Share

Bab 5. Bisakah Beradaptasi?

"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban.

"Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang."

"Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka.

"Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya."

***

Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai.

Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba.

Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang di hari Sabtu? itupun harus kembali lagi di hari Minggu..

Bagaimana dengan nasib anak anak panti jika ia tak pulang? juga Ibu Kasih. Bagaimana dengan Mama angkatnya yang kini sedang berbaring lemah di rumah sakit? siapa yang akan menjaga?

Sungguh berhasil menciptakan sebuah rasa dilema yang mendalam. Hatinya tak tega jika harus berjauhan dengan keluarganya, tapi disisi lain juga ada kengerian jika harus menolak ataupun membantah aturan Sean.

Sandra segera merogoh ponsel miliknya di kantong celana yang dia pakai, agar bisa segera menghubungi salah  satu anak panti. Sebelum mengerjakan tugas pertamanya pemberian Sean, di dalam merapikan sprei yang berserakan dan mengganti sprei ranjang.

"Halo, Kak." Suara gadis terdengar dari dalam ponsel Sandra di telinga. Memejamkan kedua mata Sandra dalam, menghela napasnya pelan.

"Adik adik kamu lagi ngapain Cin?" tanya Sandra. Kepada adik pantinya yang telah berusia tujuh  belas tahun.

"Adik adik? ada itu pada mainan di ruangan tengah. Kak Sandra pulang jam berapa?"

"Kak Sandra baru bisa pulang nanti di hari Sabtu. Karena ada aturan baru dari Bos Kak Sandra." Jawab Sandra, bertemankan dentuman keras di dalam dada. "Bisa Kak Sandra minta tolong sama kamu?"

"Apa?" terdengar menutupi kebingungan, tak berani memprotes informasi pemberian kakak tertua di panti yang sedang berjuang agar bisa menghidupi keluarga.

"Selama Kak Sandra nggak ada di rumah. Kamu jagain adik adik ya?"

"Terus Ibu gimana?"

"Ibu?" sahut Sandra. Kembali menciptakan buliran bening di balik kelopak matanya yang berkaca kaca. "Nanti Kak Sandra cari suster pribadi untuk Ibu." Gajinya pasti cukup bukan? dua puluh juta satu bulan, dengan uang itu ia pasti bisa mengcover semua kebutuhan.

Sesaat sebelum menengadahkan kepalanya ke arah  atas, merasakan bergeraknya handle pintu di atas kepala. "Kak Sandra matikan dulu," ucap cepat Sandra. Lebih memilih untuk segera berdiri dari duduknya, mematikan segera panggilan teleponnya tak kalah cepat, tanpa menunggu jawaban dari Cindy.

Bersamaan dengan terbukanya pintu kamar yang didorong dari arah depan, hingga membuat tubuhnya berjingkat kaget, memberingsut mundur ke arah belakang.

"Ngapain kamu disini?" dingin Sean. Baru saja masuk ke dalam kamar, kembali menciptakan sebuah tekanan di hati Sandra yang gemetar.

"Mau beresin sprei dan ganti sprei, Bos." Jawab Sandra, menahan kuat agar kepalanya tak menuduk dalam, memberanikan diri tetap menatap manik tajam Sean.

"Habis ngapain kamu?"

"Nggak ngapa ngapain, Bos." Menggelengkan kepalanya cepat, sedikit melirik ke arah  ponselnya yang dia remas di tangan kanan.

"Habis teleponan sama siapa?" terka Sean.

Menghenyakkan hati Sandra, segera menyembunyikan ponsel di tangan kanannya di belakang punggung. "Keluarga saya, Bos."

Menyipitkan pandangan Sean, masih dengan sikap datarnya cenderung dingin, mencari kebenaran dari kedua sorot mata Sandra yang tampak begitu ketakutan.

"Lima menit sudah kamu menghabiskan waktumu untuk bertelepon ria." cibir Sean. Mengulaskan senyuman seringainya, "Apa kamu lupa berapa waktu yang aku berikan untuk kamu membereskan semuanya?"

"Sepuluh menit, Bos."

"Lima menit sisa waktu yang kamu miliki."

Dan tak lagi membuat Sandra bersuara. Lebih memilih untuk segera mengayunkan langkahnya cepat menuju ruangan ganti. Disela hatinya yang tak berhenti berdoa, semoga Tuhan yang dia sembah membatunya, memberikan kelancaran untuk ia bisa melakukan semua tugas tugas pemberian bos barunya dengan benar dan sempurna.

"Lima menit! jangan sampai melebihi waktu itu atau kamu akan mendapatkan hukumanmu!" pekik Sean tak berperasaan.

Membulatkan kedua mata Sandra yang sedang dibuat kelabakan, "Hukuman?" batin Sandra kelimpungan.

Hukuman apa yang dimaksudkan oleh Sean? bukankah tadi sama sekali nggak ada pembicaraan mengenai hukuman? sungguh semakin dibuat bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. Karena menipisnya waktu, sedangkan banyak sekali pekerjaan yang harus dia kerjaan.

Menata kembali sprei yang berserakan di atas lantai, sebelum nantinya harus mengganti sprei menggunakan sprei baru berwarna ebony black.

"Ebony Black?" gumam Sandra. Diantara gerakan cepatnya di dalam menata Sprei untuk dia masukkan kembali ke dalam almari. Ingin sekali berteriak keras, agar bisa sedikit saja menguraikan rasa frustasinya yang meninggi.

Telah  melupakan jenis jenis warna yang sempat dia lihat dan dia ingat sewaktu di lantai bawah.

"Ebony, ebony ebony." Bingung Sandra. Tak bisa menghentikan gerakan kakinya yang tampak begitu gelisah, menelisik banyaknya sprei berdominasi warna hitam di hadapannya. "Ingat Sandra! ingat!" berusaha keras untuk mengingatnya.

Diantara dentuman cepat di dalam dada, memejamkan kedua matanya dalam. "Ebony ebony ebony." kini meluruhkan air matanya, membiarkannya jatuh begitu saja membasahi pipi putihnya yang telah berubah warna menjadi sedikit pucat.

Sesaat sebelum meraih  salah  satu sprei dengan warna hitam yang dia yakini sebagai Ebony. Kemudian mengayunkan langkahnya kembali masuk ke dalam kamar dan tersentak. Mengehentikan langkah cepatnya seketika, tepat di depan Sean  yang tengah berdiri menghadang, sambil menyilangkan kedua tangan di atas dada.

"Ebony," lirih Sandra, diantara ketakutan hatinya, memberanikan diri untuk menunjukkan sprei hitam ditangannya.

"Delapan menit hanya untuk memasukkan sprei ke dalam almari," datar Sean.

Sandra menahan napasnya. Sungguh ia telah berusaha semaksimal dan secepat mungkin didalam menyelesaikan pekerjaannya.

"Kamu telah membuang waktu lima menitmu untuk telepon, dan sekarang kamu belum bisa menyelesaikan tugas pemberianku." Kembali senyuman seringai tersungging di wajah tampan Sean.

Kian mempercepat dentuman keras di jantung Sandra. Ingin kembali meluruhkan tubuh lunglainya di atas lantai.

"Maaf," lirihnya. "Saya harus menghubungi keluarga saya dulu untuk mengatakan mengenai peraturan yang tiba tiba saja berubah. Saya harus menginformasikan mengenai pulangnya saya di hari sabtu,"

Mengatupkan rapat bibir Sean, tak lagi menyanggah ataupun mendebat alasan asisten barunya.

"Dan untuk masalah keleletan saya ini. Saya sudah berusaha secepat mungkin." Menatap lekat tajamnya kedua sorot mata Sean. Meremas sprei di tangan. "Selain itu juga saya masih belajar memahami banyaknya jenis jenis warna hitam, Maafkan atas ketikan tahuan saya ini," menundukkan kepalanya sejenak, sebagai bentuk dari rasa sopannya, kemudian kembali bersitatap dengan bos Barunya.

"Sepuluh menit." jawab Sean akhirnya. Mengayunkan langkahnya mundur ke arah belakang agar bisa memberikan Sandra jalan, "Hanya untuk memasang sprei. Jangan lagi melebihi waktu itu, atau kamu akan benar benar menerima hukumannya."

Menganggukkan cepat kepala Sandra. Tak lagi ingin membuang buang waktu, lebih memilih untuk segera mengayunkan langkahnya mendekati ranjang. Tak ada kesempatan untuk ia memikirkan mengenai hukuman apa kira kira yang dimaksudkan Sean.

"Siapkan aku air hangat di bathup." Titah Sean. Sedari tadi duduk di atas sofa tak jauh dari ranjang sambil memainkan ponsel di tangan, menyambut selesainya Sandra di dalam mengganti sprei.

"Baik, Bos." Tanpa banyak bertanya lagi, segera mengayunkan langkahnya masuk ke dalam kamar mandi bernuansakan warna hitam dan juga putih, namun lebih dominan ke warna hitam.

Tak ada lagi yang bersuara diantara Sean dan juga Sandra. Karena keduanya yang telah sibuk dengan urusan masing masing. Sean dengan ponsel di tangan, sedangkan Sandra tampak sibuk dengan bathup marmer hitam di hadapan.

"Sudah, Bos." Sandra menginformasikan. Baru saja keluar dari kamar mandi, kembali menghadap Sean yang tak menolehkan kepala. Hanya menatap ke arah layar ponsel yang menyala.

"Lepaskan kancing kemejaku," jawab Sean.

"Ya?" sungguh berhasil membulakan kedua mata Sandra yang tersentak. "Lep-lepaskan kancing kemeja?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status