LOGINSetibanya, Leon langsung berjalan dengan wajah tak bersahabat masuk ke dalam rumahnya.
Langkahnya terdengar kasar dan menghentak. Para pelayan tahu jika sang tuan muda sedang dirundung emosi.
Madam Jen mendekat, dengan hati-hati berkata, "Tuan Muda ... makan malam sudah siap. Sebentar lagi Tuan Robert akan tiba, sebaiknya Tuan Muda membersihkan diri dan bersiap-siap."
Leon tak menggubris perkataan kepala pelayan itu. Ia berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarnya.
Brak!
Pintu kamar ditutup dengan keras, menimbulkan gema dan suara yang mengejutkan di rumah megah yang sepi senyap itu.
Leon melemparkan tasnya ke sembarang arah. Ia lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk dengan bed cover abu-abu.
"Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia berani sekali?” Leon menggerutu. “Arghh, sial! Gara-gara dia, si Junior jadi bangun terus!"
---
Keesokan paginya.
Byuuur!
Seember air dingin mengguyur tubuh Leon yang sedang tertidur pulas di atas kasur empuknya.
Lelaki berusia dua puluh tahun itu sontak tersentak bangun, napasnya memburu. Dengan wajah kuyup dan kusut, ia langsung terduduk, mengusap wajahnya dengan ekspresi terkejut bercampur amarah.
“BRENGSEK! Siapa yang beran—”
Ucapan Leon terhenti begitu saja saat pandangannya menangkap sosok wanita yang berdiri di ujung ranjangnya.
Wanita itu mengenakan tank top ketat dipadukan dengan celana pendek hitam yang menonjolkan kaki jenjangnya. Rambut kecokelatannya diikat kuda, dan wajah cantiknya dihiasi senyum tipis, namun sorot matanya dingin dan tajam.
“Tante?!” Leon melongo. “Ngapain lo di kamar gue?!”
Semalam, saking kesalnya, Leon langsung masuk begitu saja setelah Silvi mengantarnya pulang. Ia tak sadar, Silvi pun ikut masuk ke rumah, bahkan memarkir mobilnya di garasi keluarga.
Atas permintaan khusus Tuan Roberto—ayah Leon—Silvi diminta untuk tinggal di rumahnya agar bisa mengawasi anak bandel itu setiap waktu.
“Beraninya lo nyiram gue?!” pekik Leon kesal. “Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Silvi melipat kedua tangannya di dada, tubuhnya tetap tegak dengan tatapan intimidatif. “Kenapa harus takut sama bocah tengil kayak kamu? Aku tahu kok siapa kamu, Leon Mahaputra Wijaya. Anak tunggal pewaris Lucas Cooporation Group. Anak emas keluarga besar, tapi sayangnya bodoh, otaknya kosong sampai dua kali tidak lulus."
“SIALAN!” bentak Leon, wajahnya merah padam. “Gak perlu lo perjelas di depan muka gue juga kali!"
Silvi mengedikkan bahu, lalu menyeringai tipis. “Kamu yang tanya duluan. Jadi ya aku jawab. Dan mulai sekarang…” ia berhenti sejenak, suaranya semakin rendah tapi sarat ancaman, “…aku bukan cuma gurumu, tapi juga pengasuhmu. Papimu yang minta. Jadi, jangan coba macam-macam. Aku bakal awasi gerak-gerikmu dua puluh empat jam.”
Leon melongo, tidak percaya dengan telinganya. Dirinya, yang sudah SMA dan disegani banyak orang di sekolah, tiba-tiba diperlakukan seperti bocah SD.
“Pengasuh?! Lo pikir gue anak kecil?!” Leon berusaha menahan malu. “Lo gak bisa seenaknya gini! Gue bakal protes ke Papi!”
Silvi terkekeh rendah, suaranya seperti cambuk di telinga Leon. “Ya, kamu anak kecil, Sayang. Aku akan menjadi pengasuh bayi besar," ucapnya menantang. "Dan kalau mau lapor, silakan saja. Tapi percuma. Semua ini ide Papimu sendiri.”
Leon mengepalkan tinjunya. Amarah dan rasa malu bercampur jadi satu. Ia masih belum bisa melupakan kejadian semalam ketika Silvi menyeretnya keluar basecamp di depan teman-temannya.
Gengnya, Clara, bahkan pengawalnya menyaksikan jelas bagaimana dia kalah telak oleh satu wanita.
“Gue gak mau sekolah. Males!” Leon mencoba memberontak. “Lagipula gara-gara kelakuan bar-bar lo di basecamp, semua orang pasti udah ngegosipin gue habis-habisan! Mau ditaruh dimana muka gue, hah?!"
Silvi tiba-tiba melangkah mendekat, membungkuk hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Senyum dingin tersungging di bibir merahnya.
“Leon, denger ya. Aku gak peduli temanmu mau bilang apa. Yang penting, mulai sekarang, kamu ikuti aturanku. Kalau berani macam-macam…” ia merenggangkan otot-otot jarinya hingga terdengar bunyi “krek-krek”.
"Kamu akan tahu sendiri akibatnya.”
Leon tercekat. Ia ingat betul wajah pengawal dan teman-teman gengnya semalam yang sudah babak belur gara-gara wanita ini. Dengan kesal, ia bangkit dari kasur, meraih handuk, lalu masuk ke kamar mandi tanpa menoleh.
“Dasar tante gila!” pekiknya sebelum menutup pintu.
Silvi menahan tawa, menggeleng pelan. “Sok jagoan, padahal kau ini kucing kecil yang manis.”
Tak lama setelah itu, Leon duduk di meja makan dengan wajah cemberut. Di depannya, Tuan Roberto menikmati sarapan dengan tenang, senyum puas menghiasi wajahnya.
Sementara di sisi lain, Silvi duduk anggun dengan pakaian baru: celana panjang ketat hitam, jaket kulit yang menonjolkan tubuh semampainya. Lipstik merah menyala menghiasi bibirnya, membuatnya terlihat menantang.
“Bagaimana hari pertamamu, Nona Silvi?” tanya Roberto ramah. “Apa anak nakal ini membuat masalah?"
Leon melotot, jelas merasa tersinggung.
Silvi melirik ke arahnya, senyum tipis mengembang. “Cukup mengesankan, Tuan. Jangan khawatir, saya pastikan tahun ini Leon lulus. Tidak hanya lulus, tapi dengan nilai memuaskan.”
Leon hampir menyemburkan jus jeruk yang sedang diminumnya. “Ngaco!” gerutunya pelan, tapi cukup untuk didengar Silvi.
Senyum wanita itu makin melebar, seakan sengaja memperkeruh suasana. Roberto tertawa puas, semakin tertarik dengan wanita yang penuh percaya diri itu.
Namun bagi Leon, semua itu terasa seperti penghinaan. Ia bangkit dari kursinya, menendang pelan kakinya ke lantai, lalu berjalan pergi tanpa pamit.
Saat ia hendak meraih helm motornya, Silvi sudah berdiri di depan pintu, memainkan kunci mobilnya dengan gaya angkuh. “Ayo, aku antar.”
“Gak usah! Gue naik motor sendiri,” sergah Leon dingin.
"Motor? Oh, si hitam itu?" tunjuk Silvi pada Ducati Monster milik Leon yang rodanya telah ia gembok dan diikat di tiang kanopi carport.
Leon menganga, matanya terbeliak melihat motor kesayangannya itu. "Astaga! Apa yang lo lakuin, hah?!" pekiknya.
Silvi tersenyum tipis. "Cuman mengikatnya biar gak kabur-kaburan. Yuk, berangkat! Kamu gak mau sampai terlambat, kan?"
Belum sempat Leon protes dan memberi perlawanan, Silvi lebih dulu menarik ransel Leon hingga tubuh pemuda itu hampir terhuyung.
“Masuk mobil sekarang. Atau aku akan melakukan hal yang lebih nekat pada motor kesayanganmu itu!"
“Gila! Dasar tante gila!” Leon menggerutu, tapi terpaksa menurut. Ia masuk ke dalam mobil milik Silvi, membanting pintu sekeras mungkin.
"Lo benar-benar keterlaluan, Tante!"
Silvi tak menanggapi, ia langsung tancap gas, meninggalkan rumah megah itu.
Roberto dan asisten pribadinya memperhatikan mereka dan tersenyum miring. "Dia lawan yang pas untuk Leon."
Sepanjang perjalanan, Leon duduk dengan wajah masam, tangannya terlipat di dada. Sementara Silvi menyetir santai, sesekali menekan tombol musik di dashboard.
“Kamu mau denger lagu apa?” tanyanya, menoleh sekilas.
Leon tetap diam.
Silvi tertawa kecil. “Lucu banget kalau marah. Jadi kayak bocah. Manis banget tahu gak?” godanya.
“Dasar wanita gila,” gumam Leon nyaris tak terdengar.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Leon langsung turun bahkan sebelum Silvi sempat memarkir dengan benar.
Namun Silvi tidak membiarkannya begitu saja. Ia menurunkan kaca mobil, lalu berteriak kencang, “Bye, Leon! Jangan nakal ya! Tante jemput nanti siang! Muach!”
Semua mata di gerbang langsung menoleh. Beberapa siswa tertawa, sebagian lagi bergosip. Leon terdiam, wajahnya memerah.
“Sialan!” pekiknya, lalu buru-buru berlari masuk ke sekolah.
Di kelas, suasana pun memanas. Alex menahan tawa, melirik Nando. “Eh, gue liat tadi… beneran lo diantar Tante yang kemarin itu? Ciyee, mainannya sekarang tante-tante nih!"
“Brengsek!” Leon membanting meja. “Lo semua kalau berani ledek gue, siap-siap gue keluarin dari The Devils!"
Semua langsung bungkam. Tapi Leon tahu, gosip itu pasti menyebar makin luas.
Sambil duduk di bangku belakang, ia menggertakkan gigi.
‘Sialan tante gila itu. Gue gak bisa terus-terusan dipermalukan kayak gini. Gue harus cari cara buat balas!’
Tatapannya meredup, dipenuhi amarah.
Dan saat itulah sebuah ide gila mulai terlintas di kepalanya.
***
Bersambung ...
Di tengah kekacauan itu, Leon justru bergerak. Wajahnya nampak tenang, meskipun geram karena kedatangan Anya yang menggangu pernikahannya ini.Ia memeluk Silvi, mencoba menyenangkannya. Matanya menatap ke arah Anya yang berdiri di pintu utama gereja.Kemudian tatapannya beralih pada seluruh hadirin yang hadir. Ia begitu Tegas dan penuh enuh wibawa.Leon melepaskan pelukan dari Silvi hanya untuk berdiri lebih maju, tubuhnya melindungi Silvi di belakangnya. Matanya menatap lurus ke arah Anya dan barisan paparazi, sorot hitam tajam yang membuat banyak orang otomatis terdiam.Dengan suara yang rendah namun menggema ke seluruh sudut gereja, Leon berkata, “Cukup.” Para tamu membeku, paparazi ragu mengambil langkah, bahkan Anya tersentak sejenak.Leon melangkah lagi, naik satu tapak ke altar, lalu menatap seluruh ruangan. “Aku tidak peduli siapa yang mencoba menghentikan pernikahan ini,” ucap Leon. Suaranya tak bergetar, penuh keyakinan dan kekuatan. “Aku tidak peduli rumor. Tidak peduli m
2 minggu kemudian.Setelah acara lamaran yang menggemparkan seisi kantor itu, Leon benar-benar membuktikan keseriusannya. Ia mempercepat acara pernikahannya dengan Silvi. Yang tadinya akan dilaksanakan bulan depan, dimajukan 3 minggu lebih awal. Semuanya Leon yang urus, ia juga memilih kota Bali untuk acara pernikahannya.Bali sore itu seakan diberkati. Langit biru tanpa cela, angin laut berembus lembut membawa aroma garam dan bunga kamboja. Di atas bukit kecil menghadap pantai, berdiri sebuah gereja batu putih yang megah, tempat pernikahan Leon dan Silvi akan dilangsungkan.Semua dipersiapkan dalam waktu singkat, gila, bahkan nekat… tapi sempurna. Leon memastikan setiap inci rangkaian acara dari gereja hingga pesta pantai dipersiapkan oleh tim terbaik yang bisa dibayar dengan uang dan kekuasaannya. Namun untuk Silvi, semua itu terasa seperti mimpi.Di sebuah ruangan bridal yang wangi dan hangat, Silvi duduk dengan tangan menggenggam pangkuan, mencoba menstabilkan napas. Di hadapanny
"Entahlah, aku butuh sendiri dulu. Hari ini ayahmu akan datang, rapat direksi akan dilaksanakan 30 menit lagi, fokuslah! Anggap saja aku tidak melihat yang tadi."Pintu ruang CEO itu akhirnya tertutup rapat setelah Silvi keluar. Leon menatap punggung kekasihnya yang menjauh, ia tahu Silvi masih marah. Silvi tidak menoleh. Bahkan tidak sedikit pun. Leon mengembuskan napas panjang, meninju meja sekali, pelan tapi penuh frustasi. “Sial…”Ia benci situasi tadi. Benci karena Silvi harus melihat sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi. Dan Leon menyesalinya, kenapa tadi ia membeku saat Anya mencoba menggodanya. --- Di Lift Lantai 30Silvi berdiri tegak, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Napasnya masih naik-turun, bukan hanya karena perkelahian tadi… tapi karena sesuatu yang lebih mengganggu. Benarkah Leon tidak tergoda? Ia membenci dirinya karena mempertanyakan hal itu. Padahal Leon bersikap jelas, tegas dan sejak dulu tidak pernah memberi celah untuk orang lain. Namun kat
Audi merah itu melesat memasuki kawasan King Residence. Silvi baru saja pulang dari rumah paman Handoyo.Leon yang sejak tadi gelisah, langsung berdiri dari kursinya. Tidak ada sapaan, hanya tatapan tajam yang langsung menahan langkah Silvi.Jam menunjukkan pukul 11 malam. Suasana rumah megah itu begitu sunyi. Leon menghampiri Silvi tanpa suara, mengambil tas dari tangannya lalu berkata pelan namun tegas, “Ke atas.”Silvi bahkan belum sempat menjawab ketika Leon sudah menggenggam pergelangan tangannya dan membawanya naik dengan langkah panjang. Tidak kasar… tapi jelas menunjukkan betapa pria itu menahan sesuatu sejak berjam-jam lalu. Di Kamar Leon. Begitu pintu tertutup— klik Leon tidak menunggu. Ia menarik pinggang Silvi, membalikkan tubuh wanita itu ke arahnya, dan sebelum Silvi sempat berkata apa pun, bibir Leon sudah menutup bibirnya.Ciuman itu bukan sapa, bukan salam. Ciuman itu adalah pelepasan rindu yang ditekan seharian. Silvi terkejut sejenak, tetapi tubuhnya langsung
Keesokan Pagi.King Residence terasa berbeda. Ada aura kebahagiaan yang tidak diucapkan tapi terasa. Emily yang sedang menyiapkan sarapan hanya melirik cincin di jari Silvi, lalu tersenyum panjang.“Wah, sepertinya semalam ada yang sudah dilamar nih! Selamat ya,” ucapnya canggung. Emily sebenarnya tidak suka dengan Silvi , namun dia tidak memungkiri jika Silvi lah yang membuat hubungan antara Leon dengan Cheryl perlahan dekat. Silvi mengangguk dan memaksakan senyum, ia harus mencoba memperbaiki hubungan dengan calon ibu mertuanya itu “Terima kasih, Emily.”Leon turun dari tangga dengan kemeja hitam yang membuatnya tampak semakin tegas. Ia berjalan santai ke arah meja makan, memegang pinggang Silvi dengan natural, seolah itu sudah menjadi kebiasaan.Roberto yang sedang membaca laporan dari tab miliknya seketika menurunkan kacamatanya. “Jadi… apa ada kabar baik pagi ini?"Leon tidak menjawab, hanya menarikkan kursi untuk Silvi. Gestur sederhana tapi elegan yang membuat Emily sedikit
Keesokan pagi."Kau mau menemaniku hari ini?" tanya Leon saat Silvi merapihkan dasinya. "Ya, tentu saja. Aku sudah mengajukan resign di SMA Starlite," ujarnya.Leon terperangah. "Serius?" Silvi mengangguk. "Misi selesai, Sayang. Aku sudah berhasil menangkap sindikat disana. Clara dan anak-anak lain yang terlibat juga mau buka suara, Paman memastikan jika Evan, Edward dan Elena mendapatkan hukuman yang berat. So, tidak ada lagi alasan aku disana. Aku lebih suka jadi konsultan pribadimu," ucapnya dengan senyuman yang menggoda.Leon tersenyum jumawa. "Kau suka menjadi konsultan pribadi, atau... kau takut aku digoda wanita lain, huem?"Silvi memukul dada Leon, gemas. "Ish, apaan sih. Sok kegantengan banget kamu!""Memang aku ganteng, buktinya kamu suka!"Silvi mengulum senyum, tersipu namun bahagia. Dan ia semakin mantap untuk serius dengan Leon, tak peduli resikonya nanti.---Siang itu, Lucas Corporation terlihat sibuk seperti biasa. Para karyawan berlalu-lalang dengan cepat, menjaga