Home / Romansa / Gairah Membara Paman Tunanganku / Kabar Buruk Bagi Serena

Share

Kabar Buruk Bagi Serena

last update Last Updated: 2025-09-13 23:51:03

Pagi itu kantor sudah ramai oleh para karyawan. Suara telepon berdering bergantian, bunyi ketikan keyboard bersahut-sahutan. Serena duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan mata lelah.

Tumpukan dokumen di mejanya seolah tidak ada habisnya. Ia memijat pelipis sambil mencoba fokus. Meski pikirannya berkali-kali melayang pada kondisi ibunya di rumah sakit, ia tetap memaksa dirinya menyelesaikan pekerjaan.

“Serena, ini laporan keuangan bulan lalu. Cek ulang sebelum diserahkan ke direktur,” kata salah satu rekan kerjanya sambil meletakkan map tebal di atas meja.

Serena tersenyum tipis. “Baik, aku periksa dulu.”

Belum sempat ia membuka laporan itu, ponselnya bergetar di samping laptop. Nomor rumah sakit terpampang jelas di layar. Jantung Serena langsung berdegup kencang. Dengan tergesa ia mengangkat telepon.

“Halo, Nona Serena?” suara seorang perawat terdengar dari seberang.

“Ya, saya sendiri. Ada apa?”

“Dokter meminta Anda datang ke rumah sakit hari ini. Ada hal penting yang harus dibicarakan mengenai kondisi Ibu Anda.”

Serena merasakan tangannya tiba-tiba dingin. “Baik… saya akan segera ke sana.”

Ia menutup telepon. Konsentrasinya pada pekerjaan hilang seketika. Dengan alasan izin keluar, ia cepat-cepat membereskan barangnya dan beranjak dari kantor.

****

Suara mesin EKG terdengar beraturan di dalam ruangan. Aroma obat dan antiseptik begitu menusuk hidung setiap kali Serena memasuki kamar itu.

Di atas ranjang rumah sakit, terbaring sosok wanita yang dulu begitu sehat dan penuh senyum. Sekarang, ibunya hanya diam, tertidur dengan wajah pucat dan tubuh lemah yang dipenuhi selang.

Serena menarik kursi dan duduk di samping ranjang. Tangannya perlahan menggenggam tangan ibunya yang dingin.

“Ibu, Serena di sini. Maaf kalau hari-hari ini jarang datang. Aku lagi banyak urusan. Tapi Ibu harus kuat ya. Aku janji, aku bakal lakuin apa pun supaya Ibu sembuh.”

Matanya mulai panas seketika. Sejak kecil, ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada untuknya. Namun sejak ibunya sakit, semuanya terasa berubah. Ayahnya jarang sekali menunjukkan kepedulian. Selalu saja sibuk dengan selingkuhannya Claudia, yang kini menjadi ibu tirinya. Selalu saja tidak punya waktu jika menyangkut ia dan ibunya.

Ketukan pintu terdengar. Seorang dokter paruh baya masuk sambil membawa berkas di tangannya. “Nona Serena, bisa kita bicara sebentar?”

Serena mengangguk, melepas genggaman tangannya dari ibunya dan berdiri. Mereka keluar sebentar ke lorong.

“Kondisi Ibu Anda sudah cukup lama tidak ada perkembangan,” jelas dokter itu dengan nada serius. “Kami sudah melakukan perawatan maksimal di sini, tetapi saya khawatir fasilitas rumah sakit ini tidak cukup. Dia harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar dengan peralatan lebih lengkap. Dan tentu saja, biayanya akan jauh lebih tinggi.”

Serena menggigit bibir bawahnya. “Berapa banyak, Dok?”

“Untuk tahap awal, setidaknya bisa menghabiskan ratusan juta, kami tim dokter menunggu persetujuan dari pihak keluarga agar bisa segera dipindahkan dan mendapatkan perawatan intensif.”

Serena terdiam. Nominal itu terlalu besar baginya. Gajinya sebagai karyawan biasa jelas tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Pilihan satu-satunya adalah meminta ayahnya.

Tapi, apakah ayahnya akan mau mengeluarkan biaya lagi?

“Baik, Dok. Saya akan bicarakan ini dengan Ayah dulu,” jawab Serena akhirnya. Suaranya nyaris bergetar, tapi ia berusaha tetap terlihat tenang.

Setelah pamit, Serena melangkah keluar rumah sakit. Pikirannya terasa penuh. Bagaimana kalau ayahnya menolak? Bagaimana kalau ibunya tidak sempat dipindahkan? Bayangan buruk itu terus menghantuinya.

Di tengah jalan menuju halte, matanya tiba-tiba menangkap sosok yang familiar. Ethan. Pria itu berjalan di trotoar, dengan Marissa di sampingnya. Mereka tampak begitu dekat, Marissa tertawa kecil sambil menyentuh lengan Ethan.

Serena terhenti. Napasnya tercekat dan kakinya seakan tertahan di sana. Ada rasa perih menusuk di dadanya, meski ia sudah tahu betul bagaimana sifat tunangannya itu. Ia tidak mau terlihat menyedihkan, jadi ia segera berbalik, mengambil jalan lain.

Sayangnya, langkah terburu-burunya justru membuatnya lengah. Dari arah kanan, sebuah mobil melintas cukup kencang. Serena berusaha menepi, tapi ujung bahunya terserempet. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tepi jalan beraspal.

“Akhh…” Serena meringis. Rasa perih menjalar dari sikunya yang terbentur keras.

Serena berusaha berdiri setelah kejadian itu. Napasnya masih tersengal, luka di lengannya perih, tapi ia tidak ingin menarik perhatian siapa pun. Ia hanya ingin pergi secepat mungkin dari tempat itu.

Beberapa orang menatapnya cemas, namun Serena menggeleng, menolak bantuan.

“Aku nggak apa-apa,” katanya singkat.

Ia menutup luka di lengannya dengan tisu seadanya lalu berjalan menjauh.

Luka kecil di lengannya tidak seberapa dibanding luka yang selama ini menekan dadanya.

Begitu sampai di pinggir jalan, ia menatap pantulan dirinya di kaca mobil yang terparkir. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan ada bekas darah di tangannya.

Ia menarik napas panjang.

“Lain kali, aku nggak akan jatuh di hadapan siapa pun lagi,” gumamnya lirih.

Serena kemudian memesan taksi online lewat ponsel. Ia harus kembali ke kantor, karena waktu izin tidak lama.

Saat diperjalanan menuju kantor, ia memikirkan bagaimana cara membicarakan hal ini dengan ayahnya. Hubungan mereka sudah lama renggang, dan tidak pernah lagi membicarakan hal sekecil apa pun.

Pikirkan nanti saja lah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   Masuk Dalam Jebakan

    Ruang kerja yang di desain maskulin dan dengan warna yang tajam. Steave duduk di kursinya dengan santai, lengan kanannya menopang dagu, sementara jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Paul, asistennya yang paling ia percaya, berdiri tegak di hadapan tuannya. Wajahnya terlihat serius, namun sedikit gugup. Ia membuka map cokelat yang dibawanya, lalu menghembuskan napas sebelum bicara.“Tuan, semua sesuai dengan prediksi anda,”Steave menyeringai licik, ia memasang umpannya dengan tepat.“Kondisinya?”“Belum ada pergerakan dari Serena, Tuan. Ia juga tidak mendatangi Tuan Ethan untuk meminta bantuan.”Steave menegakkan tubuhnya, jemarinya berhenti mengetuk meja. Ia bersandar santai di kursi kulit hitam yang mewah itu, lalu menatap Paul dengan tatapan penuh maksud. “Persiapkan sisanya,” ucapnya pada sang asisten. “Tamu kita tak lama lagi akan datang.”Paul mengangguk, meski dalam hati ia merutuki kegilaan boss nya ini.Ia menyesap sedikit anggurnya, lalu meletakkan gelas itu di meja de

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   Putus Asa dan Hampa

    Bab 4Malam itu di rumah keluarga Collins. Serena berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya, ia akan membicarakan mengenai biaya rumah sakit untuk ibunya sekarang juga. Sebelum masuk, Serena menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu.“Masuk,” suara Richard Collins terdengar tegas dari dalam.Serena membuka pintu dengan hati-hati. Ia bisa mencium bau asap rokok dan minuman beralkohol. Sang ayah duduk di kursinya, sibuk menandatangani dokumen dengan wajah serius. Serena melangkah mendekat, menahan diri agar tidak salah bicara.“Ayah,” sapanya selembut mungkin.Richard mengangkat kepala sebentar. “Ada apa, Serena? Sudah malam, seharusnya kamu beristirahat.”Serena menggenggam ujung gaunnya, ragu sejenak sebelum bicara. “Aku baru saja dari rumah sakit siang tadi. Aku menemui Ibu.”Richard berhenti menulis, menegakkan bahunya lalu bersandar di kursinya. “Bagaimana kondisinya?”“Tidak ada perkembangan, Ayah. Dokter bilang Ibu harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar, dengan per

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   Kabar Buruk Bagi Serena

    Pagi itu kantor sudah ramai oleh para karyawan. Suara telepon berdering bergantian, bunyi ketikan keyboard bersahut-sahutan. Serena duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan mata lelah.Tumpukan dokumen di mejanya seolah tidak ada habisnya. Ia memijat pelipis sambil mencoba fokus. Meski pikirannya berkali-kali melayang pada kondisi ibunya di rumah sakit, ia tetap memaksa dirinya menyelesaikan pekerjaan.“Serena, ini laporan keuangan bulan lalu. Cek ulang sebelum diserahkan ke direktur,” kata salah satu rekan kerjanya sambil meletakkan map tebal di atas meja.Serena tersenyum tipis. “Baik, aku periksa dulu.”Belum sempat ia membuka laporan itu, ponselnya bergetar di samping laptop. Nomor rumah sakit terpampang jelas di layar. Jantung Serena langsung berdegup kencang. Dengan tergesa ia mengangkat telepon.“Halo, Nona Serena?” suara seorang perawat terdengar dari seberang.“Ya, saya sendiri. Ada apa?”“Dokter meminta Anda datang ke rumah sakit hari ini. Ada hal penting yang h

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   Tamu Tak Terduga

    Serena menatap rumah besar keluarga Collins yang malam itu tampak lebih ramai dari biasanya. Lampu-lampu halaman menyala terang, biasanya sang ayah hanya akan menghidupkan lampu itu untuk menyambut tamu penting.Yang dilihat Serena, mobil-mobil mewah berjajar rapi di depan pintu utama.“Apa ada seseorang yang datang? Pasti rekan bisnis Ayah,” gumamnya.Begitu pintu besar dibuka, sosok Claudia, ibu tirinya, menyambut dengan senyum penuh kepalsuan. Senyum yang begitu janggal hingga membuat Serena hampir mengerutkan dahi."Serena, sayang. Akhirnya kamu pulang juga. Ayahmu sudah menunggumu," ucap Claudia terdengar lembut, seolah penuh kasih sayang.Serena berhenti sejenak. Rasanya ingin tertawa, karena Claudia jarang sekali atau bahkan tidak pernah menyapanya seperti itu. Biasanya wanita itu hanya bicara seperlunya, dengan nada setengah angkuh yang sering membuat Serena malas menjawab."Iya, Bu," jawab Serena singkat, mencoba menutupi rasa curiga yang menggelayut. Ia melangkah masuk.Di r

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   Penghianatan Mereka

    Sore menjelang malam, suasana London masih terasa hawa dinginnya setelah hujan. Trotoar di depan apartemen modern itu berkilau oleh pantulan lampu jalan. Serena Collins berjalan riang, penuh semangat meski rintik air hujan yang tersisa hampir saja merusak blow-dry rambutnya. Tangannya menggenggam payung kecil yang kini sudah dilipat, sementara hatinya penuh bunga.Hari ini ia dan Ethan, pacarnya, berjanji bertemu. Tidak ada momen istimewa sebenarnya, tapi Serena tipe gadis yang selalu bisa menemukan alasan untuk merasa bahagia. Mungkin karena Ethan jarang punya waktu, jadi setiap janji bertemu terasa seperti perayaan kecil.“Pasti dia sudah menunggu,” gumamnya sambil menaiki anak tangga menuju lantai tiga, tempat apartemen Ethan berada.Meski hanya beberapa lantai, apartemen ini hanya dihuni kalangan elit.Sesampainya di depan pintu nomor 3B, Serena menarik napas panjang. Tangannya terulur hendak mengetuk, tapi sesuatu menghentikannya. Entah kenapa firasatnya jadi buruk saat hendak m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status