LOGIN"Dulu, Anda adalah orang pertama yang membentak saya di perusahaan ini. Saya masih ingat." bisik Daniel. Alya mematung, cangkir kopi di tangannya nyaris jatuh.
Daniel ingat. Dan sekarang, ia kembali. Apakah ia ingin balas dendam profesional, ataukah ada maksud lain di balik gairah yang kini mulai terasa membakar di antara mereka. *** Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Kalimat Daniel terus terngiang-ngiang: "Dulu, Anda adalah orang pertama yang membentak saya di perusahaan ini. Saya masih ingat.” Ingatan yang Alya buang sebagai halusinasi kini kembali dengan jelas. Delapan tahun lalu. Ia adalah staf Marketing yang baru merintis. Ia sedang terburu-buru menuju rapat penting ketika ia menabrak seorang anak laki-laki kurus, usianya sekitar dua belas tahun, yang sedang berlari di lorong eksekutif sambil memegang mainan mobil-mobilan. “Hei! Kau tidak lihat-lihat? Ini area kerja, bukan taman bermain!” bentak Alya saat itu, nadanya keras karena panik. Anak itu hanya menatapnya dengan mata lebar dan langsung lari. Daniel Arkana. Putra tunggal almarhum CEO. Alya menarik napas dalam-dalam. Rasa malu, bercampur dengan teror, membanjirinya. CEO-nya sekarang adalah anak kecil yang pernah ia marahi dengan kejam. Ini bukan hanya tentang revolusi perusahaan; ini adalah balas dendam yang disajikan di atas meja marmer dingin. Keesokan paginya, suasana di kantor eksekutif berbeda. Alya tidak bisa menatap mata Daniel. Ia menyibukkan diri di ruang kerjanya, mencoba mengabaikan bayangan Daniel di balik dinding kaca buram. Pukul sebelas siang, Daniel muncul lagi di ambang pintu. “Manajer Alya, saya ingin mendiskusikan proposal Pemasaran baru. Sendirian,” perintah Daniel, nadanya kembali ke mode CEO yang dingin. Alya segera mengangguk dan mengambil tabletnya, lalu mengikuti Daniel ke kantor pribadinya yang megah. Kantor Daniel luas, dengan jendela setinggi langit-langit yang menawarkan panorama Jakarta yang spektakuler. Namun, yang menarik perhatian Alya adalah satu-satunya benda yang terasa tidak pada tempatnya: miniatur mobil balap di sudut mejanya. Daniel menutup pintu, menciptakan keheningan yang intim dan menegangkan. Ia duduk di kursi kulitnya, sementara Alya duduk di sofa di depannya. “Mari kita bahas strategi digital. Saya ingin Anda fokus pada pasar Gen Z,” ujar Daniel, matanya terpaku pada layar. Alya mulai menjelaskan data yang telah ia kumpulkan, tetapi fokusnya buyar. Ia merasakan mata Daniel sesekali mencuri pandang, bukan ke tablet, melainkan ke arahnya. “Maafkan saya,” sela Alya tiba-tiba, tidak tahan lagi. “Mengenai delapan tahun yang lalu…” Daniel mengangkat kepalanya, menyandarkan diri di kursi. Ekspresinya melunak, menghilangkan topeng CEO-nya sejenak. “Tadi malam, kau terlihat sangat terkejut, Alya,” katanya, menggunakan nama depannya untuk pertama kali. Sebuah pelanggaran batas yang terasa begitu intim. “Kau benar-benar tidak mengingatku? Atau kau berharap aku tidak mengingatmu?” “Saya hanya… Saya benar-benar minta maaf atas ketidakprofesionalan saya waktu itu,” ujar Alya, merasa pipinya memanas. “Saya tidak menyangka…” Daniel tersenyum, senyum tulus yang berbeda dari senyum dinginnya kemarin. “Saya mengerti. Anda saat itu muda, ambisius, dan stres. Tapi, tahukah Anda, Alya? Anda adalah wanita paling cantik yang pernah saya temui saat itu,” Daniel berbicara dengan nada rendah yang berbahaya. “Juga yang paling menakutkan.” Pengakuan itu menghantam Alya seperti gelombang. Gairah yang ia tekan kini memuntahkan panas ke seluruh tubuhnya. Itu bukan kata-kata balas dendam. Itu adalah pengakuan yang menyimpan rahasia. Daniel bangkit dari kursinya, berjalan mengelilingi meja, dan berhenti tepat di samping sofa Alya. Ia membungkuk sedikit, tatapan matanya mengunci mata Alya. Kedekatan mereka begitu berbahaya. “Dulu, aku lari karena takut padamu. Sekarang,” Daniel berhenti, jeda itu terasa menggoda, “Aku menempatkanmu di sebelah kantorku agar aku bisa melihatmu bekerja setiap hari. Ini bukan balas dendam profesional, Alya. Ini adalah obsesi yang kubawa selama delapan tahun.” Ia meraih tangan Alya yang gemetar di atas sofa. Sentuhan itu seperti api. “Aku ingin kau membantuku memenangkan perusahaan ini, Alya. Dan aku ingin kau membantuku memenangkan dirimu juga.”Pagi setelah malam yang membara di kantor dan kamar Daniel terasa surreal. Alya terbangun di apartemen mewah Daniel, yang kini menjadi "sarang" rahasia mereka. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit di atas cakrawala Jakarta. Ia adalah wanita yang sama, Manajer Senior yang sama, tetapi ia membawa rahasia yang jauh lebih berat. Daniel sudah bangun, menyiapkan kopi dan sarapan ringan. Ia bertingkah seperti kekasih yang posesif dan lembut, bukan CEO yang menuntut. "Aku membiarkanmu tidur lebih lama. Kau pasti lelah," kata Daniel sambil tersenyum menggoda, menyinggung intensitas malam mereka. "Kita harus lebih berhati-hati, Daniel," ujar Alya, mencoba mencari celah untuk menyisipkan kembali rasionalitas ke dalam hubungan mereka. "Kita tidak boleh datang ke kantor bersamaan. Kita tidak boleh meninggalkan jejak." Daniel duduk di tepi tempat tidur, memegang tangan Alya. "Kau khawatir tentang apa yang akan dipikirkan orang-orang? Biarkan mereka berpikir. Selama kit
"Ayo," Daniel berkata, sambil mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja marmer. "Kita akan pulang. Dan kau akan tidur di ranjangku malam ini."Perjalanan dari kantor Daniel ke apartemennya terasa seperti perjalanan ke hukuman mati. Daniel mengemudi dengan tenang, namun aura dominasi yang terpancar darinya membuat Alya kaku di kursinya.Ketika mereka memasuki penthouse Daniel yang megah tempat Alya telah tinggal selama dua bulan terakhir, di bawah dalih "mempermudah akses ke kantor" semua rasa bersalah Alya mendidih menjadi ketakutan.Ini adalah tempatnya. Ini adalah sangkarnya.Daniel mematikan lampu di ruang tamu, meninggalkan mereka dalam cahaya redup dari jendela kaca yang menampilkan pemandangan seluruh Jakarta. Alya berdiri mematung di tengah karpet bulu, sementara Daniel berjalan melewatinya."Pergi mandi," perintah Daniel tanpa menoleh, suaranya kembali dingin. Ia membuka lemari es, mengeluarkan sebotol air mineral dingin. "Aku akan menunggumu di kamar."Alya merasa terh
Daniel tidak bergeming. Pelukannya semakin mengerat, membuat Alya kesulitan bernapas, bukan karena fisik, tapi karena beban emosional dari keintiman yang baru saja mereka bagi.Keheningan yang menggantung setelah puncak gairah itu jauh lebih memekakkan telinga daripada erangan atau bisikan mereka sebelumnya.Lampu-lampu kota yang semula tampak romantis kini terasa seperti mata-mata. Alya bisa melihat pantulan dirinya dan Daniel di jendela dua sosok yang saling berpelukan, telanjang, di dalam kantor CEO yang seharusnya menjadi simbol profesionalisme yang dingin.Ia mencoba bergerak, namun Daniel menahannya."Jangan bergerak," perintah Daniel, suaranya kini tenang, namun memancarkan otoritas yang jauh lebih menakutkan karena diselimuti oleh kepuasan. Ia mencium puncak kepala Alya, menghirup aroma sampo mahal yang bercampur dengan aroma keringat mereka sendiri. "Aku hanya ingin seperti ini sebentar."Alya memejamkan mata. Kata-kata Daniel, "Kamu sudah membuat aku gila, Alya Pranata," te
Lampu kota Jakarta di luar jendela kantor Daniel adalah satu-satunya saksi.Setelah Alya membatalkan janji dengan Sarah, Daniel tidak membiarkan keraguan atau rasa bersalah Alya bertahan lama. Ia membalikkan Alya, menatap lurus ke dalam matanya, dan semua sisa profesionalisme menghilang dari tatapannya."Kau milikku di sini, Alya. Tidak ada ponsel, tidak ada laporan, tidak ada dunia luar," bisik Daniel, suaranya dalam dan serak, memancarkan otoritas yang jauh lebih menggairahkan daripada perintah rapat manapun.Ia mencium Alya dengan intensitas yang tak tertahankan. Ciuman itu adalah janji, sekaligus penaklukan. Daniel menciumnya seolah ia haus akan delapan tahun yang hilang, seolah Alya adalah warisan paling berharga yang harus ia klaim.Alya, meskipun jiwanya berteriak menolak kendali Daniel, tidak bisa menipu tubuhnya. Gairah Daniel adalah kekuatan alam yang ia coba lawan, namun selalu berakhir dengan penyerahan diri. Ia merangkul leher Daniel, membiarkan dirinya ditarik ke dalam
Kemenangan Daniel di rapat direksi, yang didukung oleh "pengkhianatan" Alya terhadap Bapak Wijaya, terasa manis sekaligus pahit. Publik melihat Alya sebagai Manajer Senior yang brilian, yang dengan cepat beradaptasi dengan visi baru CEO. Mereka melihatnya sebagai tangan kanan Daniel, sosok kunci dalam revolusi Arkana Corp.Namun, di dalam diri Alya, rasa bersalah itu mulai berkarat.Setelah rapat itu, Bapak Wijaya mengirim email singkat kepada Alya. Semoga keputusan ini sepadan, Alya. Kalimat itu menusuk hati Alya lebih dalam daripada kemarahan atau teguran apapun. Ia tahu, ia telah kehilangan kepercayaan seorang mentor.Alya mencoba menyalurkan rasa bersalahnya menjadi kerja keras yang lebih intens. Ia fokus membuat strategi baru Daniel berhasil, berharap keberhasilan itu bisa membenarkan cara-cara kotor yang ia gunakan. ***Tiga minggu berlalu. Hubungan Alya dan Daniel semakin intim dan tersembunyi. Mereka bertemu di apartemen mewah Daniel yang kosong, jauh dari mata kantor. Di s
Setelah ciuman di malam pengkhianatan itu, hubungan Alya dan Daniel memasuki fase berbahaya. Di siang hari, di mata karyawan dan direksi, Alya tetaplah Manajer Senior yang profesional, sedangkan Daniel adalah CEO yang menuntut.Namun, begitu pintu kaca ruang eksekutif tertutup dan jam kerja berakhir, batas-batas itu runtuh total.Ruangan kerja Alya, yang terpisah dari kantor Daniel hanya oleh dinding kaca buram, menjadi saksi bisu keintiman terlarang mereka. Kopi hitam yang dulu disajikan sebagai tanda otoritas, kini menjadi pembuka diskusi pribadi yang hangat, sering kali diakhiri dengan sentuhan dan bisikan.Daniel, di luar imej CEO-nya, adalah pria muda yang penuh gairah dan perhatian. Ia terobsesi pada Alya, dan obsesi itu menyenangkan sekaligus mencekik. Ia tidak hanya menginginkan tubuh Alya, tetapi juga otaknya, dan yang paling penting, kendali penuh atas emosinya. ***Suatu sore, setelah semua karyawan pulang, Alya dan Daniel duduk di sofa kantor Daniel, berhadapan langsu







