! Lo benar-benar nyebelin, Tan!" Leon terus menekuk wajahnya.
Keringat bercucuran membasahi tubuh atletisnya, menetes dari dahinya hingga kaos abu-abu yang sudah lengket di kulit. Langkah kakinya di atas treadmill teratur, meski ekspresinya jelas memperlihatkan rasa jengah. Ia memang meminta Tante Silvi menemaninya “olahraga malam,” tapi yang ada di kepalanya tentu bukan olahraga sungguhan seperti ini. “Ih, senyum dong, Leon. Katanya ngajak olahraga malam!” goda Tante Silvi, suaranya ceria meski napasnya ikut tersengal. Wanita itu ada di treadmill sebelahnya. Rambut cokelat panjang yang diikat kuda basah oleh keringat, wajahnya merona, dan kaos putih tipis yang ia kenakan menempel ketat di tubuh. Bra hitamnya tercetak jelas di balik kain, membuat Leon beberapa kali harus berpaling, pura-pura sibuk menatap ke arah lain. Bukan karena tak mau melihat, tapi karena pemandangan itu membuatnya hampir gila. Bahkan sang Junior tak bisa diajak kompromi sejak tadi. Terus saja bangun dan menegang setiap kali dekat dengan wanita dewasa itu. Leon mendengus kasar. “Olahraga malam iya, tapi bukan beginian maksud gue. Astaga, Tante bener-bener penipu!” Silvi hanya terkekeh renyah. “Olahraga begini lebih sehat, tahu nggak. Udah, lanjut. Janji satu jam, kan? Laki-laki sejati harus bisa dipegang omongannya.” Leon mencibir, "Dipegang yang lain kan bisa, Tan?" Ia menyambar handuk kecil di lehernya, mengusap wajah dengan gerakan kasar. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri. ‘Sialan! Lagi-lagi Tante gila itu mempermainkan gue. Ckk, menyebalkan!' Meski kesal, Leon tetap berlari. Ego badboy-nya tak mengizinkan ia menyerah duluan. Treadmill bergerak stabil, membuat dadanya naik-turun cepat. Satu jam terasa seperti neraka. Begitu timer berbunyi, Leon langsung melompat turun, tangannya bertumpu di lutut, napas terengah. “Aarrgghh… capek banget!” pekiknya. Ia meraih botol minum, meneguk setengah isinya dalam sekali teguk. Silvi menghentikan treadmillnya dengan langkah santai. Meski tubuhnya sama-sama basah oleh keringat, ia tetap tampak segar. Wanita itu menghampiri, duduk di samping Leon, senyum menggoda menghiasi wajahnya. “Olahraga bagus buat kebugaran. Remaja sepertimu yang doyan rokok dan alkohol harus imbangi sama ini. Kalau rutin, badanmu bisa sixpack. Dan pasti rasanya hot banget, 'kan?" godanya. Leon hanya mendengus. "Diam Lo, Tan. Gak usah mulai-mulai kalau gak niat ngasih!" ketusnya yang membuat Silvi terkekeh geli. Kesal, Leon bangkit, hendak meninggalkan ruangan olahraga yang megah itu. Namun, Silvi tiba-tiba menahan lengannya. “Leon,” panggilnya lembut. Leon menoleh, kening berkerut. Belum sempat ia bertanya, bibir Silvi singkat mengecup pipinya. Cukup cepat, tapi mampu membuat dunia Leon berhenti sesaat. Matanya membulat. “Ta—Tante…” Silvi tersenyum manis, tapi suaranya terdengar menohok. “Terima kasih untuk hari ini. Kamu nurut, masuk sekolah meski tadinya mau bolos. Dan nilai lima dari sepuluh soal itu… lumayan. Good job. Kalau kamu bisa dapat sepuluh, Tante bakal kasih hadiah apapun yang kamu mau. Aku nggak pernah ingkar janji. Semangat yaa!!" Tanpa menunggu balasan, Silvi berbalik, melangkah keluar. Leon masih terpaku. Pipinya panas, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menyentuh bekas kecupan itu. “A–apa ini? Dia… nyium gue?” bisiknya. Senyumnya perlahan merekah. “Lima poin aja Tante udah bilang hebat… hah, berarti gue pinter juga.” Leon terkekeh kecil, rasa bangga menyelusup di dada. Malam itu ia tidur dengan gelisah. Bayangan Silvi terus menari di benaknya. Padahal ia terbiasa dengan ciuman lebih panas dari cewek-cewek sebayanya, tapi kecupan singkat Silvi justru membuatnya berdebar. Wanita itu memang berbeda. Hot, menggoda, tapi juga punya sisi tegas yang membuat Leon takluk pelan-pelan. “Gue harus lulus dengan nilai terbaik. Selain pengen tubuhnya, sekarang gua malah pengen dia jadi milik gue,” gumamnya sambil tersenyum-senyum sendiri membayangkan semua itu. --- Pagi Hari Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Leon bangun pagi. Ia sudah rapi dengan seragam putih abu-abu, duduk di meja makan sambil mengoles roti dengan selai. Para pelayan saling pandang, terkejut melihat tuan muda mereka sarapan tanpa drama. Suasana hatinya berbunga sejak kecupan semalam. Namun, mood Leon hancur ketika ayahnya, Roberto, menuruni tangga sambil menggandeng seorang wanita seksi bernama Emely. “Oh my God, anakku akhirnya siap ke sekolah pagi-pagi! I’m proud of you, Son,” ucap Roberto bangga. Leon melirik sinis. Saat Roberto memperkenalkan Emely, wajah Leon berubah kecut. "Beri salam pada calon mamimu, Leon!" “Memberi salam? Ogah! Gue nggak mau nyapa cewek murahan kayak dia. Nemu di rumah bordir mana sih, Papi?" sinisnya. Leon tersenyum miring seraya menatap wanita di samping ayahnya dari ujung kaki hingga kepala dengan tatapan remeh. Wajah Emely memerah, sementara Roberto terkejut. “Leon! Jaga bicaramu! Dia calon ibumu!" Leon terkekeh mengejek. “Ibu tiri? Lalu yang kemarin siapa, Pi? Tante Renata? Tante Viola? Atau Tante siapa lagi ya lupa?” “CUKUP!!! Dasar anak kurang ajar!” bentak Roberto, tangannya terangkat siap menampar. Namun, suara tegas terdengar dari arah tangga. “Jangan ada yang berani menyentuhnya. Dia milikku!” Semua mata menoleh. Silvi berdiri anggun dengan dress putih gading selutut, rambut terurai, wajah segar meski tanpa rias berlebihan. Pesonanya langsung mendominasi ruangan. Emely mendesis. “Siapa kamu?!” Silvi tersenyum tipis, hampir seperti mengejek. “Aku Silvi. Guru sekaligus pengasuh pribadi Leon. Jadi, tak ada satu pun yang boleh memarahi dia… termasuk Anda, Tuan Roberto. Karena anak ini sepenuhnya ada dalam tanggung jawab saya!" Roberto terdiam, terpana. Aura Silvi begitu kuat. Tegas, tapi sensual. “Leon, ayo kita sarapan di luar. Tante nggak mau kamu muntah gara-gara lihat wanita murahan yang mau ditiduri sebelum dinikahi itu,” ucap Silvi dingin. Leon langsung menyeringai lebar, berdiri mengikuti. “Setuju. Gue emang muak makan satu meja sama cewek murahan.” Emely menggertakkan gigi, nyaris menampar Leon, tapi Silvi sudah lebih dulu menyeret Leon keluar rumah. Di meja makan, Emely merajuk pada Roberto. “Sayang, kenapa kamu diem aja?! Aku dihina sama anakmu dan pengasuhnya! Pecat dia, Honey. Aku gak suka wanita itu!" Roberto menghardik. “Diam! Jangan berani mengaturku!” Ia lalu pergi, meninggalkan Emely sendirian. Di perjalanan menuju sekolah, Leon curi-curi pandang pada Silvi yang mengemudi dengan tenang. Tanpa menoleh, Silvi berucap, “Jangan tatap aku begitu. Aku nggak bertanggung jawab kalau kamu nanti jatuh cinta.” Leon salah tingkah. “Ish, ge’er amat. Mana mau gue sama tante-tante. Umur kita aja jauh.” Silvi tersenyum samar. “Umur bukan sebuah patokan. Tapi kalau itu yang kamu pikirkan, bagus. Jangan sampai jatuh cinta padaku, Leon. Karena kalau kamu berani, kamu pasti akan sakit hati. Fokus saja belajar. Kalau kamu bisa lulus, aku akan tepati janji. Kamu boleh minta apa saja… lalu kita pura-pura nggak pernah saling kenal lagi.” Leon terkesiap. Kata-kata Silvi menancap dalam. Pria itu memilih diam, namun di balik kaca mobil yang tertimpa sinar matahari pagi, bibirnya perlahan melengkung nakal. 'Oh ya? Baiklah... kita lihat, siapa yang bakal jatuh cinta? Gue pastikan lo yang akan tergila-gila sampai gak mau berpisah.' *** Bersambung …Keesokan hari.Roberto sedang duduk membaca koran pagi, sementara Emily, wanita bar-bar yang kini lebih lembut, keibuan dan sebentar lagi akan menjadi istrinya itu sedang menata bunga. Cheryl, adik tiri Leon yang ceria, bermain boneka Barbie di ruang keluarga.Suasana rumah hangat, damai… kontras dengan dulu, ketika Leon selalu menjaga jarak dan tidak mau terlibat dengan siapa pun di keluarganya, termasuk pada ayahnya sendiri.Hari ini berbeda.Hari ini, Leon mengetuk pintu dan masuk sambil menggandeng Silvi. Wajahnya tidak sedingin dulu. Ia tampak… bahagia. Yah, meskipun senyum itu terkesan dipaksakan ketika melihat kebersamaan Roberto dengan calon ibu sambungnya itu.Roberto tersenyum. “Leon. Silvi. Akhirnya kalian datang."Leon menarik napas panjang. Silvi menggenggam tangannya, memberikan isyarat agar Leon bersikap ramah. "Ya, kan kau yang suruh. Jika tidak, mungkin kita masih liburan bulan madu."Silvi menyenggol lengannya. "Leon...""Ya, ya, Sorry. Heum, baiklah... Pah, dan kau
Pagi hari berjalan kacau balau tapi juga romantis setelah insiden mie instan es krim vanilla yang membuat Leon hampir menyerah pada dunia kuliner.Setelah mandi, Leon kembali ke kamar, rambutnya masih basah, wajahnya segar… tapi matanya sedikit trauma ketika melihat piring bekas mie instan di meja.Silvi menatapnya sambil tersenyum bersalah.“Kamu masih mual?”Leon menjauh satu langkah dari piring itu. “Kita… jangan bahas mie itu lagi.”Silvi tergelak kecil. “Maaf, calon papa.”Leon memutar mata. “Aku lebih takut ngidam berikutnya daripada menghadapi rapat direksi.”Silvi menepuk lengannya. “Nanti aku belajar menahan diri.”Leon menatapnya penuh curiga. “Jangan janji palsu, Sayang.”Silvi mencibir, lalu meraih tangannya. Ia ingin bermanja-manja dengan suaminya, namun Leon tiba-tiba menariknya pelan dan membawanya berdiri.“Ayo jalan-jalan sebentar. Udara pagi bagus buat ibu hamil."Silvi mengangguk. Sementara Leon langsung bergerak seperti bodyguard pribadi. Ia mengambilkan sandal Sil
“Leon… turunin aku,” gumamnya, pipinya merah padam.Leon mengerutkan kening. “Kenapa? Kamu pusing? Mau muntah? Mau—”“Enggak! Aku… takut jatuh,” protesnya lirih. Leon langsung menghentikan putaran seakan mendapat teguran dari dokter kandungan. “Oke. Maaf! Langsung mode hati-hati.”Ia meletakkan Silvi perlahan di tepian bathtub, seperti menurunkan barang pecah belah paling mahal di seluruh dunia. Bahkan, cara Leon melepaskan tangannya pun pelan sekali, seakan Silvi bisa meledak kalau disentuh terlalu keras.Silvi menatapnya, geli sekaligus terharu."Sayang… aku itu manusia, bukan telur burung unta.”Leon mendesah panjang, meraih wajah Silvi dengan kedua tangannya. “Kamu itu istriku. Dan kemungkinan besar… ibu dari anakku. Kau pikir aku bisa santai setelah lihat dua garis itu?”Silvi tersenyum kecil. “Leon, baru lima menit yang lalu kamu hampir—”“—melakukan keganasan di malam pengantin kita, heum?” Leon mengangkat alis. “Sekarang aku akan hati-hati. Aku gak akan ganas-ganas, janji de
Leon baru saja menutup pintu suite itu dengan kakinya ketika ia meletakkan Silvi di atas kasur king size yang penuh dengan kelopak mawar putih. Lampu-lampu temaram membuat mata Leon terlihat semakin dalam, gelap, dan penuh cinta. Silvi sendiri tampak bersemu merah, napasnya tidak beraturan setelah ciuman panjang barusan.“Leon…” bisik Silvi, suaranya lirih, manja, dan… sedikit bergetar. Leon membungkuk, menangkup wajahnya, “Jangan gugup. Kita lakukan pelan-pelan.” Silvi menahan tawa. Ini benar-benar lucu. padahal mereka sering melakukan dengan ganas, tapi malam ini seolah menjadi malam pertama untuk mereka. Tak ingin merusak suasana yang romantis itu, Silvi mengikuti permainan Leon. Jemarinya bergerak pelan ke dada Leon, lalu ia menarik napas dalam—sangat dalam—dan—“Leon… aku…”Dia tiba-tiba menegakkan tubuh. Matanya melebar. Rasa aneh itu tiba-tiba muncul. Merusak suasana penuh gairah yang sejak tadi menggebu-gebu.Leon mendekat, khawatir. “Kenapa? Sakit? Kamu takut?”Silvi mengg
Langit Bali sore itu seperti lukisan hidup. Sapuan jingga, merah muda, dan ungu bertumpuk lembut di cakrawala. Matahari perlahan turun menuju garis laut, memantulkan cahaya keemasan yang berkilau di permukaan air, sementara ombak kecil berkejaran ke bibir pantai, menciptakan irama alam yang menenangkan.Di sisi pantai pribadi milik Wijaya Group yang dikenal sebagai salah satu lokasi paling eksklusif di Bali, resepsi pernikahan Leon dan Silvi digelar.Tidak megah berlebihan. Tidak penuh glamor mencolok. Namun justru karena kesederhanaan elegan itulah, suasana resepsi ini terasa begitu hangat… intim… dan luar biasa berkesan.Deretan kursi putih dengan kain tule tipis tertata rapi menghadap laut. Meja-meja bundar dihiasi rangkaian bunga lily dan mawar putih berpadu dengan greenery eucalyptus, memberikan aroma segar yang menenangkan. Lampu-lampu bohemian berbentuk bola rotan menggantung rendah, siap menyala ketika senja benar-benar tenggelam.Dress code para tamu: putih.Gaun santai namun
Di tengah kekacauan itu, Leon justru bergerak. Wajahnya nampak tenang, meskipun geram karena kedatangan Anya yang menggangu pernikahannya ini.Ia memeluk Silvi, mencoba menyenangkannya. Matanya menatap ke arah Anya yang berdiri di pintu utama gereja.Kemudian tatapannya beralih pada seluruh hadirin yang hadir. Ia begitu Tegas dan penuh enuh wibawa.Leon melepaskan pelukan dari Silvi hanya untuk berdiri lebih maju, tubuhnya melindungi Silvi di belakangnya. Matanya menatap lurus ke arah Anya dan barisan paparazi, sorot hitam tajam yang membuat banyak orang otomatis terdiam.Dengan suara yang rendah namun menggema ke seluruh sudut gereja, Leon berkata, “Cukup.” Para tamu membeku, paparazi ragu mengambil langkah, bahkan Anya tersentak sejenak.Leon melangkah lagi, naik satu tapak ke altar, lalu menatap seluruh ruangan. “Aku tidak peduli siapa yang mencoba menghentikan pernikahan ini,” ucap Leon. Suaranya tak bergetar, penuh keyakinan dan kekuatan. “Aku tidak peduli rumor. Tidak peduli m



![Without You [Indonesia]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)



