Mag-log inLeon menyandarkan tubuhnya di kursi sambil memainkan bolpoin dengan santai.
“Cuman sepuluh soal? Halah, gampang banget. Gue bahkan bisa kerjain sambil merem,” ucapnya penuh kesombongan.
Silvi duduk anggun di kursi seberang, kaki jenjangnya tetap bersilang, menampakan belahan yang membuat Leon beberapa kali menelan ludah.
“Baiklah, Leon. Silakan dimulai,” ucap Silvi pelan, suaranya seolah berbisik namun tegas.
Leon meraih lembar soal dan langsung menunduk. Matanya menelusuri baris demi baris, lalu alisnya terangkat sedikit. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak semudah yang ia bayangkan. Ada soal Matematika dengan model logaritma, Fisika tentang gaya gesek, bahkan satu soal tentang sejarah dunia yang jelas tak pernah ia perhatikan di sekolah.
Memang hanya 10 soal, namun isinya benar-benar padat. Jika tidak membaca dengan jeli, tentu saja tidak akan bisa menjawab pertanyaan jebakan itu.
Namun, bukannya menyerah, Leon malah menampilkan senyum miring. “Ck, ini sih gampang. Lagian semuanya pilihan ganda, tentu saja hoki bakal bawa gue pada kenikmatan,” gumamnya penuh percaya diri, senyum miring terus tersungging di wajahnya.
Tangannya mulai menari di atas kertas. Setiap nomor ia isi dengan asal, tanpa berpikir lama. Bahkan yang lebih konyol, Silvi melihat sendiri jika pemuda itu menghitung kancing untuk bisa menjawab.
Lima belas menit berlalu. Leon meletakkan bolpoinnya dengan gaya sok keren, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. “Tuh kan, kelar juga. Sekarang giliran lo yang buktiin omongan lo, Tante cantik,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya genit.
Silvi menerima kertas itu dengan tenang. Ia menelaah jawaban demi jawaban, bibirnya melengkung tipis.
“Jadi, gimana? Betul semua, 'kan?” tanya Leon, tertawa penuh percaya diri. “Udah gak usah terkesima gitu. Sekarang langsung aja, mau di mana? Di kamar gue atau di hotel? Dua-duanya juga oke," ucapnya dengan nada kurang ajar.
Silvi menarik sebelah sudut bibirnya ke atas lalu menggeleng pelan. “Sayang sekali, Leon. Dari sepuluh soal yang kuberikan, tidak ada satu pun jawabanmu yang benar.”
BRUK!
Leon hampir jatuh dari kursinya. Wajahnya memerah, matanya melotot tak percaya. “Apa?! Lo pasti bohong! Mana mungkin salah semua?!”
Silvi hanya meletakkan kertas itu di meja, menunjukkan hasil koreksi dengan tanda silang besar di setiap nomor. “Lihatlah sendiri.”
Pemuda itu menatap lembar jawabannya, dan benar saja—tak ada satu pun jawaban yang sesuai. Semua salah total.
“Astaga… ini nggak mungkin!” Leon menjambak rambutnya sendiri, tubuhnya bergetar menahan emosi. “Lo pasti yang salah. Ini cuman akal-akalan Tante doang, 'kan? Jawabannya pasti betul semua itu!"
Silvi berdiri anggun, lalu menunduk sedikit mendekati wajah Leon. Tatapannya tajam, senyumnya menggoda namun menusuk.
“Kau terlalu meremehkan, Leon. Kau pikir hidup ini bisa dimenangkan dengan hitung kancing dan percaya diri yang kosong? Kau salah besar. Pantas saja kau sampai tak lulus dua kali. Ternyata kau benar-benar bodoh. Memalukan!"
“Aarghh!”
Leon yang kesal sekaligus malu, menendang kursinya hingga terguling. Tanpa basa-basi, Ia meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja, lalu berjalan cepat ke arah pintu.
“Gue nggak butuh guru sok bijak kayak lo! Dasar ani-ani murahan!"
Suara hentakan pintu bergema ketika ia keluar. Silvi hanya berdiri mematung sejenak, lalu tertawa kecil.
Pemuda itu meraih helm, lalu menyalakan motor sport hitam miliknya. Suara knalpot meraung keras, menandai betapa emosinya ia saat itu.
Brumm!
Leon melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan halaman megah rumah ayahnya.
Masih di dalam ruangan khusus belajar di lantai dua itu, Silvi berjalan pelan menuju jendela. Jemarinya menyibakkan tirai, matanya mengikuti bayangan Leon yang kian menjauh.
“Ya ampun, bocah tengil itu, benar-benar mirip denganmu," lirih Silvi sambil tersenyum namun sudut matanya berair.
Dengan langkah anggun, Silvi melangkah keluar dari rumah megah keluarga Wijaya. Suaranya hentakan high heels-nya menggema di rumah besar yang lebih dominan diisi oleh para pelayan.
Madam Jen—janda anak dua yang tak lain adalah kepala pelayan di rumah itu, menghampiri Silvi tergopoh-gopoh.
"Nona, kami minta maaf. Tuan muda Leon meninggalkan jam pelajaran pertama bersama anda. Saya harap anda tidak tersinggung."
"No problem. Aku bisa atasi ini. Jangan merasa tak enak hati," ucapnya sambil tersenyum.
Dengan langkah anggun, Silvi menuruni anak tangga menuju mobil Audi hitam mengilap yang terparkir di halaman. Kendaraan mewah itu tampak begitu kontras dengan statusnya sebagai guru privat.
Ia membuka pintu, masuk ke dalam, lalu menutupnya rapat. Begitu berada di balik kemudi, wajah lembutnya berubah menjadi dingin.
Tangannya meraih sebuah perangkat kecil dari tas kulit di samping kursi—sebuah tablet dengan sistem pelacak. Layar menyala, memperlihatkan titik merah yang bergerak cepat di peta digital. Itu adalah Leon.
Wanita itu sudah tahu jika Leon akan langsung pergi, emosi pemuda itu labil, meledak akibat tak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Oleh karenanya, ia telah menyusun rencana.
Saat Leon serius mengerjakan soal, diam-diam ia menaruh alat pelacak di jaket kulit pemuda itu.
Silvi menyandarkan punggung ke kursi, menghela napas panjang, lalu tersenyum miring.
“Mau sejauh apa pun kau kabur, aku akan selalu menemukanmu, anak nakal.”
Ia meraih kacamata hitam dari dashboard, memasangnya perlahan. Bibir merahnya melengkung tipis, penuh tekad.
“Aku akan merubah tabiat buruk anak itu. Apa pun caranya.”
Audi hitam itu meraung pelan ketika Silvi menyalakan mesin. Dengan satu tarikan gas, mobil meluncur keluar dari gerbang rumah Wijaya.
Di tempat lain.
Roberto duduk dengan kaki naik ke atas di kursi kebesaran yang mencerminkan statusnya sebagai pemilik perusahaan properti ternama milik keluarga besar Wijaya—Lucas Corporation.
Di hadapannya, Jerry, asisten pribadinya yang setia, berdiri dengan postur tegas, menunggu instruksi lebih lanjut.
"Nona Silvi sudah mulai bekerja hari ini, Tuan. Dia pastikan jika Tuan Muda tidak bisa macam-macam di tangannya," ujar Jerry.
“Bagus, pantau terus mereka!” ucap Roberto tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya. “Aku harap Silvi bisa merubah sikap buruk anak nakal itu."
Jerry mengangguk dengan penuh hormat. “Baik, Tuan. Saya akan pastikan Nona Silvi mengajarkan yang terbaik untuk Tuan Muda Leon. Meskipun penampilannya… ya, sedikit nyeleneh dan mencolok, tapi kecerdasannya tidak perlu diragukan lagi."
Roberto mendengus ringan, mengingat pertemuannya dengan Silvi beberapa hari yang lalu.
Wanita itu, dengan penampilan dan gaya hidup yang sangat berbeda dari bayangan seorang guru, membuatnya ragu pada awalnya. Namun, Jerry bersikeras bahwa Silvi adalah pilihan terbaik untuk menghadapi Leon.
Roberto terdiam sejenak, bayangan wajah Silvi yang ia temui di club malam beberapa hari yang lalu hingga sebuah kesepakatan pun dibuat. Ia berani membayar sebesar 1 milyar jika wanita itu berhasil membuat Leon lulus. Dan tanpa diduga, Silvi malah menantang balik, dia berani membayar 2 kali lipat jika dirinya gagal.
Aneh tapi nyata. Hanya seorang guru privat, tapi berani menentangnya dengan membayar sejumlah uang yang sangat fantastis.
Roberto terkekeh pelan membayangkan pertemuan pertama mereka waktu itu. Pertemuan yang cukup mengesankan dengan wanita yang begitu angkuh tapi juga sangat menggoda.
"Jerry, buatkan jadwal, saya ingin bertemu dengan Nona Silvi," titahnya pada asisten pribadinya.
"Baik, Tuan."
Roberto mengusap dagunya sambil tersenyum sinis. Ada sesuatu yang membuatnya begitu penasaran pada guru privat baru putranya itu.
"Siapa kamu sebenarnya?"
***
Bersambung …
Di tengah kekacauan itu, Leon justru bergerak. Wajahnya nampak tenang, meskipun geram karena kedatangan Anya yang menggangu pernikahannya ini.Ia memeluk Silvi, mencoba menyenangkannya. Matanya menatap ke arah Anya yang berdiri di pintu utama gereja.Kemudian tatapannya beralih pada seluruh hadirin yang hadir. Ia begitu Tegas dan penuh enuh wibawa.Leon melepaskan pelukan dari Silvi hanya untuk berdiri lebih maju, tubuhnya melindungi Silvi di belakangnya. Matanya menatap lurus ke arah Anya dan barisan paparazi, sorot hitam tajam yang membuat banyak orang otomatis terdiam.Dengan suara yang rendah namun menggema ke seluruh sudut gereja, Leon berkata, “Cukup.” Para tamu membeku, paparazi ragu mengambil langkah, bahkan Anya tersentak sejenak.Leon melangkah lagi, naik satu tapak ke altar, lalu menatap seluruh ruangan. “Aku tidak peduli siapa yang mencoba menghentikan pernikahan ini,” ucap Leon. Suaranya tak bergetar, penuh keyakinan dan kekuatan. “Aku tidak peduli rumor. Tidak peduli m
2 minggu kemudian.Setelah acara lamaran yang menggemparkan seisi kantor itu, Leon benar-benar membuktikan keseriusannya. Ia mempercepat acara pernikahannya dengan Silvi. Yang tadinya akan dilaksanakan bulan depan, dimajukan 3 minggu lebih awal. Semuanya Leon yang urus, ia juga memilih kota Bali untuk acara pernikahannya.Bali sore itu seakan diberkati. Langit biru tanpa cela, angin laut berembus lembut membawa aroma garam dan bunga kamboja. Di atas bukit kecil menghadap pantai, berdiri sebuah gereja batu putih yang megah, tempat pernikahan Leon dan Silvi akan dilangsungkan.Semua dipersiapkan dalam waktu singkat, gila, bahkan nekat… tapi sempurna. Leon memastikan setiap inci rangkaian acara dari gereja hingga pesta pantai dipersiapkan oleh tim terbaik yang bisa dibayar dengan uang dan kekuasaannya. Namun untuk Silvi, semua itu terasa seperti mimpi.Di sebuah ruangan bridal yang wangi dan hangat, Silvi duduk dengan tangan menggenggam pangkuan, mencoba menstabilkan napas. Di hadapanny
"Entahlah, aku butuh sendiri dulu. Hari ini ayahmu akan datang, rapat direksi akan dilaksanakan 30 menit lagi, fokuslah! Anggap saja aku tidak melihat yang tadi."Pintu ruang CEO itu akhirnya tertutup rapat setelah Silvi keluar. Leon menatap punggung kekasihnya yang menjauh, ia tahu Silvi masih marah. Silvi tidak menoleh. Bahkan tidak sedikit pun. Leon mengembuskan napas panjang, meninju meja sekali, pelan tapi penuh frustasi. “Sial…”Ia benci situasi tadi. Benci karena Silvi harus melihat sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi. Dan Leon menyesalinya, kenapa tadi ia membeku saat Anya mencoba menggodanya. --- Di Lift Lantai 30Silvi berdiri tegak, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Napasnya masih naik-turun, bukan hanya karena perkelahian tadi… tapi karena sesuatu yang lebih mengganggu. Benarkah Leon tidak tergoda? Ia membenci dirinya karena mempertanyakan hal itu. Padahal Leon bersikap jelas, tegas dan sejak dulu tidak pernah memberi celah untuk orang lain. Namun kat
Audi merah itu melesat memasuki kawasan King Residence. Silvi baru saja pulang dari rumah paman Handoyo.Leon yang sejak tadi gelisah, langsung berdiri dari kursinya. Tidak ada sapaan, hanya tatapan tajam yang langsung menahan langkah Silvi.Jam menunjukkan pukul 11 malam. Suasana rumah megah itu begitu sunyi. Leon menghampiri Silvi tanpa suara, mengambil tas dari tangannya lalu berkata pelan namun tegas, “Ke atas.”Silvi bahkan belum sempat menjawab ketika Leon sudah menggenggam pergelangan tangannya dan membawanya naik dengan langkah panjang. Tidak kasar… tapi jelas menunjukkan betapa pria itu menahan sesuatu sejak berjam-jam lalu. Di Kamar Leon. Begitu pintu tertutup— klik Leon tidak menunggu. Ia menarik pinggang Silvi, membalikkan tubuh wanita itu ke arahnya, dan sebelum Silvi sempat berkata apa pun, bibir Leon sudah menutup bibirnya.Ciuman itu bukan sapa, bukan salam. Ciuman itu adalah pelepasan rindu yang ditekan seharian. Silvi terkejut sejenak, tetapi tubuhnya langsung
Keesokan Pagi.King Residence terasa berbeda. Ada aura kebahagiaan yang tidak diucapkan tapi terasa. Emily yang sedang menyiapkan sarapan hanya melirik cincin di jari Silvi, lalu tersenyum panjang.“Wah, sepertinya semalam ada yang sudah dilamar nih! Selamat ya,” ucapnya canggung. Emily sebenarnya tidak suka dengan Silvi , namun dia tidak memungkiri jika Silvi lah yang membuat hubungan antara Leon dengan Cheryl perlahan dekat. Silvi mengangguk dan memaksakan senyum, ia harus mencoba memperbaiki hubungan dengan calon ibu mertuanya itu “Terima kasih, Emily.”Leon turun dari tangga dengan kemeja hitam yang membuatnya tampak semakin tegas. Ia berjalan santai ke arah meja makan, memegang pinggang Silvi dengan natural, seolah itu sudah menjadi kebiasaan.Roberto yang sedang membaca laporan dari tab miliknya seketika menurunkan kacamatanya. “Jadi… apa ada kabar baik pagi ini?"Leon tidak menjawab, hanya menarikkan kursi untuk Silvi. Gestur sederhana tapi elegan yang membuat Emily sedikit
Keesokan pagi."Kau mau menemaniku hari ini?" tanya Leon saat Silvi merapihkan dasinya. "Ya, tentu saja. Aku sudah mengajukan resign di SMA Starlite," ujarnya.Leon terperangah. "Serius?" Silvi mengangguk. "Misi selesai, Sayang. Aku sudah berhasil menangkap sindikat disana. Clara dan anak-anak lain yang terlibat juga mau buka suara, Paman memastikan jika Evan, Edward dan Elena mendapatkan hukuman yang berat. So, tidak ada lagi alasan aku disana. Aku lebih suka jadi konsultan pribadimu," ucapnya dengan senyuman yang menggoda.Leon tersenyum jumawa. "Kau suka menjadi konsultan pribadi, atau... kau takut aku digoda wanita lain, huem?"Silvi memukul dada Leon, gemas. "Ish, apaan sih. Sok kegantengan banget kamu!""Memang aku ganteng, buktinya kamu suka!"Silvi mengulum senyum, tersipu namun bahagia. Dan ia semakin mantap untuk serius dengan Leon, tak peduli resikonya nanti.---Siang itu, Lucas Corporation terlihat sibuk seperti biasa. Para karyawan berlalu-lalang dengan cepat, menjaga







