Serena menatap rumah besar keluarga Collins yang malam itu tampak lebih ramai dari biasanya. Lampu-lampu halaman menyala terang, biasanya sang ayah hanya akan menghidupkan lampu itu untuk menyambut tamu penting.
Yang dilihat Serena, mobil-mobil mewah berjajar rapi di depan pintu utama. “Apa ada seseorang yang datang? Pasti rekan bisnis Ayah,” gumamnya. Begitu pintu besar dibuka, sosok Claudia, ibu tirinya, menyambut dengan senyum penuh kepalsuan. Senyum yang begitu janggal hingga membuat Serena hampir mengerutkan dahi. "Serena, sayang. Akhirnya kamu pulang juga. Ayahmu sudah menunggumu," ucap Claudia terdengar lembut, seolah penuh kasih sayang. Serena berhenti sejenak. Rasanya ingin tertawa, karena Claudia jarang sekali atau bahkan tidak pernah menyapanya seperti itu. Biasanya wanita itu hanya bicara seperlunya, dengan nada setengah angkuh yang sering membuat Serena malas menjawab. "Iya, Bu," jawab Serena singkat, mencoba menutupi rasa curiga yang menggelayut. Ia melangkah masuk. Di ruang tamu, ayahnya, Richard Collins, tampak sedang berbincang serius dengan seorang pria. Serena mengerutkan kening ketika pandangannya bertemu dengan mata tajam pria itu. Posturnya tegap, wajah yang maskulin dengan rahang tegas, setelan jas hitamnya jatuh sempurna. Ada aura berwibawa sekaligus dingin yang sulit diabaikan. "Serena, sini," panggil Richard. Serena berjalan mendekat. Ayahnya menepuk pundaknya dengan penuh bangga, lalu memperkenalkannya. "Ini Steave Alexander Whitmore. Dia rekan bisnis baru Ayah." Jantung Serena berdetak lebih cepat. Whitmore. Nama itu langsung menghubungkan pikirannya pada Ethan. Benar, pria ini adalah pamannya. Serena menelan ludah, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. "Senang berkenalan denganmu," ucap Steave, suaranya berat, dalam, dan tenang. Serena mengangguk sopan. "Saya juga." Ia berusaha tetap terlihat biasa, meski ada rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menyusup. Kehadiran pria ini begitu mendadak. Dan ayahnya sama sekali tidak pernah memberi kabar sebelumnya. *** Makan malam digelar dengan mewah di ruang keluarga. Meja panjang penuh hidangan mahal, mulai dari steak, sup krim, hingga wine yang hanya disentuh oleh orang-orang dewasa. Serena duduk di samping ayahnya, sementara Claudia dan Marissa duduk berhadapan. Steave berada di ujung meja, posisi yang menunjukkan kehormatan tersendiri. Richard banyak bicara soal kerja sama mereka. Tentang investasi baru, bisnis, juga rencana yang terdengar terlalu strategis. Serena hanya mendengarkan sambil menunduk sesekali, menyuapkan makanan ke mulutnya dengan tenang. Sesekali matanya bertemu dengan tatapan Steave. Bukan tatapan yang terang-terangan, tapi ada kehadiran tajam yang sulit dijelaskan. Seolah pria itu mengamati dirinya seperti seseorang yang tertarik. "Ibu dengar kamu baru pulang dari kantor, Serena?" tanya Claudia tiba-tiba, suaranya dibuat manis. Serena mengangguk, tersenyum tipis. "Iya, Bu." "Bagus, setelah mendapat pengalaman yang cukup. Kamu pasti bisa membantu bisnis keluarga nanti." Serena tidak menjawab. Ia tahu kalimat itu tidak sepenuhnya tulus. Claudia hanya ingin membuatnya terlihat sopan di depan tamu. Di sisi lain, Marissa, kakak tirinya, mulai menunjukkan aksinya. Ia tersenyum genit setiap kali melirik Steave. Tangannya dengan sengaja menyentuh rambut panjangnya, memainkan helaiannya, mencoba terlihat anggun. "Mr. Whitmore," suara Marissa terdengar lembut, "bagaimana bisa seorang pria seperti Anda masih sendiri? Sepertinya tidak sulit menemukan pasangan, ya." Steave menoleh perlahan. Tatapannya dingin, begitu menusuk, hingga membuat senyum Marissa menegang sepersekian detik. "Saya tidak pernah membicarakan hal pribadi di meja makan," jawabnya datar. Suasana sedikit canggung. Richard tersenyum kecil, mencoba menetralkan suasana. Sementara Claudia berpura-pura sibuk dengan hidangan di piringnya. Serena hanya diam, menahan perasaan yang semakin tidak karuan, karena jelas-jelas Steave sama sekali tidak tertarik pada Marissa. **** Makan malam selesai tanpa banyak bicara. Richard segera masuk ke ruang kerja untuk membicarakan detail bisnis yang belum selesai, begitupun Claudia. Marissa asyik dengan ponselnya, sibuk mengirim pesan entah kepada siapa. Rayuannya pada Steave tidak ditanggapi dengan baik, ia jengkel. Serena, yang merasa sesak dengan atmosfer rumah itu, memutuskan keluar. Ia melangkah ke taman samping, mencari udara segar. Serena duduk di sana, memeluk dirinya sendiri, menikmati sejenak ketenangan. Ia menghela napas panjang, menatap kosong langit malam. Rumah ini memang megah, tetapi selalu terasa asing. Ia tidak pernah benar-benar tenang saat di rumah. “Sesuatu mengganggumu, Nona?” Serena terlonjak mendengar suara bariton yang cukup rendah itu di telinganya, ia buru-buru menoleh dan mendapati Steave entah sejak kapan duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri, dengan lengan kemejanya yang digulung keatas, memperlihatkan otot lengannya yang menyembul, dan sebatang rokok yang sepertinya masih baru dinyalakan terselip di kedua bibirnya. Wanita itu buru-buru meminta maaf terhadap tamu penting ayahnya itu. “Maafkan aku tuan, aku tidak tahu anda berada di sini,” ucapnya. “Aku tidak akan mengganggu anda,” Serena baru saja akan berbalik, tapi suara itu lagi-lagi menghentikannya. “tidak perlu!” Steave berdiri, “Ini rumahmu, kenapa harus kau yang pergi,” ucapnya, melangkah mendekati Serena yang masih terpaku di tempatnya, lebih tepatnya ia melewati Serena, hendak pergi. Namun tiba-tiba, seolah melupakan sesuatu, Steave berbalik dan mendekati Serena lagi. “Jika kau membutuhkan bantuan, kau bisa datang padaku.” kata pria itu, secara tiba-tiba, sembari menyerahkan sebuah kartu nama ke pada Serena. Dengan seribu satu pertanyaan di dalam pikirannya, Serena mengangkat tangannya, menerima kartu itu sembari berkata, “kenapa?” Tanpa mendengar jawaban apapun, Steave pergi begitu saja, membiarkan pertanyaan Serena menggantung.Ruang kerja yang di desain maskulin dan dengan warna yang tajam. Steave duduk di kursinya dengan santai, lengan kanannya menopang dagu, sementara jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Paul, asistennya yang paling ia percaya, berdiri tegak di hadapan tuannya. Wajahnya terlihat serius, namun sedikit gugup. Ia membuka map cokelat yang dibawanya, lalu menghembuskan napas sebelum bicara.“Tuan, semua sesuai dengan prediksi anda,”Steave menyeringai licik, ia memasang umpannya dengan tepat.“Kondisinya?”“Belum ada pergerakan dari Serena, Tuan. Ia juga tidak mendatangi Tuan Ethan untuk meminta bantuan.”Steave menegakkan tubuhnya, jemarinya berhenti mengetuk meja. Ia bersandar santai di kursi kulit hitam yang mewah itu, lalu menatap Paul dengan tatapan penuh maksud. “Persiapkan sisanya,” ucapnya pada sang asisten. “Tamu kita tak lama lagi akan datang.”Paul mengangguk, meski dalam hati ia merutuki kegilaan boss nya ini.Ia menyesap sedikit anggurnya, lalu meletakkan gelas itu di meja de
Bab 4Malam itu di rumah keluarga Collins. Serena berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya, ia akan membicarakan mengenai biaya rumah sakit untuk ibunya sekarang juga. Sebelum masuk, Serena menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu.“Masuk,” suara Richard Collins terdengar tegas dari dalam.Serena membuka pintu dengan hati-hati. Ia bisa mencium bau asap rokok dan minuman beralkohol. Sang ayah duduk di kursinya, sibuk menandatangani dokumen dengan wajah serius. Serena melangkah mendekat, menahan diri agar tidak salah bicara.“Ayah,” sapanya selembut mungkin.Richard mengangkat kepala sebentar. “Ada apa, Serena? Sudah malam, seharusnya kamu beristirahat.”Serena menggenggam ujung gaunnya, ragu sejenak sebelum bicara. “Aku baru saja dari rumah sakit siang tadi. Aku menemui Ibu.”Richard berhenti menulis, menegakkan bahunya lalu bersandar di kursinya. “Bagaimana kondisinya?”“Tidak ada perkembangan, Ayah. Dokter bilang Ibu harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar, dengan per
Pagi itu kantor sudah ramai oleh para karyawan. Suara telepon berdering bergantian, bunyi ketikan keyboard bersahut-sahutan. Serena duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan mata lelah.Tumpukan dokumen di mejanya seolah tidak ada habisnya. Ia memijat pelipis sambil mencoba fokus. Meski pikirannya berkali-kali melayang pada kondisi ibunya di rumah sakit, ia tetap memaksa dirinya menyelesaikan pekerjaan.“Serena, ini laporan keuangan bulan lalu. Cek ulang sebelum diserahkan ke direktur,” kata salah satu rekan kerjanya sambil meletakkan map tebal di atas meja.Serena tersenyum tipis. “Baik, aku periksa dulu.”Belum sempat ia membuka laporan itu, ponselnya bergetar di samping laptop. Nomor rumah sakit terpampang jelas di layar. Jantung Serena langsung berdegup kencang. Dengan tergesa ia mengangkat telepon.“Halo, Nona Serena?” suara seorang perawat terdengar dari seberang.“Ya, saya sendiri. Ada apa?”“Dokter meminta Anda datang ke rumah sakit hari ini. Ada hal penting yang h
Serena menatap rumah besar keluarga Collins yang malam itu tampak lebih ramai dari biasanya. Lampu-lampu halaman menyala terang, biasanya sang ayah hanya akan menghidupkan lampu itu untuk menyambut tamu penting.Yang dilihat Serena, mobil-mobil mewah berjajar rapi di depan pintu utama.“Apa ada seseorang yang datang? Pasti rekan bisnis Ayah,” gumamnya.Begitu pintu besar dibuka, sosok Claudia, ibu tirinya, menyambut dengan senyum penuh kepalsuan. Senyum yang begitu janggal hingga membuat Serena hampir mengerutkan dahi."Serena, sayang. Akhirnya kamu pulang juga. Ayahmu sudah menunggumu," ucap Claudia terdengar lembut, seolah penuh kasih sayang.Serena berhenti sejenak. Rasanya ingin tertawa, karena Claudia jarang sekali atau bahkan tidak pernah menyapanya seperti itu. Biasanya wanita itu hanya bicara seperlunya, dengan nada setengah angkuh yang sering membuat Serena malas menjawab."Iya, Bu," jawab Serena singkat, mencoba menutupi rasa curiga yang menggelayut. Ia melangkah masuk.Di r
Sore menjelang malam, suasana London masih terasa hawa dinginnya setelah hujan. Trotoar di depan apartemen modern itu berkilau oleh pantulan lampu jalan. Serena Collins berjalan riang, penuh semangat meski rintik air hujan yang tersisa hampir saja merusak blow-dry rambutnya. Tangannya menggenggam payung kecil yang kini sudah dilipat, sementara hatinya penuh bunga.Hari ini ia dan Ethan, pacarnya, berjanji bertemu. Tidak ada momen istimewa sebenarnya, tapi Serena tipe gadis yang selalu bisa menemukan alasan untuk merasa bahagia. Mungkin karena Ethan jarang punya waktu, jadi setiap janji bertemu terasa seperti perayaan kecil.“Pasti dia sudah menunggu,” gumamnya sambil menaiki anak tangga menuju lantai tiga, tempat apartemen Ethan berada.Meski hanya beberapa lantai, apartemen ini hanya dihuni kalangan elit.Sesampainya di depan pintu nomor 3B, Serena menarik napas panjang. Tangannya terulur hendak mengetuk, tapi sesuatu menghentikannya. Entah kenapa firasatnya jadi buruk saat hendak m