Setelah puas melihat-lihat area depan rumah, Darren mengajak Nayla dan Raja berkeliling ke halaman belakang. Mereka berjalan santai melewati batu alam yang tersusun rapi sebagai pijakan, dikelilingi rerumputan hijau yang tampak segar.Di halaman belakang, ada hamparan bunga mawar yang mulai mekar. Beberapa mekar sempurna, sisanya masih kuncup. Warnanya merah muda, putih, dan merah darah. Di sebelah kanan, tampak kolam renang berukuran sedang, airnya jernih dan berkilau terkena cahaya sore. Tak jauh dari situ, ada kolam ikan arwana yang cukup dalam. Ikan-ikan besar itu berenang tenang, sesekali menyembul ke permukaan. Darren menunda waktu mereka untuk melihat rumah ini. Awalnya mereka ingin melihat rumah ini saat jam makan siang, tapi gara-gara ada Maria yang mengacaukan semua pikiran pria itu, sehingga dia mengajak anak dan istrinya datang saat jam pulang kantor. Bahkan dia dan Bayu pulang lebih awal dari karyawan lainnya."Ini kolam arwana ya?" tanya Nayla pelan sambil mengamati air
“Wow, rumahnya bagus banget kayak di film-film itu ya, Ma,” ucap Raja.Matanya berbinar melihat rumah besar di hadapannya. Pilar-pilar tinggi menjulang di bagian depan, cat dindingnya tampak bersih, halaman luas, dan taman tertata rapi. Anak kecil itu masih menggenggam tangan kedua orang tuanya, tapi kepalanya tak henti-hentinya menoleh ke sana kemari, berusaha menyerap semua keindahan yang dilihatnya. Dia sampai menggeleng pelan, seperti tak percaya diajak ke rumah semewah ini.“Kamu suka gak, Boy?” tanya Darren.Raja langsung mengangguk cepat. Senyum lebar mengembang di wajahnya. Dia mendongak menatap wajah sang Daddy dengan ekspresi kagum dan antusias. Darren ikut tersenyum. Hatinya terasa hangat melihat reaksi putranya. Seumur hidupnya, dia belum pernah merasa sebahagia ini. Ternyata sesederhana itu—melihat Raja bahagia saja sudah cukup membuat Darren merasa jadi pria paling beruntung.“Itu kolam ikan koi ya, Dad?” tanya Raja. Kini dia melirik ke arah taman samping, matanya berbin
Setelah menolak kembalinya investor yang sempat mencampakkan Atmaja Group, Darren keluar dari ruang meeting lebih dulu. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan amarah yang belum juga reda. Dia sudah cukup dibuat muak hari ini. Belum cukup dipusingkan kondisi perusahaan yang babak belur, sekarang mantan investor itu malah datang lagi dengan senyum sok manis seolah tidak pernah berlaku kurang ajar.Langkah Darren makin cepat begitu mendekati ruang kerjanya. Tapi begitu pintu terbuka, dia langsung berhenti. Maria duduk di sofa, bersilang kaki seperti pemilik ruangan. Darren langsung berdecak. “Lagi-lagi dia,” batinnya. Kepalanya sudah berat, sekarang ditambah pemandangan yang tidak dia harapkan.Maria tersenyum manis. Tipis-tipis. Senyum yang dulu sempat membius Darren habis-habisan, tapi sekarang malah bikin mual.Darren tidak langsung bicara. Dia mengambil posisi di balik meja, duduk di kursinya, menyender sebentar sebelum membuka mulut.“Aku pikir sudah pernah kubilang, kalau mau mas
Darren dan Nayla langsung membeku di dalam mobil. Mereka tidak menyangka bakal menemukan keributan semacam ini di depan rumah Nayla. Darren belum sempat membuka pintu, tapi suara berisik di luar sudah cukup memancing adrenalin naik ke ubun-ubun. Begitu melihat Marcella sedang adu mulut dengan Mamanya sendiri, darah Darren langsung mendidih.Seketika dia keluar dari mobil dan menghampiri sumber keributan itu. Wajahnya kaku, matanya tajam seperti mau menyayat. Siapa pun yang pernah melihat Darren marah, pasti tahu batas amannya sudah lewat dari tadi.“Mamaaaaaa!!”Suaranya menggelegar sampai membuat beberapa burung di pohon depan rumah beterbangan."Apa yang Mama lakukan di sini, hah? Berapa kali Darren bilang jangan pernah lagi usik hidup Nayla!" Darren benar-benar kehilangan kesabaran. Suaranya naik dua oktaf. Wajahnya memerah, nadinya menegang.Dia melirik ke arah rumah. Syukurlah Raja sedang tidur di lantai atas. Kalau tidak, bisa-bisa anak itu trauma dengar teriakan-teriakan yang
Suara klakson mobil membelah suasana. Ban berdecit keras, cukup untuk membuat beberapa orang yang melintas di sekitar situ ikut menoleh. Darren turun dari mobil dengan wajah panik. Jantungnya nyaris copot melihat perempuan yang hampir saja tertabrak itu ternyata istrinya sendiri.“Nayla!” serunya sambil berlari ke arah wanita yang masih duduk terpaku di bawah, tampak shock dan gemetar.“Sayang, kamu gak kenapa-kenapa kan?” tanya Darren cepat-cepat sambil meraih bahu Nayla. Wajahnya langsung tegang melihat istrinya pucat dan linglung seperti orang habis jatuh dari roller coaster.Nayla butuh beberapa detik untuk sadar siapa yang barusan nyaris menabrak dirinya. Begitu melihat wajah Darren di hadapannya, dia merasa lega. Nafasnya masih tercekat, tapi tubuhnya langsung lemas dan hampir jatuh kalau saja Darren tidak segera menahannya.“Mas… ke–kenapa kamu di sini?” tanyanya terbata. Suaranya pelan, masih diliputi rasa kaget.“Tadi waktu kamu telepon, aku kebetulan nggak jauh dari kantor i
“Mas, tadi aku melihat—”Plak.Ponsel Nayla terhempas ke lantai sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. Suara keras sepatu hak tinggi yang menginjak benda itu membuat jantung Nayla langsung berdebar tak karuan. Dia refleks menunduk, matanya membelalak saat melihat ponsel kesayangannya retak dan pecah.Maria berdiri di hadapannya. Tangan di pinggang, wajah menyebalkan itu menatapnya seperti sedang menatap musuh yang harus dilenyapkan. Sepatu haknya masih menekan sisa ponsel yang kini hanya bisa jadi sampah elektronik.“Kenapa? Mau ngadu ke suamimu ya, soal aku dan Bima ketemuan sama Pak Raka?” ucap Maria.Napas Nayla tercekat. Dia bahkan belum bisa bereaksi karena kemunculan Maria yang begitu tiba-tiba. Barusan dia merasa aman, pikir semuanya baik-baik saja. Tapi sekarang, Maria berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh amarah. Bukan amarah biasa—ini jenis amarah orang yang siap menghancurkan apa pun di hadapannya tanpa peduli akibatnya.“Jangan coba-coba usil, Nayla. Kalau kau