LOGINSetelah badai gairah semalam yang terasa begitu panjang, sisa-sisa kehangatan itu masih tertinggal di udara. Vivian terbangun saat cahaya matahari pagi mulai mengintip malu-malu dari balik celah gorden yang semalam ia biarkan sedikit terbuka. Suara hujan yang tadinya menderu kini telah berganti menjadi kicauan burung dan aroma tanah basah yang segar—petrichor yang menenangkan.Vivian tidak langsung beranjak. Ia masih betah berbaring miring, menatap wajah pria yang kini resmi menjadi pusat semestanya. Dalam remang pagi, wajah Juno terlihat jauh lebih lembut. Tidak ada tatapan tajam atau aura dominan yang biasanya ia tunjukkan pada dunia luar. Yang ada hanyalah pria yang tampak begitu tenang dalam tidurnya.Vivian tersenyum tipis. Pipinya merona saat potongan-potongan kejadian semalam melintas di benaknya—tentang keberaniannya mengambil kendali, tentang bagaimana ia merasa begitu berkuasa sekaligus begitu dicintai. Tangannya terangkat, ingin menyentuh rahang tegas itu, namun ia menghe
Lampu-lampu kota yang tadi berkilauan kini mulai meredup, tertutup oleh tirai abu-abu dari langit. Rintik hujan mulai turun, awalnya hanya ketukan halus pada kaca jendela besar di The Sanctuary, namun lama-kelamaan berubah menjadi simfoni gemuruh yang menenangkan. Suasana di luar sana mendingin drastis, menciptakan kontras yang sempurna dengan kehangatan yang masih menyelimuti Juno dan Vivian di balik selimut sutra mereka.Vivian merasakan embusan angin dari celah ventilasi yang membawa aroma hujan. Secara refleks, ia semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Juno yang kokoh. Kulit mereka yang masih sedikit lembap saling bersentuhan, menyalurkan panas tubuh yang seolah tidak mau padam."Hujan?" gumam Juno dengan suara serak khas pria yang baru bangun dari kantuknya. Suaranya terdengar begitu dalam di telinga Vivian, menciptakan getaran halus di dadanya."Iya, sepertinya akan lebat," jawab Vivian lembut. Ia mendongak, menatap rahang tegas suaminya yang terlihat sangat maskulin di ba
Suasana di dalam kamar mandi yang beruap itu menjadi saksi bisu bagaimana Juno memuja setiap jengkal keindahan Vivian. Air yang mengalir dari shower membasahi tubuh mereka, namun rasa haus akan satu sama lain justru semakin menjadi-jadi. Bagi Vivian, sentuhan Juno bukan sekadar gairah biasa; itu adalah sebuah penebusan atas tahun-tahun yang gersang dan hampa."Juno... ahh," desah Vivian tertahan saat jemari Juno menari di atas kulitnya yang sensitif. Setiap sentuhan pria itu terasa seperti aliran listrik yang menghidupkan kembali saraf-sarafnya yang telah lama mati rasa.Dalam benak Vivian yang mulai berkabut oleh kenikmatan, sekilas bayangan masa lalunya bersama Arman muncul. Bertahun-tahun ia terjebak dalam pernikahan yang dingin, di mana ranjang hanyalah tempat untuk beristirahat, bukan berbagi jiwa. Arman telah lama mengabaikannya, membiarkan Vivian layu dalam kesepian tanpa sentuhan kasih sayang. Namun malam ini, Juno datang seperti hujan yang mengguyur tanah gersang, membangk
Lampu-lampu kota Jakarta yang berkelap-kelip di bawah sana seolah menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka malam itu. Namun, angin malam yang semakin kencang mulai menusuk kulit, membuat Juno menarik pelan bahu Vivian untuk masuk kembali ke dalam kehangatan The Sanctuary. "Udara mulai dingin, dan aku tidak mau pengantinku jatuh sakit di malam pertama kita," bisik Juno, suaranya kini terdengar sedikit lebih berat, ada nada yang berbeda dari sekadar candaan martabak tadi. Vivian mengikuti langkah Juno, melewati lorong foto-foto itu sekali lagi sebelum mereka tiba di sebuah pintu ganda besar yang letaknya paling ujung. Juno menempelkan telapak tangannya pada pemindai biometrik, dan dengan bunyi klik yang halus, pintu itu terbuka, menyingkap sebuah ruangan yang sukses membuat napas Vivian tertahan untuk kesekian kalinya. Ruangan itu adalah definisi kemewahan yang intim. Tidak seperti ruang tamu yang didominasi kaca transparan, kamar ini terasa lebih tertutup dan hangat. Interiornya did
"Ayo kita kembali, akan aku tunjukkan sesuatu padamu," ujar Juno sembari mematikan sisa cokelat panasnya.Vivian mengerutkan dahi sambil menggulum senyum. Matanya menyipit penuh selidik, mencoba menebak apa lagi yang ada di dalam kepala pria di hadapannya ini. "Kejutan apa lagi, Juno? Martabak sudah, helikopter sudah, lampu LED raksasa sudah. Apa setelah ini kamu mau mengajakku melihat peluncuran roket?"Juno terbahak, suara tawanya memantul di antara pepohonan pinus. "Hampir tepat, tapi tidak setinggi itu. Ayo, Nyonya Venderbilt, waktu kita terbatas sebelum pilotnya mengantuk."Mereka kembali naik ke helikopter. Deru mesin kembali mengisi rungu, namun kali ini Vivian tidak lagi merasa tegang. Ia justru menikmati perjalanan itu, menyandarkan kepalanya di bahu Juno sambil melihat gemerlap lampu kota Jakarta yang mulai terlihat di kejauhan. Helikopter itu terbang menjauh dari perbukitan, menuju jantung kota yang tak pernah tidur.Setelah beberapa menit terbang melintasi barisan gedu
Juno berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada Vivian. "Ikut aku," ajaknya. Sambil tangan Vivian diraih olehnya."Mau kemana kita, Juno?"tanya Vivian mengernyitkan dahinya.Tapi kakinya melangkah pasti mengikuti Juno menuju area parkir dan masuk ke dalam mobil milik Juno.Mobil itu melaju membelah jalanan pegunungan yang berkelok dengan lembut. Di dalam kabin yang kedap suara, aroma parfum Juno yang maskulin bercampur dengan wangi bunga mawar dari buket yang masih dipeluk Vivian. Vivian menoleh ke arah suaminya, memperhatikan profil samping wajah Juno yang tampak fokus namun santai di balik kemudi."Juno, tamu-tamu masih di sana. Ayah pasti mencari kita," protes Vivian, meski nada suaranya lebih terdengar penasaran daripada marah.Juno terkekeh, tangan kirinya meraih jemari Vivian dan mengecupnya singkat. "Ayah sudah kuberi tahu. Dia justru yang memberiku kunci cadangan mobil ini supaya kita bisa 'kabur' sebentar. Lagipula, ini pesta kita, kan? Pengantin punya hak istimewa untuk me







