LOGIN"Oh, jadi bocah tengil itu ada di sini," ucapnya sambil menyeringai, menatap bangunan cukup megah di kawasan elite ibukota.
Audi A4 brilliant black itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang lebih mirip rumah pribadi. Namun di kalangan tertentu, orang-orang tahu tempat tersebut adalah basecamp milik Leonardo Mahaputra Wijaya—remaja bad boy yang populer sekaligus ditakuti di sekolahnya.
Pintu mobil terbuka. Seorang wanita cantik berpenampilan dewasa turun dengan langkah anggun namun penuh wibawa.
Siapa lagi kalau bukan Silvi, guru privat yang baru beberapa jam lalu bertemu Leon. Dan kini, ia datang dengan satu tujuan: menjemput murid nakal itu.
Beberapa remaja yang tengah nongkrong di teras basecamp sontak terdiam, pandangannya melekat pada sosok asing yang begitu memikat.
“Eh, siapa tuh? Cantik banget,” bisik salah satunya.
“Gila, body-nya kayak gitar Spanyol,” timpal yang lain dengan tatapan nakal.
Namun senyum-senyum usil mereka seketika lenyap saat wanita itu membuka mulut.
“Di mana Leon?” suara Silvi terdengar datar, tapi tajam dan mengintimidasi.
Tak ada jawaban. Justru tawa kecil dan godaan balik yang ia terima. Tapi dalam sekejap, tawa itu berubah jeritan ketika salah satu dari mereka dicengkeram kerah bajunya dan dipelintir tangannya.
“Saya tidak suka buang-buang waktu. Bocah-bocah nakal seperti kalian, bisa saya buat lumpuh dengan mudah,” bisik Silvi dingin, membuat dua lainnya segera ciut nyali.
Ketegangan kecil itu berakhir ketika Silvi melangkah masuk tanpa permisi.
Dua pengawal basecamp yang mencoba menghadang pun tak bisa mengalahkannya, tubuh mereka terhempas begitu saja ke halaman.
Sementara itu, di dalam kamar, Leon tengah berduaan dengan seorang gadis sebaya.
Senyum angkuhnya mengembang, merasa dirinya paling berkuasa di tempat itu. Sudah menjadi kebiasaan, jika sedang kesal ataupun marah, ia pasti mencari pelarian dengan hiburan.
Gadis mana yang bisa menolak pesonanya? Jangankan sekedar ciuman, harga diri pun rela mereka berikan.
Leon menyeringai saat wanita di hadapannya begitu agresif dan berniat untuk menanggalkan pakaiannya. Namun senyum itu lenyap ketika pintu kamarnya tiba-tiba didobrak keras.
Brak!
Leon sontak menoleh. Matanya membelalak ketika melihat sosok yang paling ia hindari dan menjadi sumber kekesalannya hari ini muncul di ambang pintu.
“KAU?!” teriaknya kaget sekaligus kesal.
Silvi berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di dada. Tatapannya menusuk, bibirnya menyungging senyum kecut.
“Bocah nakal. Ayo pulang!”
Leon berdiri, rahangnya mengeras. “Heh! Lo itu apaan sih? Dasar penguntit! Jangan ikut campur urusan gue!"
Namun Silvi tak bergeming. “Aku hanya menjalankan tugas. Kalau kau tidak mau ikut, aku lapor ayahmu dan bilang kalau pewaris Lucas Corporation sedang berbuat mesum!"
Leon melotot, wajahnya merah padam, bukan karena malu, melainkan karena harga dirinya diinjak. "Beraninya kau mengancamku?!" Leon semakin berang. Nafasnya memburu. Sebelum sempat melawan, Silvi lebih dulu mendekat lalu menjewer telinganya.
“Aaah, sakit, Tante! Lepasin!” teriaknya keras, tapi tubuhnya tetap terseret keluar kamar.
Di halaman, mata Leon terbelalak. Kursi-kursi terbalik, meja berantakan, dan teman-temannya meringis kesakitan di lantai. Dua pengawal yang biasa diandalkan pun sudah tak berdaya.
“Astaga… ini semua ulahmu?!” serunya tak percaya.
Silvi hanya menoleh, menyeringai tipis. Senyum itu sudah cukup sebagai jawaban.
Leon tercekat. Lima orang tumbang oleh satu wanita. Siapa sebenarnya wanita ini?
“Cepat masuk ke mobil sebelum nasibmu sama seperti mereka,” titah Silvi dingin.
Leon mendengus, tapi terpaksa menurut. Malam itu, bukannya kesenangan yang ia dapat, justru penderitaan.
‘Sialan, gue bakal protes ke Papi. Gue gak mau punya guru privat bar-bar kayak gini!’ gerutunya dalam hati, sembari mengusap telinganya yang memerah.
Silvi melajukan mobilnya dengan tenang. Jalanan lengang, hanya sesekali kendaraan lain melintas. Sesekali ia melirik ke arah Leon yang duduk di kursi penumpang dengan wajah kusut.
Dalam hati, Silvi mendengus kecil. 'Anak ini benar-benar liar. Kalau dibiarkan, bisa-bisa makin hancur. Untung aku datang tepat waktu.' Senyumnya tipis. 'Dan… kalau perlu, aku gunakan kelemahan terbesarnya: nafsu mudanya sendiri.'
“Berhenti ketawa-ketawa sendiri, Tante! Nyeremin tahu gak?!” gerutu Leon tiba-tiba, membuat Silvi semakin terkekeh kecil. Ternyata Leon sejak tadi memperhatikannya.
Pemuda itu menatapnya dengan sorot mata membara. “Lo pikir gue bakal takut sama lo? Heh! Gue ini Leonardo Mahaputra Wijaya, bos muda yang ditakuti semua orang. Jangan sok atur-atur hidup gue."
Silvi akhirnya membuka suara. Nada bicaranya tenang, tapi penuh tekanan.
“Bos? Kau cuma anak manja yang kebetulan lahir kaya. Lihat dirimu sendiri, Leon. Hanya bisa mengandalkan uang ayahmu untuk pamer dan foya-foya. Tanpa itu, kau bukan siapa-siapa.”
Leon terdiam sepersekian detik, lalu mendengus keras. “Diam lo! Gak usah sok tahu tentang gue! Lo itu cuman guru yang dibayar buat ngajarin gue belajar, bukan ngatur-ngatur hidup gue. Paham!?"
Silvi tak menjawab. Ia malah menginjak rem mendadak, menghentikan mobil secara tiba-tiba di tikungan sepi.
Leon terjerembab ke depan, kaget sekaligus makin geram dengan tingkah Silvi yang di luar dugaan itu.
“Apa-apaan sih? Gila lo ya, ngerem mendadak?!"
Namun Silvi justru mencondongkan tubuhnya ke arah Leon, lebih dekat dari sebelumnya. Wajah mereka hanya terpisah sejengkal. Suara napasnya bisa Leon rasakan, membuat tubuhnya menegang. Dalam gerakan yang tak terduga, bagian depan tubuhnya—lengkung yang tak bisa dipungkiri keindahannya—menyentuh jarak pandang Leon.
Pemuda itu seketika terdiam. Wajahnya memanas, jantungnya berdegup lebih kencang. Tatapan matanya tertuju pada belahan dada yang membuat jakunnya naik turun. Untuk kesekian kali, Silvi membuatnya terangsang.
Leon menelan salivanya kuat-kuat. Wajahnya terlihat tegang. Sementara Silvi, malah semakin menggodanya.
Bocah nakal itu sekali-kali memang harus dikasih paham supaya diam dan tidak terus memaki sepanjang jalan.
“Tahu kenapa aku ditunjuk untuk jadi gurumu?” tanya Silvi pelan, nyaris berbisik.
Leon menelan ludah, mencoba menahan tatapan, tapi matanya tetap terpaku pada wajah cantik itu. “Ke-kenapa?” tanyanya terbata.
“Karena Robert butuh seseorang yang bisa menundukkan bocah liar sepertimu. Dan aku adalah orang yang tepat," ucap Silvi dengan desah manja, telunjuknya menyentuh pipi pemuda itu. Jemari dengan kukunya yang indah bergerak dari pelipis hingga dagu, membuat Leon semakin tegang.
Senyum Silvi terulas samar melihat pemuda itu salah tingkah dan gugup. Ia lalu menegakkan tubuhnya kembali.
Leon menghembuskan nafasnya yang sejak tadi terasa sesak. Wajahnya panas, jantungnya berpacu. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menutupinya dengan dengusan kesal.
"Sial… tante gila ini benar-benar bikin gue salting. Beraninya dia mempermainkan gue kayak tadi. Sialan!"
Silvi tersenyum tipis, menyalakan mesin lagi. Mobil kembali melaju dengan mulus, meninggalkan jalanan sepi itu.
Dalam hati, ia sudah menang satu langkah.
Tenang saja, ini baru permulaan.
***
Bersambung…
Di tengah kekacauan itu, Leon justru bergerak. Wajahnya nampak tenang, meskipun geram karena kedatangan Anya yang menggangu pernikahannya ini.Ia memeluk Silvi, mencoba menyenangkannya. Matanya menatap ke arah Anya yang berdiri di pintu utama gereja.Kemudian tatapannya beralih pada seluruh hadirin yang hadir. Ia begitu Tegas dan penuh enuh wibawa.Leon melepaskan pelukan dari Silvi hanya untuk berdiri lebih maju, tubuhnya melindungi Silvi di belakangnya. Matanya menatap lurus ke arah Anya dan barisan paparazi, sorot hitam tajam yang membuat banyak orang otomatis terdiam.Dengan suara yang rendah namun menggema ke seluruh sudut gereja, Leon berkata, “Cukup.” Para tamu membeku, paparazi ragu mengambil langkah, bahkan Anya tersentak sejenak.Leon melangkah lagi, naik satu tapak ke altar, lalu menatap seluruh ruangan. “Aku tidak peduli siapa yang mencoba menghentikan pernikahan ini,” ucap Leon. Suaranya tak bergetar, penuh keyakinan dan kekuatan. “Aku tidak peduli rumor. Tidak peduli m
2 minggu kemudian.Setelah acara lamaran yang menggemparkan seisi kantor itu, Leon benar-benar membuktikan keseriusannya. Ia mempercepat acara pernikahannya dengan Silvi. Yang tadinya akan dilaksanakan bulan depan, dimajukan 3 minggu lebih awal. Semuanya Leon yang urus, ia juga memilih kota Bali untuk acara pernikahannya.Bali sore itu seakan diberkati. Langit biru tanpa cela, angin laut berembus lembut membawa aroma garam dan bunga kamboja. Di atas bukit kecil menghadap pantai, berdiri sebuah gereja batu putih yang megah, tempat pernikahan Leon dan Silvi akan dilangsungkan.Semua dipersiapkan dalam waktu singkat, gila, bahkan nekat… tapi sempurna. Leon memastikan setiap inci rangkaian acara dari gereja hingga pesta pantai dipersiapkan oleh tim terbaik yang bisa dibayar dengan uang dan kekuasaannya. Namun untuk Silvi, semua itu terasa seperti mimpi.Di sebuah ruangan bridal yang wangi dan hangat, Silvi duduk dengan tangan menggenggam pangkuan, mencoba menstabilkan napas. Di hadapanny
"Entahlah, aku butuh sendiri dulu. Hari ini ayahmu akan datang, rapat direksi akan dilaksanakan 30 menit lagi, fokuslah! Anggap saja aku tidak melihat yang tadi."Pintu ruang CEO itu akhirnya tertutup rapat setelah Silvi keluar. Leon menatap punggung kekasihnya yang menjauh, ia tahu Silvi masih marah. Silvi tidak menoleh. Bahkan tidak sedikit pun. Leon mengembuskan napas panjang, meninju meja sekali, pelan tapi penuh frustasi. “Sial…”Ia benci situasi tadi. Benci karena Silvi harus melihat sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi. Dan Leon menyesalinya, kenapa tadi ia membeku saat Anya mencoba menggodanya. --- Di Lift Lantai 30Silvi berdiri tegak, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Napasnya masih naik-turun, bukan hanya karena perkelahian tadi… tapi karena sesuatu yang lebih mengganggu. Benarkah Leon tidak tergoda? Ia membenci dirinya karena mempertanyakan hal itu. Padahal Leon bersikap jelas, tegas dan sejak dulu tidak pernah memberi celah untuk orang lain. Namun kat
Audi merah itu melesat memasuki kawasan King Residence. Silvi baru saja pulang dari rumah paman Handoyo.Leon yang sejak tadi gelisah, langsung berdiri dari kursinya. Tidak ada sapaan, hanya tatapan tajam yang langsung menahan langkah Silvi.Jam menunjukkan pukul 11 malam. Suasana rumah megah itu begitu sunyi. Leon menghampiri Silvi tanpa suara, mengambil tas dari tangannya lalu berkata pelan namun tegas, “Ke atas.”Silvi bahkan belum sempat menjawab ketika Leon sudah menggenggam pergelangan tangannya dan membawanya naik dengan langkah panjang. Tidak kasar… tapi jelas menunjukkan betapa pria itu menahan sesuatu sejak berjam-jam lalu. Di Kamar Leon. Begitu pintu tertutup— klik Leon tidak menunggu. Ia menarik pinggang Silvi, membalikkan tubuh wanita itu ke arahnya, dan sebelum Silvi sempat berkata apa pun, bibir Leon sudah menutup bibirnya.Ciuman itu bukan sapa, bukan salam. Ciuman itu adalah pelepasan rindu yang ditekan seharian. Silvi terkejut sejenak, tetapi tubuhnya langsung
Keesokan Pagi.King Residence terasa berbeda. Ada aura kebahagiaan yang tidak diucapkan tapi terasa. Emily yang sedang menyiapkan sarapan hanya melirik cincin di jari Silvi, lalu tersenyum panjang.“Wah, sepertinya semalam ada yang sudah dilamar nih! Selamat ya,” ucapnya canggung. Emily sebenarnya tidak suka dengan Silvi , namun dia tidak memungkiri jika Silvi lah yang membuat hubungan antara Leon dengan Cheryl perlahan dekat. Silvi mengangguk dan memaksakan senyum, ia harus mencoba memperbaiki hubungan dengan calon ibu mertuanya itu “Terima kasih, Emily.”Leon turun dari tangga dengan kemeja hitam yang membuatnya tampak semakin tegas. Ia berjalan santai ke arah meja makan, memegang pinggang Silvi dengan natural, seolah itu sudah menjadi kebiasaan.Roberto yang sedang membaca laporan dari tab miliknya seketika menurunkan kacamatanya. “Jadi… apa ada kabar baik pagi ini?"Leon tidak menjawab, hanya menarikkan kursi untuk Silvi. Gestur sederhana tapi elegan yang membuat Emily sedikit
Keesokan pagi."Kau mau menemaniku hari ini?" tanya Leon saat Silvi merapihkan dasinya. "Ya, tentu saja. Aku sudah mengajukan resign di SMA Starlite," ujarnya.Leon terperangah. "Serius?" Silvi mengangguk. "Misi selesai, Sayang. Aku sudah berhasil menangkap sindikat disana. Clara dan anak-anak lain yang terlibat juga mau buka suara, Paman memastikan jika Evan, Edward dan Elena mendapatkan hukuman yang berat. So, tidak ada lagi alasan aku disana. Aku lebih suka jadi konsultan pribadimu," ucapnya dengan senyuman yang menggoda.Leon tersenyum jumawa. "Kau suka menjadi konsultan pribadi, atau... kau takut aku digoda wanita lain, huem?"Silvi memukul dada Leon, gemas. "Ish, apaan sih. Sok kegantengan banget kamu!""Memang aku ganteng, buktinya kamu suka!"Silvi mengulum senyum, tersipu namun bahagia. Dan ia semakin mantap untuk serius dengan Leon, tak peduli resikonya nanti.---Siang itu, Lucas Corporation terlihat sibuk seperti biasa. Para karyawan berlalu-lalang dengan cepat, menjaga







