Share

PENGAKUAN ANDRA

"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.

Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran.

"M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.

Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama."

"I-iya, Pak."

Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.

Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.

Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?

Kenapa, kenapa, kenapa?

Zie merafal istighfar dalam hati, pikiran konyolnya terlalu jauh melantur, sehingga bentakan Pak Gayus menggetarkan gendang telinganya.

"Ziiie ...."

"Iya, Pak, iya. Saya segera ke sana!"

Duh, mau ngapain, sih, Pak Andra manggil aku segala, perasaan aku gak punya kesalahan kerja! Otak Zie berputar mencari sekelumit masalah yang tercipta tanpa sengaja, sehingga dia disuruh menghadap ketua.

Tidak ada! Semua baik-baik saja.

"Zie, mudah-mudahan Pak Andra ngajak merit. Jangan lupa kabari hasil pertemuannya, ya?" Rena kepo, menaik-turunkan alis, dengan ekspresi konyol.

"Dasar bubuk terigu sisa dipatuk ayam!" Zie melempar gulungan kertas yang dia remas ke arah Rena, lantas meninggalkan gadis mungil yang sedang terkikik.

**

Debur di dada kian meningkat gelombangnya, lima menit Zie berdiri di hadapan pintu bertuliskan nama pria si penabuh genderang rasa di dalam dada. 

Entah rasa yang bagaimana, saking banyak yang dia rasakan, sehingga Zie sendiri kesulitan mendeksprisikannya.

Ketukan dua kali dari jarinya langsung mendapat sahutan dari dalam. Selepas membanting napas, Zie mengumpulkan kekuatan untuk mengantisipasi, takut sesuatu terjadi, seperti tempo hari.

Pintu berdecit pelan, Zie melangkah penuh irama kehati-hatian, seakan takut ujung lancip heeghilss yang dipakainya meninggalkan goresan pada keramik marmer mahal indah mengilat. 

Perasaan takjub kembali menari-nari di mata Zie saat menginjakkan lagi di kantor mewah bernuansa elegan. Aroma lavender menyambar indera penciuman membuat hati sang gadis kembali dirasuki damai.

Namun, hanya sekilat rasa tentram itu menyapa, saat pandangan bersirobok dengan netra legam milik Andra, gemuruh di dalam dada kembali berulah. Mengundang keluh tidak berkesudahan di hati Zie.

"Se-selamat pagi jelang siang, Pak." Meskipun sudah mati-matian mengatur nada suara agar tidak kentara dengan kegugupan, hasilnya tetap saja memalukan.

Andra tidak menjawab. Punggung bersandar di sandaran kursi kebesaran, siku bertumpu di lengan kursi dengan jari ditaruh di bibir. Matanya mengamati lekuk padat indah yang pernah membuatnya seperti minum Vodka, memabukan. 

Andra melempar tatapan yang mampu membekukan sel-sel saraf dalam tubuh Zie, serta membuat jantung liar berlompatan. Sang gadis memilih menunduk, menatap mesra sepatunya.

"Kamu tau kenapa aku memanggilmu?" Suara berat Andra memecah kesunyian.

Zie menggeleng, tanpa berani mengubah posisinya berdiri sambil tertunduk dalam. 

"Duduk!" titah Andra tegas.

Tanpa menimpali, Zie mengikuti perintah sang bos. Kini mereka saling duduk berhadapan yang disekat meja tengah-tengah.

Gadis itu tetap setia menunduk, kali ini remasan jemari lengket dibasahi keringat yang jadi sasaran, ketimbang menatap pria tampan bak dewa di seberang sana.

Andra menggeser kertas yang sedari tadi teronggok di atas benda persegi panjang yang terbuat dari jati hitam di depannya ke hadapan Zie.

"Kamu membohongi perusahaan ... Zievana." Ucapan Andra sukses mendongakkan kepala Zie. Keningnya nyaris menyatu.

"Maksud, Pak Andra?"

"Dalam formulir tertulis statusmu belum menikah, nyatanya kamu sudah bersuami bahkan sudah memiliki anak. Bisa kamu jelaskan ... Zievana?!"

"Pak ... a-aku--"

"Zievana!" Andra tidak memberi kesempatan Zie melakukan pembelaan.

Sang pria beranjak dari kursi, kemudian memutari pinggir meja. Berikutnya pria itu menaruh pantat di sisi meja, samping gadis yang tengah menggigit bawah bibirnya.

Ekspresi dan tingkah Zie demikian justru mengundang cairan merah pekat dalam tubuh sang pria menggelegak, panas. Kelopak tipis merah sensual itu yang paling Andra candui.

Andra menahan semua rasa yang membuncah dengan mengalihkan tatapan pada kertas berupa formulir data-data kerja milik Zie. Jarinya diketukkan pada lembar putih tersebut. 

"Kamu mulai bekerja tepat satu tahun, di sini tidak dijelaskan kamu cuti hamil, bahkan masih single. Katakan ... apa maksud semua ini?"

Zie terhenyak. Otaknya bekerja dalam diam, merangkai tanya bagaimana Andra bisa tahu dirinya memiliki anak. Sedangkan sewaktu melamar kerja, dalam data-datanya ia tulis tidak memiliki pasangan.

Hanya Rena yang tahu perihal dirinya di luar kantor, tapi tidak mungkin sahabatnya itu yang membocorkan. Zie sangat mengenal luar dalamnya gadis mungil itu, jadi tidak mungkin melakukannya.

"Bu-bukankah setiap perusahaan tidak ada peraturan mengenai sudah punya anak atau belum, masih gadis atau sudah menikah, yang penting kriteria kerjanya,  dan saat melamar sedang tidak hamil, sedangkan aku mengikuti prosedur menunggu melahirkan dahulu baru melamar kerja." Zie mendongak, memberanikan menantang netra legam yang semula menyorot tajam, kini tatapan sendu nan lembut yang terpancar di sana.

Andra bersikap jemawa, tangan bersedekap di depan dada. Penuturan Zie yang panjang lebar sesungguhnya menuai puji secara diam-diam, bahwa gadis itu memilih kata yang tepat sebagai pembelaan.

Andra menarik sang gadis supaya berdiri. Membuat Zie sejajar di depannya. Dua tatapan beradu, menimbulkan satu desiran yang sama.

Zie kembali menunduk, takut Andra membaca ada gejolak dahsyat dalam dada yang merangkak ke mata.

"Memang! Kasusmu bukan karena kamu sudah menikah dan punya anak, tapi caramu itu menipu perusahaan dengan data-data bodong. Dan itu bukan masalah sepele bagi perusahaan Pranajaya. Kami tidak menerima data-data palsu, paham?!" Lembut, tapi mengandung ancaman terselubung, untaian yang Andra dengungkan.

Zie disergap gundah, yang dikatakan Andra tidak bisa didebat balik. Bagaimana kalau berakhir pada pemecatan dirinya. Ketakutan tercetak jelas di wajah pucat kesi itu.

"Apakah pria yang mengantarmu tadi ... suamimu?" Andra menyelipkan anak rambut Zie ke belakang telinga, tersebab menghalangi pemandangannya pada wajah cantik itu.

"Derry?"

"Hmmm, jadi namanya Derry?" Terdengar sinis saat mengucap nama itu.

Zie mengangguk kecil. Jari telunjuk Andra bertingkah dengan lembut, menyusuri pelipis, turun ke pipi, dan berakhir menyapu bibir tipis bergetar. Kembali sang gadis menggigit sekerat daging kenyal merah delima bagian bawah miliknya, sehingga gerakan jari terhenti.

Sial! Andra merutuki akalnya yang mulai terkontaminasi oleh hasrat yang terpancing.

"Berhentilah melakukan itu, Zievana!" sentak Andra, seraya meluruskan badan menjadi berdiri tegap. Sorot elang itu kembali menajam.

Zie tersentak mundur, tidak mengerti maksud Andra.

"Kenapa kamu selalu kabur dariku? Kenapa kamu tidak memberiku kesempatan menemuimu? Kenapa kamu membuat sekeping hati sekarat akan rindu, dan .... Kenapa kamu mengkhianatiku, Zievana Khairunisa?!" Andra sedikit mengguncang bahu Zievana.

Mulut gadis itu menganga, rasa hangat dan nyaman tiba-tiba menjalar di rongga dada, disebabkan kalimat demi kalimat pengakuan secara spontan yang didengungkan Andra dengan penuh penekanan.

Namun, kata terakhir menimbulkan satu pertanyaan di benak Zie, 'Aku mengkhianatinya tentang apa?'

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status