Posisi Evan yang terlalu dekat, bercampur suara berat pria itu sekilas membuat Naya terpesona. Tapi Naya segera menggeleng dan menutup matanya, menjauh dari tubuh Evan. Naya kembali mengatur napas. Dia menoleh ke arah kerumunan penonton di depan stage, tidak terlihat Maria sedikitpun, padahal sekarang juga dia butuh temannya itu untuk bantu atasi kondisi aneh ini. Naya pun lagi-lagi tersenyum kikuk tanpa tahu ingin membalas dengan kata-kata apa yang diucapkan oleh Evan.
Evan yang menyadari suasana canggung ini memainkan gelas di tangannya, campuran bir dan perasan lemon. “Kenapa? Merah banget mukanya.”
Naya mengelus pipinya sendiri. “Oh, iya, biasa, nggak kuat kalau minum alkohol banyak-banyak.”
Tentu jawabannya tidak masuk di akal mengingat mereka baru saja menenggak sedikit minuman dari gelas. Naya menyadari jawaban konyolnya, lalu meminum lebih banyak hingga cairan dalam gelas hanya tinggal seperempat saja. Dia memandangi wajah Evan yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik dirinya, membuat ia menghabiskan isi gelas di tangannya sampai tetes terakhir.
“Mau lagi?” tawar Evan.
Naya menggeleng, wajahnya semakin memerah. “Nggak usah. Udah kebanyakan.”
Naya berusaha tidak kehilangan kesadaran. Sudah cukup dua tahun lalu dia mabuk dan muntah-muntah di mobil Maria.
Dia beranjak dari kursi tingginya, berdiri, dan memutuskan untuk kembali ke dalam kerumunan penonton. Sialnya, segelas bir itu berhasil membuat Naya sedikit tidak stabil. Evan menarik tubuh Naya, membiarkan wanita itu bersandar pada tubuhnya.
“Beneran, nih? Segelas lho.” Evan tertawa, dia sempat berpikir apa yang dikatakan Naya hanya bohong saja dan demi hilangkan suasana awkward mereka.
“Santai. Aku ke sini sama teman kok.”
Evan membawa Naya keluar cafe, duduk di tangga menuju area parkir. Angin malam yang cukup kencang membuat Naya sedikit lebih sadar. Dia menutup kakinya yang terasa dingin dengan kedua tangan. Tahu akan menjadi korban paksaan dari Maria, dia akan memakai pakaian yang lebih nyaman dari awal, keluh Naya dalam hati. Atau dia akan benar-benar meminta Lukas untuk menemaninya.
Sehelai jaket jeans menyelimuti kaki Naya ketika dia sedang berpikir akan hal-hal yang ia sesalkan. Jaket Evan. Ingin rasanya ia mengembalikan jaket itu dan berkata, tidak usah, tetapi dinginnya angin malam membuatnya memilih cuek dan menikmati sikap hangat dari Evan.
“Thank you.” Naya berkata pelan. Dia memperhatikan kedua lengan Evan, ada beberapa tatto di sana.
Evan mengambil sekotak rokok dari kantong celananya. Menyalakan dan melakukan hisapan pertama, membuat asapnya menyentuh rongga hidung Naya, mengikuti arah angin. Sesaat Naya menikmati pemandangan di matanya dan membiarkan asap itu lewat begitu saja.
Tetapi beberapa detik kemudian dia menyadari, kalau selama ini dia selalu ngomel dengan mereka yang merokok tanpa melihat tempat dan orang sekitar.
“Mau?” Kotak rokok itu kini ada di hadapan wajahnya, Naya menyambutnya dengan gelengan kepala.
“Kamu pasti nggak kenal band di dalam sana, kan? Kejebak deh. Rumah di mana?”
Naya mengarahkan kepalanya ke sisi kanan. “Nggak jauh, di apartemen sekitar situ.”
“Sendiri di Jakarta?”
“Iya.” Sekilas Naya menyesal mengatakannya, satu data hidupnya bocor begitu saja. “Kamu?”
“Asli sini? Aku asli sini. Cuma ortuku di Bali.” Evan kembali menghisap rokoknya.
“Sama kok, aku asli Jakarta. Cuma ortuku kerjanya di Banten.”
Hening sesaat, mereka sama-sama menonton pemandangan malam dan merasakan tusukan angin malam yang membuat tubuh terasa cenat-cenut.
Evan mematikan rokoknya dan berdiri. “Aku anterin sini. Daripada nungguin temanmu. Beresnya masih lama. Belum after party. Ya masa fans berat gitu nggak ikut after party.”
“Aduh…” Naya bisa membayangkan Maria yang sudah pasti ikut dan berujung tidak sadar. Wanita berkulit sawo matang itu pasti mabuk berat dan membutuhkan orang lain untuk memastikan dia tidak mengemudi mobilnya. “Temanku nggak ada yang antar pulang.”
Sesungguhnya tawaran Evan kepadanya buat Naya merasa spesial, tertarik, sekaligus tidak ingin melepaskannya begitu saja. Naya membuka ponsel, coba menghubungi Maria di dalam cafe. Dia tidak ingin masuk lagi, tubuhnya sudah tidak sanggup menerobos kerumunan itu lagi.
“Hallo? Gue di luar nih. Lo di mana? Jangan mabok ya lo! Kalo mabok, jangan nyetir! Gue nggak bisa nyetir.” Naya menutup teleponnya.
Dia beranjak kembali ke dalam cafe dengan susah payah untuk mencari Maria. Ketemu! Wanita itu sedang asyik ngobrol dengan seorang laki-laki berwajah oriental.
Naya menghela napas. Sepertinya dia harus pulang naik taksi sendiri malam ini. Setidaknya dia masih sadar walau sedikit mabuk.
Evan yang sejak tadi terus di samping, mengikutinya mencolek bahu Naya. Dia menaikan alisnya. “Gimana?”
"Aku pulang deh. Lumayan hectic di kantor dan udah ngga ada tenaga buat lama-lama di sini."
"Aku anter ya?" Evan menawarkan ulang jasanya.
Naya menggeleng cepat.
"Ya udah kalau gitu, aku tungguin kamu sampai naii taksi ya?"
"Bebas." Naya membuka aplikasi taksi online, segera melakukan pemesanan.
Tidak lama taksi yang dia pesan tiba. Evan membantunya, membuka pintu mobil, memastikan Naya masuk ke dalamnya dengan selamat. Sebelum menutup pintu, Evan mengambil ponsel wanita itu dari genggaman, menghubungi ponselnya sendiri, lalu mengembalikannya.
"Kabarin kalau udah sampai rumah. Jangan bikin aku khawatir." Pintu ditutup.
Naya menoleh ke jendela belakang, memperhatikan Evan yang terus berdiri. Senyum kecil tanpa Naya sadari keluar dari bibirnya. Dia pun membuka layar ponsel, menatap jajaran nomor yang baru saja melakukan panggilan tidak terjawab di dalamnya.
.
.
Apa dia suka nongkrong di sana? Apa kalau aku ke sana bisa ketemu dia? Naya menepuk dahinya sendiri. Dia tidak mengerti mengapa keinginannya bertemu lagi dengan Evan begitu tinggi. Sudah sangat lama dia tidak merasakan perasaan spesial seperti ini.Padahal pertemuan saat itu biasa saja. Sama seperti Bimo yang sesekali menggodanya di kantor. Tapi bayangan tentang pria bernama Evan itu terus muncul di kepala. Apa karena aku kangen sama Lukas, ya? Apa karena aku ngerasa kosong? Aku jarang ngabisin waktu sama Lukas karena dia sibuk. Naya terus memutar otak, mencari jawaban.Sebenarnya sudah biasa jika ia harus libur bertemu pacarnya, Lukas memang selalu sibuk dan tidak suka pergi ke pusat keramaian, ia ingib membeli sesuatu.
Tidak lama, Evan membawanya kembali ke meja untuk menghabiskan minum mereka.“Kamu bawa mobil atau motor?” Naya melihat roknya, akan sangat heboh jika ia harus naik motor dengan pakaian kerjanya itu.“Tenang, aku bawa mobil.” Evan membimbing Naya ke mobilnya yang terparkir, mempersilakan masuk dengan membukakan pintu. Naya tersenyum dengan perlakuan Evan kepadanya.Setelah memberi tahu arah apartemennya, mereka pun sampai. Evan memilih mengambil parkir daripada membuat Naya turun di lobby layaknya menurunkan penumpang dari mobil taksi.“Padahal di lobby aja.” Naya mengepak barangnya, bersiap turun dari mobil. “Thank you, lagi. Hahaha perasaan aku thank you mulu ya ke kamu.”
Pagi ini Naya terbangun sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Sambil bersandar pada kepala kasur, ia memijat kepalanya. Rasanya pengar. Naya juga merasakan mual dan panas di perutnya. Dia menghela napas, menutup mata. Tidak, semalam dia tidak begitu mabuk dan masih sadar akan semuanya. Dia sempat bersih-bersih, menghapus riasan, mandi dan keramas menggunakan air hangat, serta menyeduh peppermint tea.Kalau kangen, aku kerja di Fleur. Ya, itu chat yang Evan kirim tadi malam setelah dia berhasil mengusir pria itu dari apartemennya.Naya pun mengingat bagaimana pria asing bernama Evan semalam mengantarnya pulang dan berhasil menciumnya. Tangan Naya refleks menyentuh bibirnya saat bibir Evan memainkan bibirnya. Dia menggeleng, berusaha membuang ingatan tentang kejadian semalam.
Sejak sampai kembali ke apartemen Naya merasa gelisah. Dia memandangi jam dinding dan jam pada ponselnya bergantian. Setelah berhasil meminta Lukas untuk pulang lebih cepat dengan alasan ingin istirahat, Naya berharap apa yang dikatakan oleh Evan adalah sebuah kebenaran. Benar jika itu merupakan janji untuk bertemu.Lagipula Lukas baik-baik saja dan terlihat senang ketika ia meminta pulang, tidak memakan banyak waktu di mall, tempat yang membosankan bagi Lukas. Lalu bagaimana Naya bisa yakin bahwa Evan akan muncul di lobby nanti?"Ah, udahlah… Cowok kayak dia juga punya bakat jadi cowok brengsek, goda sana, goda sini." Naya membanting ponsel, pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Dia memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menonton series sambil menikmati camilan yang ia beli saat pergi tadi.Jam
Lukas jarang memberinya ciuman. Seperti ciuman yang dilakukan oleh Evan sekarang. Bagi Naya, pria asing di hadapannya ini hadir untuk membayar semua hal yang ia harapkan ada di diri Lukas. Dia selalu ingin Lukas lebih berani dalam mengutarakan perasaan dalam hubungan spesial mereka. Termasuk ucapan manis dan menggoda yang sekarang malah Naya dapatkan dari Evan, orang yang baru dia kenal.Kedua tangan Evan menarik perlahan cardigan yang Naya, melepasnya, dan lanjut membuka atasan piyama dengan tetap melumat bibir Naya yang kini semakin ganas karena Naya sudah mampu mengikuti.Yang ada di pikiran Naya hanya menikmati apa yang dilakukan Evan kepadanya dan terpesona dengan bentuk wajah pria itu. Ketika wajah mereka semakin dekat, Naya bisa melihat lebih rinci wajah Evan yang baginya biasa tapi istimewa. Alis Evan yang tidak tipis, tapi juga tidak tebal.
Naya sudah tidak mampu menahan desahannya, batinnya berteriak ingin menolak apa yang sedang ia terima. Namun setan di dalam dirinya begitu kuat, membuat ia menikmati semuanya. Gerakan dan perlakuan Evan terhadapnya, suara desahan Evan yang mulus masuk ke telinga, juga embusan napasnya yang menggelora. Aroma tembakau bercampur mint keluar dari sana, semakin membuat Naya ketagihan."Kamu suka?" bisik Evan dengan jarinya yang masih bergerak di bawah sana.Naya mengangguk, sejujurnya ia malu."Mau yang lebih?" Evan mempercepat gerakannya.Lagi-lagi Naya mengangguk. Pipinya semakin merah merona.Kamu udah sinting, Naya!Evan kembali menciuminya, dari telinga, pipi,
Lukas mengeluarkan cake tart dengan cream berwarna putih, pada bagian sisi ditaruh stroberi segar dan hiasan keemasan. Ukurannya tidak begitu besar, cukup dihabiskan oleh dua orang saja. Di bagian permukaan tertulis 'selamat dua tahun untuk kita'.Naya membacanya berkali-kali. Semua kenangan bersama Lukas selama dua tahun ini muncul perlahan di kepala. Saat pertama dia bertemu dengan Lukas, di sebuah acara ulang tahun teman mereka. Saat pria itu untuk pertama menjabat tangannya, sambil mengucapkan 'aku Lukas, Lukas William'. Nada suaranya tenang dan lembut."Nggak kerasa ya." Naya fokus melihat Lukas yang menusukan sebuah lilin gold di atas cake."Iya… Soalnya kita sering LDR-an, sih. Walau tanpa sengaja. Maaf, aku sibuk terus." Lukas menyodorkan cake lebih dekat ke hadapan Naya.
"We never know, Na…" Maria menempelkan post-it ke monitor komputer. Beberapa hari terakhir Naya merasakan perasaan yang membuat ia sulit tidur. Lukas sudah pergi ke Surabaya semalam.Naya membaca paduan yang tertulis di post-it. "Dia nggak kasih tahu gue, Ia. Ya masa sampai lupa? Dia bakal nggak ada di sini sebulanan. Kan bisa pamit dulu.""Gue kan udah bilang sama lo, Lukas tuh makin ke sini, makin aneh. Gue masih bisa terima kalau dia nemuin lo satu minggu sekali selama ini, Na. Tapi ya harusnya dia ingat dong buat kabarin lo pas mau berangkat. Minimal lo bisa nganterin dia, kan? Gue udah bilang lho, dia tuh mencurigakan." Maria mengambil karet dan mengikat rambutnya.Sebenarnya Naya ingin sekali menelepon Lukas sekarang juga, bertanya padanya tentang bagaimana bisa pria itu pergi begitu saja tanpa memberi