LOGINAlya tidak bisa bicara, hanya menatap mata Daniel. Perbedaan usia 10 tahun, hierarki kantor, dan masa lalu yang rumit, semuanya melebur menjadi ketegangan gairah yang tak tertahankan.
"Me-menangkan aku." Pengakuan Daniel di kantornya mengubah segalanya. Udara di lantai eksekutif kini terasa seperti medan magnet, di mana setiap gerakan dan pandangan di antara Alya dan Daniel dipenuhi dengan tarikan yang berbahaya. Alya kembali ke ruang kerjanya. Tubuhnya terasa lemas, dan pikirannya dipenuhi dengan citra Daniel yang membungkuk, bisikan pengakuan, dan sentuhan jarinya. Daniel adalah CEO, sepuluh tahun lebih muda, dan ia baru saja menyatakan bahwa penempatan Alya di samping kantornya adalah wujud obsesi. Ia harus menjaga jarak. Ia harus kembali fokus pada laporan dan menanggapi Daniel sebagai atasan, bukan sebagai pria yang menyimpan kenangan masa kecil tentangnya. Namun, Daniel tidak membiarkan itu mudah. Selama dua hari berikutnya, Daniel meningkatkan tekanan kerja. Setiap keputusan strategis harus melalui diskusi privat di kantornya. Ia bahkan sering kali memanggil Alya setelah jam kerja, bukan untuk membahas laporan, tetapi untuk mengajukan pertanyaan retoris tentang masa depan perusahaan atau masa depan mereka. Pada Jumat malam, Alya adalah satu-satunya yang tersisa di lantai eksekutif. Ia sedang memeriksa data pasar, merasa frustrasi karena ia tahu Daniel sedang mengawasinya dari kantor sebelah. Pintu kaca terbuka. Daniel masuk tanpa mengetuk, kali ini tanpa jas, hanya kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan otot lengan yang kencang. Ia terlihat lebih seperti pria berusia 20-an, bukan CEO perusahaan besar. “Kau belum pulang, Alya,” katanya, nadanya bukan pertanyaan, melainkan pernyataan yang hangat. “Data ini masih bermasalah, Bapak Daniel. Saya mencari sumber anomali,” jawab Alya, mencoba terdengar profesional. Daniel berjalan mendekat, mengambil kursi di depan meja Alya. Ia tidak melihat tablet Alya, matanya lurus ke mata Alya. “Lupakan data itu sebentar. Aku ingin kau jujur,” Daniel berkata, menggunakan kata 'aku' alih-alih 'saya', menghapus batas formalitas yang tersisa. “Kau tahu apa yang aku inginkan, dan kau tahu kau merasakannya juga.” Alya menelan ludah. “Saya hanya merasakan tekanan untuk segera memenuhi visi Anda, Bapak Daniel.” Daniel tersenyum, senyum yang menggoda. “Jangan bodoh, Alya. Kau dan aku, delapan tahun yang lalu di lorong ini, sudah terikat oleh sebuah memori. Dan memori itu, bagi seorang CEO yang kembali setelah delapan tahun, adalah kekuatan.” Ia memajukan tubuhnya, mencondongkan diri ke meja kerja Alya. “Aku ingin kau membuktikan padaku bahwa kau sudah tidak terikat oleh ‘status quo’ baik dalam strategi maupun dalam emosimu,” bisik Daniel. “Malam ini, jam 11 tepat. Ada tender proyek besar yang akan dibuka oleh perusahaan kompetitor kita. Aku butuh summary proposal mereka yang bocor, sekarang.” Alya terperanjat. “Anda meminta saya melakukan espionage perusahaan? Itu—itu melanggar etika, Daniel.” Daniel mengabaikan kekhawatiran etika Alya. Ia meletakkan telapak tangannya di atas tangan Alya yang gemetar di atas meja. Sentuhan itu melucuti semua keberatan Alya. “Aku tidak memintamu, aku memerintahkanmu, Alya. Buktikan padaku, kau tidak lagi takut pada risiko. Buktikan padaku, kau siap menjadi partnerku—dalam segala hal,” Daniel menekannya, matanya memancarkan gairah dan otoritas. Alya menatapnya. Permintaan itu adalah jurang yang gelap. Melakukannya berarti menghancurkan integritas profesionalnya. Menolaknya berarti Daniel akan melihatnya sebagai 'kaku' dan ia akan kehilangan posisinya, bahkan mungkin karirnya. Di tengah kebimbangan etika itu, gairah yang dibangun Daniel selama seminggu terakhir mencapai puncaknya. Daniel perlahan mendekatkan wajahnya. Hidungnya nyaris menyentuh pipi Alya. Aroma maskulin yang mewah dari parfum Daniel membanjiri indra Alya. “Lakukan itu, Alya. Dan tunjukkan padaku bahwa gairah yang kita rasakan ini, sepadan dengan risikonya,” bisik Daniel, sebelum ia menyatukan bibir mereka. Ciuman itu dingin, menuntut, penuh dengan otoritas dan hasrat yang terpendam. Itu bukan ciuman manis, itu adalah penaklukan. Ciuman CEO muda yang memaksa senior managernya untuk memilih,Etika atau Obsesi? Alya memejamkan mata, merasakan api gairah yang ia tekan selama berhari-hari kini membalas ciuman itu, menerima taruhan berbahaya yang baru saja mereka mainkan. "Apa kau menikmati ini alya?"Pagi setelah malam yang membara di kantor dan kamar Daniel terasa surreal. Alya terbangun di apartemen mewah Daniel, yang kini menjadi "sarang" rahasia mereka. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit di atas cakrawala Jakarta. Ia adalah wanita yang sama, Manajer Senior yang sama, tetapi ia membawa rahasia yang jauh lebih berat. Daniel sudah bangun, menyiapkan kopi dan sarapan ringan. Ia bertingkah seperti kekasih yang posesif dan lembut, bukan CEO yang menuntut. "Aku membiarkanmu tidur lebih lama. Kau pasti lelah," kata Daniel sambil tersenyum menggoda, menyinggung intensitas malam mereka. "Kita harus lebih berhati-hati, Daniel," ujar Alya, mencoba mencari celah untuk menyisipkan kembali rasionalitas ke dalam hubungan mereka. "Kita tidak boleh datang ke kantor bersamaan. Kita tidak boleh meninggalkan jejak." Daniel duduk di tepi tempat tidur, memegang tangan Alya. "Kau khawatir tentang apa yang akan dipikirkan orang-orang? Biarkan mereka berpikir. Selama kit
"Ayo," Daniel berkata, sambil mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja marmer. "Kita akan pulang. Dan kau akan tidur di ranjangku malam ini."Perjalanan dari kantor Daniel ke apartemennya terasa seperti perjalanan ke hukuman mati. Daniel mengemudi dengan tenang, namun aura dominasi yang terpancar darinya membuat Alya kaku di kursinya.Ketika mereka memasuki penthouse Daniel yang megah tempat Alya telah tinggal selama dua bulan terakhir, di bawah dalih "mempermudah akses ke kantor" semua rasa bersalah Alya mendidih menjadi ketakutan.Ini adalah tempatnya. Ini adalah sangkarnya.Daniel mematikan lampu di ruang tamu, meninggalkan mereka dalam cahaya redup dari jendela kaca yang menampilkan pemandangan seluruh Jakarta. Alya berdiri mematung di tengah karpet bulu, sementara Daniel berjalan melewatinya."Pergi mandi," perintah Daniel tanpa menoleh, suaranya kembali dingin. Ia membuka lemari es, mengeluarkan sebotol air mineral dingin. "Aku akan menunggumu di kamar."Alya merasa terh
Daniel tidak bergeming. Pelukannya semakin mengerat, membuat Alya kesulitan bernapas, bukan karena fisik, tapi karena beban emosional dari keintiman yang baru saja mereka bagi.Keheningan yang menggantung setelah puncak gairah itu jauh lebih memekakkan telinga daripada erangan atau bisikan mereka sebelumnya.Lampu-lampu kota yang semula tampak romantis kini terasa seperti mata-mata. Alya bisa melihat pantulan dirinya dan Daniel di jendela dua sosok yang saling berpelukan, telanjang, di dalam kantor CEO yang seharusnya menjadi simbol profesionalisme yang dingin.Ia mencoba bergerak, namun Daniel menahannya."Jangan bergerak," perintah Daniel, suaranya kini tenang, namun memancarkan otoritas yang jauh lebih menakutkan karena diselimuti oleh kepuasan. Ia mencium puncak kepala Alya, menghirup aroma sampo mahal yang bercampur dengan aroma keringat mereka sendiri. "Aku hanya ingin seperti ini sebentar."Alya memejamkan mata. Kata-kata Daniel, "Kamu sudah membuat aku gila, Alya Pranata," te
Lampu kota Jakarta di luar jendela kantor Daniel adalah satu-satunya saksi.Setelah Alya membatalkan janji dengan Sarah, Daniel tidak membiarkan keraguan atau rasa bersalah Alya bertahan lama. Ia membalikkan Alya, menatap lurus ke dalam matanya, dan semua sisa profesionalisme menghilang dari tatapannya."Kau milikku di sini, Alya. Tidak ada ponsel, tidak ada laporan, tidak ada dunia luar," bisik Daniel, suaranya dalam dan serak, memancarkan otoritas yang jauh lebih menggairahkan daripada perintah rapat manapun.Ia mencium Alya dengan intensitas yang tak tertahankan. Ciuman itu adalah janji, sekaligus penaklukan. Daniel menciumnya seolah ia haus akan delapan tahun yang hilang, seolah Alya adalah warisan paling berharga yang harus ia klaim.Alya, meskipun jiwanya berteriak menolak kendali Daniel, tidak bisa menipu tubuhnya. Gairah Daniel adalah kekuatan alam yang ia coba lawan, namun selalu berakhir dengan penyerahan diri. Ia merangkul leher Daniel, membiarkan dirinya ditarik ke dalam
Kemenangan Daniel di rapat direksi, yang didukung oleh "pengkhianatan" Alya terhadap Bapak Wijaya, terasa manis sekaligus pahit. Publik melihat Alya sebagai Manajer Senior yang brilian, yang dengan cepat beradaptasi dengan visi baru CEO. Mereka melihatnya sebagai tangan kanan Daniel, sosok kunci dalam revolusi Arkana Corp.Namun, di dalam diri Alya, rasa bersalah itu mulai berkarat.Setelah rapat itu, Bapak Wijaya mengirim email singkat kepada Alya. Semoga keputusan ini sepadan, Alya. Kalimat itu menusuk hati Alya lebih dalam daripada kemarahan atau teguran apapun. Ia tahu, ia telah kehilangan kepercayaan seorang mentor.Alya mencoba menyalurkan rasa bersalahnya menjadi kerja keras yang lebih intens. Ia fokus membuat strategi baru Daniel berhasil, berharap keberhasilan itu bisa membenarkan cara-cara kotor yang ia gunakan. ***Tiga minggu berlalu. Hubungan Alya dan Daniel semakin intim dan tersembunyi. Mereka bertemu di apartemen mewah Daniel yang kosong, jauh dari mata kantor. Di s
Setelah ciuman di malam pengkhianatan itu, hubungan Alya dan Daniel memasuki fase berbahaya. Di siang hari, di mata karyawan dan direksi, Alya tetaplah Manajer Senior yang profesional, sedangkan Daniel adalah CEO yang menuntut.Namun, begitu pintu kaca ruang eksekutif tertutup dan jam kerja berakhir, batas-batas itu runtuh total.Ruangan kerja Alya, yang terpisah dari kantor Daniel hanya oleh dinding kaca buram, menjadi saksi bisu keintiman terlarang mereka. Kopi hitam yang dulu disajikan sebagai tanda otoritas, kini menjadi pembuka diskusi pribadi yang hangat, sering kali diakhiri dengan sentuhan dan bisikan.Daniel, di luar imej CEO-nya, adalah pria muda yang penuh gairah dan perhatian. Ia terobsesi pada Alya, dan obsesi itu menyenangkan sekaligus mencekik. Ia tidak hanya menginginkan tubuh Alya, tetapi juga otaknya, dan yang paling penting, kendali penuh atas emosinya. ***Suatu sore, setelah semua karyawan pulang, Alya dan Daniel duduk di sofa kantor Daniel, berhadapan langsu







