Sama sekali Naya tidak ingin segera sampai ke apartemen. Sejak tadi, perasaannya sangat tidak tenang. Sampai Naya tidak bisa lagi berkata-kata. Evan memakaikan helm dan jaket oversize berbahan denim pada Naya.Tidak lama saat Evan mulai menjalankan motornya, air mata kembali mengalir di pipi Naya. Membuat Naya langsung memeluk punggung Evan erat. Bagaimana bisa? Ketika ia sudah menetapkan hati untuk memilih hubungan mana yang baginya mendatangkan kebahagiaan, sosok itu justru kembali.Mungkin dua tahun bagi banyak orang terkesan biasa saja. Perjalanan yang tergolong tidak lama, tapi juga tidak sebentar. Mungkin bagi banyak orang konflik batin yang Naya rasakan selama ini tentang hubungannya bersama Lukas hanya sebatas masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah.Tidak, Naya memejamkan mata sesaat. Mengingat bagaimana Lukas pertama kali hadir dalam kehidupannya. Memang rasanya tidak begitu spesial seperti kisah kasih pasangan lain. Tapi Lukas hadir di waktu yang tepat
Sekian detik Naya dan Evan sama-sama diam, tidak tahu mau menjawab apa. Naya menggeleng. “Bu..bukan, Ma…. Ini sahabat dekat Naya di sini. Namanya Evan.” Evan langsung turun dan membuka helm setelah memastikan standar motor sudah ia turunkan. “Evan Rasuli,” sambut Evan menjulurkan tangannya. “Sarah, mamanya Naya.” Mama menyalami Evan.” “Mama dari mana?” Naya mencoba tenang.“Dari mini market. Nggak masuk ke atas?” Mata Evan melirik sekilas ke arah Naya. “Nggak usah tante, cuma mau antar Naya aja.” “Kirain tadi Lukas. Teman sekantor?” Naya menghela napas, bagaimana bisa sang Mama menyebut nama Lukas lebih dari sekali di depan Evan. Walau tentu pria itu sudah paham kondisinya, tapi tetap saja membuat tidak nyaman. “Nggak, tante. Beda kantor cuma tadi sekalian pulang bareng.” “Oh gitu…” “Saya pamit pulang dulu ya, tante. Udah malam juga.” Evan mengangguk-angguk, lalu kembali menjulurkan tangan yang langsung dibalas kembali oleh Mama. “Hati-hati di jalan, Evan.” Senyum lebar Ma
Sejujurnya, ada rasa rindu dalam hati Naya pada Lukas. Setengah hatinya berkata rindu, setengah hatinya berkata ragu. Tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan rasa ragu itu, hanya saja Naya tidak tenang, seolah dikejar sesuatu yang kapan pun siap meledak. Menghancurkan semuanya. Mau tidak mau, Naya harus siap bila nantinya harus kehilangan Lukas dan Evan. Keduanya. Mungkin saja Tuhan akan marah karena sikap labil Naya dan pengkhianatan yang ia lakukan. Ponsel Naya berbunyi. "Aku udah di bawah ya." Nada suara Lukas datar seperti biasanya. Naya yang sibuk mengaduk kopi dalam gelas segera menyelesaikannya, lari pelan turun ke lantai dasar lobby apartemen. Dari jauh, sosok Lukas dengan kaos Polonya berdiri tegak terlihat samar di balik pintu kaca. "Lukaaaas!" sapa Naya yang diikuti tangannya yang merangkul lengan Lukas. Secepatnya Lukas memberi pelukan. Ada rasa rindu dalam pelukan itu. Naya bisa merasakannya. "Akhirnya," senyum kecil Lukas dan tatapan matanya yang hangat, hal yang
Maria berlari kecil menghampiri Naya ketika mereka berpapasan di depan kantor. Dia menyadari, pria yang baru saja mengantar Naya dengan mobil hitam adalah Lukas. Mata Naya terbelalak, keningnya mengkerut, mulutnya mengucapkan nama Lukas tanpa suara yang lalu diiyakan Naya dengan anggukan.“Gue nggak salah lihat, kan? Dia di Jakarta? Sejak kapan?”Naya merapikan rok selututnya. “Tadi malam, tiba-tiba ngasih kabar kalau dia ke sini.”“Terus?”“Apanya yang terus?”“Ketemu nyokap dong?”Naya mengangkat bahu. “Iya gitu deh.”“Astaga, lo pasti pusing, kan? Secara nyokap lo udah juga ketemu sama Evan.” Maria mengamati sekitar, memastikan tidak ada siapapun di dekat mereka. “Waktunya lo milih, Lukas apa Evan? Pacar lo atau selingkuhan lo itu.”Mereka menaiki lift. “Evan juga udah jadi cowok gue, Ia. Dia janji bakal ada di samping gue. Jadi…”“Jangan bilang lo…..”Pintu lift terbuka. Tanpa melanjutkan ucapan, mereka berjalan ke meja masing-masing. Walau dari balik kubikel terlihat Maria yang m
Mama minta bertemu langsung di restoran karena ia ada janji bertemu temannya. Naya membuka buku menu, tidak ada makanan yang menarik baginya meski chinese food adalah salah satu masakan kesukaannya. Sesekali matanya mengamati gerak-gerik Lukas yang duduk tepat di hadapannya. "Mau pesan sekarang?" tanya pramusaji yang sejak tadi berdiri di samping mereka dengan kedua tangan memegang note dan pulpen.Lukas menutup buku menu. "Tungguin Mama aja dulu kali, ya?""Iya, nanti aja.""Lagi nunggu dulu, Mbak. Menunya di sini aja." Lukas kembali membuka buku menu.Sekejap pramusaji itu menghilang dari pandangan.Ingin sekali Naya langsung bertanya seputar apa yang ingin pria itu bicarakan padanya. Tetapi ia menahannya dalam hati, berharap Lukas duluan yang memulai pembicaraan."Na," panggil Lukas, nada suaranya datar. Kedua matanya fokus memandangi Naya.Kening Naya mengkerut. Degup jantungnya berdetak lebih cepat dan tanpa ia sadari, ia menggerakkan kaki kanannya berulang. "Bantu aku buat bil
Tidak pembicaraan lebih lanjut tentang apapun, tentang bagaimana Lukas belum mau membawa hubungan ke jenjang pernikahan, ataupun tentang bagaimana Mama mengucapkan hal konyol mengenai Naya dan Adrian.Nama Evan muncul di benak Naya saat mengamati sosok Lukas yang kini sibuk berdebat dengan Adrian soal pembayaran. Sepertinya sudah tepat, saat dia menetapkan hati lebih memilih Evan. Apa malam ini juga putusin Lukas, ya? Pertanyaan itu keluar begitu saja dalam hati Naya. Hidup yang terus berlanjut dan waktu yang terus berganti. Tapi Lukas tetap di lantai yang sama, tidak membawanya berpindah."Mama diantar Adrian aja, deh." Mama berjalan ke samping Adrian yang baru saja mengeluarkan kunci mobilnya dari saku.Naya menoleh ke sebelah kanan, memerhatikan reaksi Lukas. Aneh, pria itu terlihat biasa saja. Bukannya dia harus merasa gelisah? Apa dia tidak khawatir?Naya menoleh ke sebelah kiri, Adrian yang tampak kikuk. Seolah malam ini dia hadir di saat yang salah. Di tengah suasana tidak men
Mobil melaju lebih lambat. Hanya ada suara dari radio yang sejak tadi sudah tidak lagi menarik bagi Naya. Yang dia lakukan adalah menghapus air mata. Ingin sekali Naya berhenti menangis, tapi sesak di dadanya membuat ia tidak mampu melakukannya.Sesekali Lukas melirik bayangan Naya dari spion tengah, dia tidak bisa menutupi perasaan paniknya. Mobil pun menepi tepat di depan minimarket dekat gedung apartemen Naya.Lukas melepas seatbelt. "Tolong, Naya. Aku nggak mau kayak gini. Kamu sendiri yang mengiyakan. Kamu mau nunggu aku, kan? Aku juga mau lebih serius dari ini. Aku nggak mau putus. Nggak kayak gini."Naya masih sibuk mencoba hentikan tangis.Tangan Lukas menarik pelan tangan Naya, menggenggamnya erat, menaruhnya di dada. "Tolong, Na.. Nggak gini.""Please, percaya sama aku. Sama hubungan kita. Tunggu aku, tunggu sampai aku siap nikahin kamu."Anggukan pelan, Naya hanya bisa melakukan itu saat ini. Mengangguk sambil mengatur emosi dalam dirinya. Ingin sekali Naya mengucapkan kat
Naya mengambil handuk, siap keluar dari kamar mandi. Setelah lelah dengan apa yang ia hadapi hari ini, Naya memilih menghabiskan waktu lebih lama di bawah kucuran shower. Memang jauh lebih baik kalau Lukas sama sekali tidak muncul di hadapan Mama, pikirnya.“Bukannya nggak kasih restu, tapi ya mereka udah sama-sama matang. Heran, anak zaman sekarang tuh.” Suara Mama langsung terdengar saat Naya menarik pintu. Wanita yang tahun ini menginjak usia 50 sedang berbicara di ponselnya.Naya menutup kembali pintu, memutuskan untuk mendengar pembicaraan Mama dari kamar mandi. Dia yakin Mama sedang curhat tentang hubungannya bersama Lukas.“Ya, gimana? Jerry aja ya dulu kalau nggak dipaksa nikah sama orang tuaku ya terus aja sibuk jaga ruko.” Hati Naya tersentak saat nama Papa disebut. “Umur emang nggak ada yang tahu. Nanti pas dia nikah, Jerry aja udah nggak bisa kan ada di samping buat dampingin? Gimana kalau aku juga gitu? Aku cuma pengen Naya cepat berkeluarga, dapat suami yang tepat. Mau m