Share

Bab 4. Surat Perjanjian (2)

Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat.

Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang.

“Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun.

Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kali dua belas bulan dan kembali dikalikan lagi dengan angka sepuluh? Oh Tuhan! Untuk membayangkan totalnya saja sudah membuat Sandra keliyengan.

“Apa kamu masih ingin mengundurkan diri?” tanya Aga memastikan. Menyipitkan pandangannya, kembali beradu pandangan dengan Sandra yang telah menegakkan kepala.

“Bagaimana jika aku ngga mampu membayar dendanya?” lemahnya bertanya.

“Bos Sean akan memasukkanmu ke dalam penjara.”

Mencelos sudah hatinya Sandra. “Pe-penjara?” sahut Sandra terbata.

Kerja jantungnya semakin keras saja didalam bekerja, membuatnya kesusahan hanya untuk sekedar menelan salaivanya pelan. Bersitatap dengan dinginnya kedua sorot mata Aga yang mengangguk pelan.

"Penjara," kata Aga seolah menekankan, melambungkan ketakutan yang sedari tadi sudah mendera hati wanita cantik di depannya.

"Penjara," lirih Sandra kembali. Sungguh ingin sekali ia menangis saat ini, lebih memilih untuk segera membuang pandangannya ke arah bawah. "Penjara," batinnya mengulangi, mengulaskan senyuman getirnya, mengusap bibir ranumnya pelan.

“Aga!” suara bariton tiba tiba saja terdengar. Sungguh berhasil menjingkatkan tubuh Sandra yang segera menolehkan kepalanya ke arah suara, seiring dengan berdirinya Aga cepat menghadap Tuannya.

“Saya Bos.”

Mempercepat degupan di jantung Sandra. Susah sekali untuk ia bisa mengendalikan kondisi tubuhnya yang gemetar. Memperhaikan langkah tegap sang bos besar, tampak melenggangkan kaki mendekati.

“Sudah kamu jelaskan semuanya?” datar Sean.

“Belum, Bos.”

Menyipitkan pandangan Sean, menolehkan kepalanya ke arah Sandra yang telah menundukkan kepala, ikut berdiri perlahan.

“Saya harus menunjukkan kembali mengenai klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan.” Aga menginformasikan.

“Kenapa kamu harus menunjukkanya lagi?” Kini Sean mengerutkan keningnya, mengarahkan pandangannya segera ke Asisten pribadi barunya. “Apa dia berencana untuk mengundurkan diri?”  Menghujam ke arah Sandra. Semakin dibuatnya ketakutan, menganggukkan pelan kepala Aga membenarkan.

“Benar Bos,”

Dan disambut oleh senyuman kecut di bibir Sean. “Belum ada satu jam kamu bekerja disini tapi sekarang sudah ingin mengundurkan diri?”

Mengelukan lidah Sandra. Untuk sekedar mengangkat wajahnya saja ia tak kuasa apalagi harus mejawab pertanyaan dari Sean.

"Angkat kepalamu Nona Sandra!" titah  Sean. Sungguh hatinya kesal sekali jika tak saling bersitatap disaat berbicara.

Seiring dengan menengaknya kepala Sandra cepat, manatapnya nanar.

“Kenapa kamu ingin mengundurkan diri?” tanya Sean.

“Karena,” dag dig dug kerja jantung Sandra semakin keras, bertalu tak karuan sebagai tanda dari rasa takutnya yang tak kunjung mereda, melainkan kian melambung tinggi, mengusai diri. “Karena saya,-“ susah sekali untuknya bisa melanjutkan kalimat, tak berani menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan buliran bening di balik kelopak mata basahnya.

"Karena saya," lanjut Sandra. Sesaat sebelum dibuat berjingkat oleh sentakan dari Sean yang tak sabar.

“JAWAB!” bagaikan petir yang menggelegar menerpa terlinga Sandra.

“Karena saya takut dengan Anda dan saya nggak nyaman bekerja dengan Anda,” jawab cepat Sandra. Dalam satu tarikan napas, menundukkan kepalanya.

"Tegakkan kepalamu! harus berapa kali aku harus bilang agar kamu menegakkan kepala disaat berbicara denganku?"

"Ma-maaf Bos." Gemetar sudah tubuh  Sandra. Ingin meluruhkan sejenak saja badannya ini di atas sofa ataupun lantai, namun mana berani ia melakukannya.

“Salah satu tugas kamu adalah selalu menjawab pertanyaanku dengan cepat, lugas dan tak bertele tele.” Tegas Sean, tak memperdulikan ketakutan asisten pribadi barunya.

“I-iya Bos.” Mengusap cepat jatuhnya air mata, lebih memilih untuk segera menolehkan kepalanya ke arah Aga.

"Apa yang harus aku pelajari sekarang?" tanya Sandra, harus bisa menguatkan hatinya sendiri demi untuk cerahnya masa depan ia, anak anak panti dan juga kesehatan Ibu angkatnya. "Hal apa yang disukai dan nggak disukai Bos Sean? tolong informasikan semua ke aku sekarang," Menahan kuat agar bibirnya tak sampai bergetar, meskipun susah.

Tak ada lagi pilihan lain untuk ia bisa mundur bukan? harus tetap maju dan bertahan di dalam pekerjaan yang menakutkan, dari pada harus mati sengsara di penjara, hingga menelantarkan anak anak panti yang kini telah menjadi tanggung jawabnya.

Seiring dengan bergeraknya kedua tangan Aga, akan mengambil ponsel miliknya yang tersimpan di dalam saku jas kerja.

"Pelajari warna warna ini," ucap Aga. Meletakkan ponsel di atas meja, mengalihkan pandangan Sandra. "Silangkan duduk kembali,"

Menganggukkan pelan kepala Sandra, segera mengayunkan langkahnya ragu untuk duduk di atas sofa, selepas melirik ke arah  Sean yang masih berdiri tegap sambil menyilangkan kedua tangan di atas dada. Memperhatikannya di dalam kebisuan.

"Jenis jenis warna hitam. Ebony, midnigh, ingk, crow, onys, grease, sable, jet black, spider." Lanjut Aga menerangkan, mengedikkan kepalanya ke arah contoh jenis jenis warna hitam dengan keterangan di bawahnya di dalam ponsel. "Hapalkan itu semua. Karena Bos Sean nggak akan pernah memakai baju, celana ataupun sprei diluar warna itu semua."

Menganggukkan kembali kepala Sandra. Diantara rasa bingungnya melihat semua warna yang hampir sama.

"Gold, hitam dan putih. Tiga warna yang diperbolehkan masuk ke dalam rumah ini, di dekat Bos Sean dan di Abelard Group."

"Kenapa?" Masih menyimpan buliran bening di balik kelopak matanya.

"Warna gold melambangkan kemewahan. Warna putih  melambangkan kemurnian. Dua hal yang disukai Bos Sean."

Lagi lagi menganggukkan perlahan kepala Sandra, berusaha untuk mencerna tiap baris kalimat informasi pemberian Aga disaat tertekan. "Kalau hitam? melambangkan apa?" lirih Sandra bertanya.

"Kamu bisa menanyakannya langsung ke Bos Sean."

Meremang sudah tubuhya Sandra. Membuatnya mengarahkan pandangannya spontan ke arah  Sean yang masih bergeming.

Sudah. Lebih baik menyimpan saja rasa penasarannya  ini untuk dirinya sendiri, daripada harus bertanya kepada Bosnya yang begitu sangat menakutkan. "Nggak jadi tanya aku," masih dikuasi oleh dentuman keras di dalam dada, menarik napasnya pelan untuk dia hembuskan perlahan.

"Masuk kerja jam 7 kan? dan pulangnya jam 5 sore," kembali Sandra bertanya. Hanya untuk memastikan agar ia tak pernah salah, namun malah mendapatkan gelengan kepala dari Aga.

"Bagaimana itu maksudnya? kok menggeleng begitu?" sembari meremas jemari tangannya pelan.

"Bos Sean berubah pikiran."

"Berubah  pikiran gimana?" membulatkan kedua mata Sandra secara sempurna, jantungnya kembali dipacu cepat. "Bagaimana bisa berubah pikiran begitu?" spontannya tak kenal takut. Sebelum memejamkan kedua matanya dalam, merutuki kebodohanya di dalam berucap.

"Bos Sean memiliki hak mutlak untuk mengatur kembali aturan yang telah disepakati." Masih dengan gurat wajah  datarnya, seolah tak memperdulikan gejolak rasa di dalam dada Sandra.

"Tapi kan?" ingin sekali Sandra melayangkan protesnya, namun tak berani karena kedua sorot mata Sean yang mengintimidasi. "Iya," lemahnya. Ia tak ingin cari mati, lebih  baik menganggukkan kepalanya pasrah.

"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status