Naya mengambil handuk, siap keluar dari kamar mandi. Setelah lelah dengan apa yang ia hadapi hari ini, Naya memilih menghabiskan waktu lebih lama di bawah kucuran shower. Memang jauh lebih baik kalau Lukas sama sekali tidak muncul di hadapan Mama, pikirnya.“Bukannya nggak kasih restu, tapi ya mereka udah sama-sama matang. Heran, anak zaman sekarang tuh.” Suara Mama langsung terdengar saat Naya menarik pintu. Wanita yang tahun ini menginjak usia 50 sedang berbicara di ponselnya.Naya menutup kembali pintu, memutuskan untuk mendengar pembicaraan Mama dari kamar mandi. Dia yakin Mama sedang curhat tentang hubungannya bersama Lukas.“Ya, gimana? Jerry aja ya dulu kalau nggak dipaksa nikah sama orang tuaku ya terus aja sibuk jaga ruko.” Hati Naya tersentak saat nama Papa disebut. “Umur emang nggak ada yang tahu. Nanti pas dia nikah, Jerry aja udah nggak bisa kan ada di samping buat dampingin? Gimana kalau aku juga gitu? Aku cuma pengen Naya cepat berkeluarga, dapat suami yang tepat. Mau m
Suara Perempuan Setelah memasukan semua barang, memastikan tidak ada yang terlupa, Mama meminta Naya untuk duduk di atas koper. Walau tidak terlalu lama di Jakarta, Mama banyak membeli barang. Berhasil, koper sudah tertutup sempurna. Ponsel Mama bergetar membuat aktivitas mereka terhenti. “Bentar lagi turun.” Mama mematikan panggilan dan dengan terburu-buru membereskan tas kecilnya. “Ada Roy sama keluarganya di bawah.” Naya menaikan alis. “Lho? Mau diantar mereka ke pool? Kirain mau naik taksi online.” “Sekalian pamitan.” Segera Naya mengantar Mama ke bawah sambil membawa koper berukuran sedang di tangannya. Seperti yang dikatakan, Bella sudah menunggu di lobby. Termasuk anaknya, Adrian. Naya dan Mama berpelukan, ada air mata yang tertahan di mata mereka. Tetapi seperti biasanya, baik Naya, atau juga Mama sama-sama tidak jago dalam mengungkapkan perasaan. Ada rasa sedih di hati kecil Naya, bercampur rasa rindu untuk bisa lebih lama bersama Mama. Seperti dulu. Lengkap bersama Papa
Berkali-kali Naya menghubungi Lukas, tapi tidak ada lagi jawaban. Chat pun tidak dibaca. Apa yang sebenarnya terjadi? Naya memejamkan mata, mendekap ponselnya di dada. Dua tahun adalah waktu yang cukup baginya mengenal Lukas dan selama dua tahun itu ia paham betul seberapa penting menjaga privacy bagi pria itu.Dan siapa? Mengapa perempuan yang setengah jam lalu mengangkat panggilan itu tertawa? Apa ponsel Lukas hilang? Terjatuh? Dicuri?Oh! Mungkin perempuan tadi adalah rekan kerja Lukas. Naya mengatur napasnya, berusaha berpikir lebih positif.Atau…. Naya memejamkan matanya lebih kencang, menghapus pikiran anehnya. Apa dia berselingkuh juga? Apa selama ini Lukas memiliki pacar lain di luar sana seperti Naya? Tiba-tiba sekian banyak gambaran perempuan cantik muncul di kepalanya. Membuat Naya merasa mual sendiri.Mungkin saja, apapun bisa terjadi, kan? Naya menghela napas panjang. Toh, selama ini Naya tidak pernah membayangkan kalau ia akan mengkhianati pacarnya dan having sex yang ti
"Naya," ucap Naya berulang sambil menyalami satu-persatu anggota band Blackjack.Dari keempat membernya, terlihat jelas sekali siapa vocalist di antara mereka. Drew, pria bertubuh tidak begitu tinggi dengan kulit sawo matang. Di kedua lengannya dipenuhi tato yang gambarnya campur aduk. Rambutnya panjang, melebihi panjang rambut Evan dan diwarnai kebiruan."Siap kalian?" Evan bertanya sambil merangkul pinggang Naya."Siap dong! Yang nonton juga kagak banyak." Ari, sang bassist yang sejak tadi tampak paling siap dari mereka semua memandangi isi cafe.Evan membawa Naya keluar dari backstage, masuk ke dalam kerumunan penonton, berdiri di dekat stage. Tidak lama, anggota Blackjack muncul dan disambut suara riuh penonton. Suara kencang gitar diiringi pukulan drum menggema.Semua yang ada di ruangan mengikuti lagu demi lagu yang Blackjack bawakan, meski nama grup mereka cukup dikenal bagi para penggemar musik underground."Suara Drew unik," bisik Naya pada telinga Evan sambil setengah berter
Ketika mobil taksi yang ia pesan sampai, Naya segera menggerakan kaki ke arahnya. Dia tidak punya cukup tenaga untuk menoleh pada Evan dan mengucapkan 'aku pulang duluan'. Yang Naya ingat hanya lah pergi secepatnya.Menyadari gerakan Naya yang tiba-tiba mau memasuki sebuah mobil, Evan segera menarik tangannya cukup kencang. Membuat Naya terkejut, hampir kehilangan keseimbangan. "Lho? Kamu mau ke mana?" Kedua mata Evan berusaha mengamati siapa yang ada di dalam mobil."Aku pulang duluan aja deh, Van. Tiba-tiba capek." Naya membuka pintu mobil yang kemudian ditutup oleh Evan. Kening Evan mengernyit. Lirikan matanya penuh kebingungan."Iya, aku mau pulang aja. Nggak enak badan.""Kamu sakit, Naya? Pusing? Demam?" Evan coba menebak sambil menaruh punggung tangannya di kening Naya."Nggak enak badan aja. Udah sana itu temenin temen kamu itu. Nanti kemaleman." Senyum dan nada suara yang dikeluarkan Naya sangat menggambarkan kalau apa yang baru saja ia katakan tidak disertai ketulusan."Ko
Naya memilih meja dengan dua kursi. Tidak tahu kenapa dia memilih coffee shop satu ini dan meminta driver mengganti tempat tujuan. Hanya saja saat di jalan Naya mengingatnya karena tidak begitu jauh dari apartemen. Yang jelas, dia belum mau membuang emosinya di apartemen.Segelas ice latte mendarat di hadapannya. Naya menyeruput sedikit demi sedikit. Sambil coba tenangkan diri dan melupakan sejenak soal Evan dan Aninditha, Naya memutar video di ponselnya. Beberapa kali panggilan Evan masuk, tapi dia memilih untuk menghiraukannya. Chat dari Evan pun tidak ingin ia buka."Ngapain? Sendiri?" Suara seorang pria yang Naya kenal terdengar menyapanya dari meja belakang. Naya menoleh, "Lho?"Sang pemilik suara beranjak berdiri, menarik bangku di hadapan Naya, dan duduk di atasnya."Jakarta tuh sempit banget ya." Naya tertawa kecil sambil berpikir, dari sekian banyak tempat, bisa bertemu dengan Adrian."Beneran sendirian?""Ya menurut kamu?" Naya menyeruput kopinya kembali."Ya udah, gue teme
“Katanya, kalau ada bulu mata rontok tuh berarti ada yang lagi kangen.” Sambil menyalakan mesin mobil, Adrian memperhatikan Naya yang sedang berusaha mengambil bulu mata di pipinya.Naya berdecak. “Kata siapa, sih? Bohong itu.”“Dih, kagak percaya. Si Lukas tuh kayaknya, bulu mata kerinduan Lukas sama lo.”Rindu? Gimana bisa rindu, tapi jarang banget memberi kabar? Naya berbicara dalam hati. Normalnya manusia akan berusaha selalu terkoneksi di mana pun, kapan pun, saat jauh dari orang yang mereka sayangi. Terlebih statusnya pacar. Rasanya wajib untuk selalu memberi kabar, meski salah satu di antaranya sibuk.Selepas Lukas kembali ke Surabaya, semua berjalan seperti biasa. Seolah Naya harus lagi-lagi kehilangan pria itu. Kehilangan yang tidak benar-benar hilang.Adrian membawa mobilnya ke sebuah gerai penjual durian yang terkenal di Jakarta. Aroma durian langsung menusuk rongga hidung, saat pintu mobil dibuka. Naya dan Adrian duduk di salah satu meja di tengah gerai setelah memilih seb
Kedua mata Adrian menatap serius wajah Naya, terlihat kaget, tapi berusaha tetap santai. Membuat Naya merasa nyaman. Entah mengapa ia bisa dengan lancar mengucapkan fakta itu, Naya hanya butuh tempat mengadu. Tidak selalu menutupi hubungan 'terlarang' dia bersama Evan. "Lo anaknya berani juga ya ternyata. Gue kira pendiem gitu. Kagak masalah, selama lo bisa tanggung jawab." Adrian menyodorkan potongan durian terakhir.Naya menggeleng. "Kenyang banget."Jujur, Naya ingin bercerita banyak tentang pengkhianatannya terhadap Evan. Menjelaskan mengapa dia bisa melakukan itu. Bagaimana awal mula bertemu Evan dan bagaimana dia mau mengambil risiko di baliknya. Selama ini hanya ada Maria yang menjadi tempat aduan."Mama tahu kok." Naya menambah informasi."Serius? Terus?""Ya… Nggak yang gimana. Kan kamu tahu Mama pengen banget aku cepetan nikah. Jadi dia nggak begitu peduli. Yang penting secepatnya aku nikah."Jangankan soal Evan, toh Mama saja menjodohkan dia dengan Adrian walau tahu hubung