Home / Romansa / Gairah Sang CEO Muda / Terperangkap di Ruang CEO

Share

Terperangkap di Ruang CEO

Author: Vianita
last update Last Updated: 2025-12-01 23:01:54

"Sial." Alya meninggalkan ruang rapat dengan napas tercekat, bukan karena lelah, tetapi karena marah.

Daniel tidak hanya menolak proyek "Zenith" yang sudah disiapkan, tetapi ia secara eksplisit menunjuk Alya sebagai Manajer yang "terlalu terikat dengan masa lalu" dan memintanya segera menyusun ulang strategi pemasaran total.

Alya kembali ke mejanya, wajahnya menahan emosi. Sarah, rekan kerjanya, menghampiri dengan ekspresi khawatir.

“Kau baik-baik saja, Alya? Dia benar-benar menguliti Pak Wijaya dan kau di sana,” bisik Sarah.

“Aku baik. Hanya perlu bekerja. CEO baru, aturan baru,” jawab Alya datar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, ketenangan Alya segera terenggut. Beberapa menit kemudian, email dari Daniel mendarat di kotak masuknya.

Bukan memo umum, melainkan perintah langsung.

> Subjek: RE: Strategi Pemasaran Revolusioner

> Manajer Alya Pranata,

> Ruang Pemasaran Divisi Senior tidak cukup cepat. Saya ingin tim inti yang dipimpin langsung oleh Anda, bekerja dari ruang khusus di lantai eksekutif, di sebelah kantor saya.

> Saya butuh laporan kemajuan, secara real-time. Jam kerja tidak terbatas, sampai kita menemukan visi yang saya inginkan.

> Saya menantikan progres Anda.

> Daniel Arkana, CEO

>

Alya membaca email itu tiga kali. Di sebelah kantornya? Jam kerja tidak terbatas? Ini bukan hanya tentang revolusi perusahaan, ini adalah bentuk kendali total.

Daniel sengaja menempatkannya di bawah mikroskop.

Sore itu, Alya pindah ke lantai eksekutif. Ruangan yang dimaksud Daniel ternyata adalah lounge kecil yang diubah menjadi ruang kerja minimalis, hanya dipisahkan oleh dinding kaca buram dari kantor Daniel yang luas.

Alya bisa melihat bayangan Daniel yang sedang bekerja, postur tegapnya yang tak pernah berubah.

Malam menjelang larut. Alya dan timnya tenggelam dalam data dan brainstorming. Perutnya terasa lapar dan matanya mulai perih.

Tepat pukul 22:30, sebuah ketukan terdengar di pintu kaca. Itu Daniel. Ia memegang dua cangkir kopi hitam dan sekotak kue kering.

“Istirahat sebentar, Manajer,” kata Daniel, meletakkan cangkir dan kotak itu di meja Alya.

Alya terkejut. Ini adalah sisi Daniel yang belum pernah ia lihat, CEO yang menyajikan kopi.

“Terima kasih, Bapak Daniel. Tapi kami harus segera menyelesaikan revisi awal ini,” jawab Alya, menjaga jarak.

Daniel bersandar di ambang pintu, melipat tangan di dada. Matanya tidak lagi menunjukkan kemarahan, tetapi semacam kelelahan yang sama yang dirasakan Alya.

“Saya tahu kemampuan Anda, Alya. Delapan tahun di sini bukan hanya angka, itu adalah pengabdian yang gila,” ujar Daniel pelan, nadanya lebih manusiawi dari sebelumnya.

Alya menatapnya.

Ia merasa terombang-ambing oleh pujian tak terduga itu.

“Kenapa Anda begitu yakin harus merombak semuanya dengan drastis?” tanya Alya, melepaskan topeng profesionalnya sejenak.

Daniel membalas tatapannya, kini pandangan itu berubah, ada lapisan yang lebih personal.

“Karena saya melihat jauh ke depan. Dan saya tahu, untuk sampai ke sana, saya harus bergerak cepat. Saya harus membuktikan diri saya layak atas warisan ini.”

Daniel berjalan mendekat, mengambil salah satu cangkir kopi yang ia bawa dan memberikannya pada Alya. Jari-jari mereka bersentuhan sesaat. Sentuhan itu ringan, tapi menghasilkan arus listrik yang memabukkan.

"Anda satu-satunya orang di perusahaan ini yang bisa mengimbangi saya dalam hal obsesi pada kesempurnaan. Itu sebabnya saya menempatkan Anda di sini," bisik Daniel, suaranya rendah.

Alya merasakan pipinya memanas. Kedekatan fisik dan pengakuan yang intens itu terlalu personal. Itu adalah batas profesional yang berbahaya.

Daniel menahan tatapannya, seolah ia bisa membaca gejolak di dalam diri Alya. Ia membiarkan keheningan itu meluas, mengisi celah di antara mereka dengan ketegangan yang hanya bisa dipicu oleh gairah yang terpendam.

Tiba-tiba, Daniel tersenyum-senyum yang menghancurkan semua pertahanan Alya.

“Dulu, Anda adalah orang pertama yang membentak saya di perusahaan ini. Saya masih ingat." bisik Daniel.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Sang CEO Muda   Ujian di Depan Mata

    Pagi setelah malam yang membara di kantor dan kamar Daniel terasa surreal. Alya terbangun di apartemen mewah Daniel, yang kini menjadi "sarang" rahasia mereka. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit di atas cakrawala Jakarta. Ia adalah wanita yang sama, Manajer Senior yang sama, tetapi ia membawa rahasia yang jauh lebih berat. Daniel sudah bangun, menyiapkan kopi dan sarapan ringan. Ia bertingkah seperti kekasih yang posesif dan lembut, bukan CEO yang menuntut. "Aku membiarkanmu tidur lebih lama. Kau pasti lelah," kata Daniel sambil tersenyum menggoda, menyinggung intensitas malam mereka. "Kita harus lebih berhati-hati, Daniel," ujar Alya, mencoba mencari celah untuk menyisipkan kembali rasionalitas ke dalam hubungan mereka. "Kita tidak boleh datang ke kantor bersamaan. Kita tidak boleh meninggalkan jejak." Daniel duduk di tepi tempat tidur, memegang tangan Alya. "Kau khawatir tentang apa yang akan dipikirkan orang-orang? Biarkan mereka berpikir. Selama kit

  • Gairah Sang CEO Muda   Apartemen

    "Ayo," Daniel berkata, sambil mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja marmer. "Kita akan pulang. Dan kau akan tidur di ranjangku malam ini."Perjalanan dari kantor Daniel ke apartemennya terasa seperti perjalanan ke hukuman mati. Daniel mengemudi dengan tenang, namun aura dominasi yang terpancar darinya membuat Alya kaku di kursinya.Ketika mereka memasuki penthouse Daniel yang megah tempat Alya telah tinggal selama dua bulan terakhir, di bawah dalih "mempermudah akses ke kantor" semua rasa bersalah Alya mendidih menjadi ketakutan.Ini adalah tempatnya. Ini adalah sangkarnya.Daniel mematikan lampu di ruang tamu, meninggalkan mereka dalam cahaya redup dari jendela kaca yang menampilkan pemandangan seluruh Jakarta. Alya berdiri mematung di tengah karpet bulu, sementara Daniel berjalan melewatinya."Pergi mandi," perintah Daniel tanpa menoleh, suaranya kembali dingin. Ia membuka lemari es, mengeluarkan sebotol air mineral dingin. "Aku akan menunggumu di kamar."Alya merasa terh

  • Gairah Sang CEO Muda   Setelah Badai

    Daniel tidak bergeming. Pelukannya semakin mengerat, membuat Alya kesulitan bernapas, bukan karena fisik, tapi karena beban emosional dari keintiman yang baru saja mereka bagi.Keheningan yang menggantung setelah puncak gairah itu jauh lebih memekakkan telinga daripada erangan atau bisikan mereka sebelumnya.Lampu-lampu kota yang semula tampak romantis kini terasa seperti mata-mata. Alya bisa melihat pantulan dirinya dan Daniel di jendela dua sosok yang saling berpelukan, telanjang, di dalam kantor CEO yang seharusnya menjadi simbol profesionalisme yang dingin.Ia mencoba bergerak, namun Daniel menahannya."Jangan bergerak," perintah Daniel, suaranya kini tenang, namun memancarkan otoritas yang jauh lebih menakutkan karena diselimuti oleh kepuasan. Ia mencium puncak kepala Alya, menghirup aroma sampo mahal yang bercampur dengan aroma keringat mereka sendiri. "Aku hanya ingin seperti ini sebentar."Alya memejamkan mata. Kata-kata Daniel, "Kamu sudah membuat aku gila, Alya Pranata," te

  • Gairah Sang CEO Muda   Keheningan yang Berapi-api

    Lampu kota Jakarta di luar jendela kantor Daniel adalah satu-satunya saksi.Setelah Alya membatalkan janji dengan Sarah, Daniel tidak membiarkan keraguan atau rasa bersalah Alya bertahan lama. Ia membalikkan Alya, menatap lurus ke dalam matanya, dan semua sisa profesionalisme menghilang dari tatapannya."Kau milikku di sini, Alya. Tidak ada ponsel, tidak ada laporan, tidak ada dunia luar," bisik Daniel, suaranya dalam dan serak, memancarkan otoritas yang jauh lebih menggairahkan daripada perintah rapat manapun.Ia mencium Alya dengan intensitas yang tak tertahankan. Ciuman itu adalah janji, sekaligus penaklukan. Daniel menciumnya seolah ia haus akan delapan tahun yang hilang, seolah Alya adalah warisan paling berharga yang harus ia klaim.Alya, meskipun jiwanya berteriak menolak kendali Daniel, tidak bisa menipu tubuhnya. Gairah Daniel adalah kekuatan alam yang ia coba lawan, namun selalu berakhir dengan penyerahan diri. Ia merangkul leher Daniel, membiarkan dirinya ditarik ke dalam

  • Gairah Sang CEO Muda   Tali Pengikat Emas

    Kemenangan Daniel di rapat direksi, yang didukung oleh "pengkhianatan" Alya terhadap Bapak Wijaya, terasa manis sekaligus pahit. Publik melihat Alya sebagai Manajer Senior yang brilian, yang dengan cepat beradaptasi dengan visi baru CEO. Mereka melihatnya sebagai tangan kanan Daniel, sosok kunci dalam revolusi Arkana Corp.Namun, di dalam diri Alya, rasa bersalah itu mulai berkarat.Setelah rapat itu, Bapak Wijaya mengirim email singkat kepada Alya. Semoga keputusan ini sepadan, Alya. Kalimat itu menusuk hati Alya lebih dalam daripada kemarahan atau teguran apapun. Ia tahu, ia telah kehilangan kepercayaan seorang mentor.Alya mencoba menyalurkan rasa bersalahnya menjadi kerja keras yang lebih intens. Ia fokus membuat strategi baru Daniel berhasil, berharap keberhasilan itu bisa membenarkan cara-cara kotor yang ia gunakan. ***Tiga minggu berlalu. Hubungan Alya dan Daniel semakin intim dan tersembunyi. Mereka bertemu di apartemen mewah Daniel yang kosong, jauh dari mata kantor. Di s

  • Gairah Sang CEO Muda   Dualisme di Balik Kaca Buram

    Setelah ciuman di malam pengkhianatan itu, hubungan Alya dan Daniel memasuki fase berbahaya. Di siang hari, di mata karyawan dan direksi, Alya tetaplah Manajer Senior yang profesional, sedangkan Daniel adalah CEO yang menuntut.Namun, begitu pintu kaca ruang eksekutif tertutup dan jam kerja berakhir, batas-batas itu runtuh total.Ruangan kerja Alya, yang terpisah dari kantor Daniel hanya oleh dinding kaca buram, menjadi saksi bisu keintiman terlarang mereka. Kopi hitam yang dulu disajikan sebagai tanda otoritas, kini menjadi pembuka diskusi pribadi yang hangat, sering kali diakhiri dengan sentuhan dan bisikan.Daniel, di luar imej CEO-nya, adalah pria muda yang penuh gairah dan perhatian. Ia terobsesi pada Alya, dan obsesi itu menyenangkan sekaligus mencekik. Ia tidak hanya menginginkan tubuh Alya, tetapi juga otaknya, dan yang paling penting, kendali penuh atas emosinya. ***Suatu sore, setelah semua karyawan pulang, Alya dan Daniel duduk di sofa kantor Daniel, berhadapan langsu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status