Angin pantai terasa berdesing berisik di telinga Liora saat suara percakapan antara Zidane, Zachary, dan lainnya kemudian saling sahut menyahut. Para sepupu Zidane terlihat antusias menyambut kedatangan Zach, sangat berbanding terbalik dengan Liora.
Andai bisa, saat ini dia berharap dirinya hilang saja ditelan angin topan. Zach yang dia tinggalkan diam-diam, tanpa kata putus, tanpa alasan, tanpa pertemuan terakhir, dengan memblokir seluruh akses antara mereka, kini malah ada di dekatnya dan pria itu ternyata kakak Zidane, suaminya?
Ini sungguh mimpi terdalamnya yang diwujudnyatakan dalam situasi terburuk.
Liora merasakan sekujur tubuhnya gemetar saat membayangkan reaksi Zach ketika melihatnya. Sudah terbayang kemarahan yang begitu hebat di sorot mata Zach. Dan itu adalah hal terakhir yang ingin dilihat Liora.
Panik menyergapnya seketika itu juga, tapi tak ada yang bisa dia lakukan selain berusaha melenturkan otot sarafnya agar tidak kaku seperti kayu.
Sungguh ... lelucon apa yang sedang dimainkan semesta pada jalan hidupnya ini?
‘Oh, Tuhaaaan ... kenapa Zach adalah kakaknya Zidane? Tolong katakan ini hanyalah kesalahan belaka!’
Liora merasa tak berani memutar arah tubuhnya, bahkan menoleh ke arah Zidane pun Liora tak memiliki nyali.
Ingin rasanya dia mengambil langkah seribu dari sana karena Liora masih menyadari bahwa sampai detik ini, Zach masih begitu bertahta di hatinya.
“It’s okay, Zach. Aku sangat mengenalmu dan impian-impianmu. Kali ini kau bisa ikut liburan ini saja, aku sudah senang sekali. Oh ya, perkenalkan istriku ... Liora.”
Deg!
“Liora? Honey? Ini kakakku, Zach,” ucap Zidane lagi ketika Liora masih mematung menghadap ke arah resepsionis.
Pada akhirnya Liora tak bisa menghindari lagi. Tepukan ringan tangan Zidane di pundaknya seakan memaksa Liora untuk membalik tubuh.
Tak ada yang bisa dia lakukan lagi selain berbalik dan memaksa diri menatap ke sepasang mata biru langit Zach dengan tatapan tegar.
Mata biru Zach yang begitu indah dan meneduhkan itu, kini membelalak dalam diam ketika melihat Liora di hadapannya dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya.
Ada jeda beberapa detik dari uluran tangan Liora yang disambut dengan tatapan tak mengerti Zach, sampai akhirnya pria berhasil menekan segala emosi yang berkeliaran dalam dirinya yang muncul bersamaan dengan keterkejutannya itu, lalu menyambut jabatan tangan Liora dan menggenggamnya tanpa minat.
“Liora,” sapa Liora lirih dengan berusaha keras agar suaranya tak terdengar bergetar.
Detik berikutnya, tangan hangat yang dulu senantiasa menggenggamnya itu kini membungkus telapak tangannya. Suara renyah yang dulu selalu membuainya dengan kata-kata cinta dan sayang pun, kini terdengar asing.
“Nama yang bagus. Aku Zach, kakak Zidane, suamimu.”
Liora langsung menarik tangannya agar tidak berlama-lama berjabatan tangan dengan Zach, apalagi setelah menangkap penekanan kata yang Zach ucapkan bahwa dia kakaknya Zidane, pria yang kini berstatus suaminya.
***
Setelah mendapatkan kamar masing-masing, mereka menyimpan tas, mandi, lalu kembali berkumpul di restoran untuk makan malam bersama. Untuk hari ini, belum ada acara apapun selain menikmati cuaca yang hangat di akhir tahun.
Sepanjang makan malam, Liora tidak banyak bicara. Begitupun dengan Zach.
Hanya saja, pria itu menjadi pusat perhatian keluarga besarnya karena kehadirannya yang langka dalam liburan keluarga kali ini sehingga dapat Liora lihat Zach cukup sering diajak bicara dan terpaksa menanggapi.
Liora menyadari itu semua karena tatapan Zach sudah berkali-kali tertuju padanya.
Semua ini membuat Liora tidak nyaman karena bisa dia rasakan kemarahan dan emosi yang menyorot jelas dari tatapan mata Zach padanya.
“Maaf, Zidane, tiba-tiba aku tidak enak badan. Bisakah aku istirahat duluan? Kau mengobrol saja dengan yang lainnya, aku tidak apa-apa.”
Demi menghindari Zach, Liora pun memutuskan untuk kembali ke kamar begitu makan malam mereka usai.
“Kau baik-baik saja?” tanya Zidane yang langsung dijawab dengan anggukan kepala dari Liora.
“Aku baik. Hanya sedikit tak enak badan. Aku kembali ke kamar, ya. Tolong sampaikan pada orang tuamu jika mereka bertanya padaku. Aku baik, jangan cemas. Aku hanya terbiasa tidur cepat.” Liora memaksa tersenyum dan itu membuat Zidane percaya.
“Oke. Biar aku mengantarmu ke kamar,” tawar Zidane dengan niatnya yang tulus.
Tapi Liora menolaknya. “Tidak perlu, Zidane. Aku sendiri saja. Tidak masalah.”
“Oh, baiklah,” sahut Zidane lagi seraya menegak minumannya lalu membantu Liora melepaskan diri dari kursinya. Begitu Liora bangkit dan hendak melangkah pergi, Zidane berbisik lagi, “Aku mungkin sampai tengah malam nanti, tidak apa-apa, kan?”
“It’s okay,” sahut Liora lagi.
Wanita berusia 25 tahun itu lalu berbalik dan mulai melangkah untuk menuju kamar. Helaan napas lega menjadi pengiring langkahnya karena dia akhirnya bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Zach.
Mengandalkan sandal flat-nya yang khusus dia beli untuk berlibur di pantai negara tropis, Liora mulai mempercepat langkahnya seiring jaraknya yang semakin jauh dari restoran tempat mereka makan malam tadi.
Dia sungguh tak sabar ingin meringkuk di balik selimut demi menekan segala pikiran dan emosinya yang kini terasa sangat berantakan. Liora sungguh tak tahu harus merasakan apa.
Sedih? Situasi seperti ini jelas lebih dalam dari sekadar sedih. Marah? Zach jelas lebih marah lagi, hanya belum ada kesempatan bagi pria itu melampiaskannya pada Liora. Kecewa? Tentu saja, dia telah sangat mengecewakan Zach.
Dia melepas keberangkatan Zach ke Maccau dengan pelukan erat dan deraian air mata, dengan tangis yang seseguk membayangkan mereka harus melewati hubungan jarak jauh selama beberapa bulan ke depan.
Apalagi jika Zach telah benar-benar lulus training dan akhirnya mendapatkan jabatan sebagai CEO di cabang baru kantor mereka di Maccau, itu berarti mereka harus melalui hubungan jarak jauh yang lebih lama lagi.
Saat itu, Zach masih menenangkan dan memberikan pandangan masa depan mereka yang akan cerah jika dia posisinya sudah stabil di Maccau. Zach berjanji akan memboyongnya ke Maccau, menikahinya, lalu memiliki keluarga kecil lucu dan bahagia bersama di Maccau.
Saat itu juga itu telah menjadi impian Liora untuk menjalani hidupnya ke depan.
Tapi dia juga yang akhirnya mengacaukan impiannya itu. Dia membuangnya entah ke mana saat dengan putus asa menerima pinangan Zidane hanya demi uang pelunasan utang.
Liora tak bisa tidak merasa rendah saat ini karena dia bagai tersadar dia telah menjual cinta sejatinya demi uang.
Kedua lengannya pun memeluk diri sendiri, seakan menghalau angin yang membelai dengan kekejian yang dingin.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah Liora hanya ingin memeluk dirinya sendiri sebelum kemarahan Zach menghantamnya, yang entah kapan akan terjadi.
Di benak Liora, selepas kepulangan mereka dari liburan ini, Zach baru akan mencari dan mencecarnya dengan segenap murka yang tak bisa dipendam lagi.
Hanya saja, semua itu hanya perkiraan Liora. Dia tak pernah tahu jika murka Zach tak tertahankan lagi bahkan untuk sekadar menunggu liburan mereka usai.
Ketika langkah Liora tiba di ujung koridor dan dia hendak berbelok menuju suite yang ditempatinya bersama Zidane, tiba-tiba tubuhnya ditarik dan di hempas ke tembok.
“Aww!!” teriak tertahan Liora yang langsung berubah menjadi keterkejutan yang belum siap dihadapinya.
Di hadapannya saat ini, yang mengukungnya di tembok adalah kedua lengan kokoh yang dulu bisa begitu bebas dia peluk manja.
Pemilik lengan kokoh itu adalah Zach, pria yang namanya masih terukir begitu lekat di relung hatinya.
Wajahnya muram penuh dengan kesedihan.Zach yang melihatnya memintanya datang.“Clint. Terima kasih sudah hadir. Terima kasih juga sudah menemani Zidane selama pengobatannya.” Zach memeluknya, berusaha keras menahan lidahnya untuk tidak mengatakan pikirannya bahwa Clint seharusnya memberitahu keluarga besar mereka tentang penyakit Zidane sebelum semuanya terlambat.Tapi Zach juga tahu, tidak ada gunanya lagi mengatakan itu semua. Zidane telah pergi dan hanya Clint yang berjasa menemani setiap langkah Zidane sampai akhir hayatnya.“Maafkan aku, Zach. Aku seharusnya tidak menutupi kondisinya. Aku menyesal. Tapi ... Zidane patah arang.”Clint menatap Liora, merasa tak enak untuk menceritakannya.Saat itulah, ibu Zach datang dan meminta Clint menceritakan lebih lanjut.“Boss Zidane ... saat perceraian dia masih bisa tegar. Tapi beberapa bulan kemudian, dia kembali terinfeksi virus yang sama. Kondisinya ini membuat keadaan tubuhnya semakin memburuk.Saat itulah dia putus asa.”“Bagaimana b
“Untukmu, Love.”Penuh rasa ingin tahu, mereka membukanya dan ternyata ...Itu adalah surat cerai baru yang sudah ditandatangani Zidane.Di balik sana ada selembar kertas kecil.Zidane menulis:[Kamu mengirim surat pembatalan menikah, aku sudah merobeknya. Tapi ini aku mengirimkan surat perceraian. Aku tidak rela jika pernikahan kita dianggap kesalahan. Pernikahan kita pernah terjadi dan itu atas kemauan ku dan kamu bersama-sama.Jadi, ini adalah perceraian yang kamu mau.Aku sudah merenung dan aku sadar tidak ada gunanya menjadi suamimu jika pada akhirnya tidak akan pernah mendapatkanmu seutuhnya.Jalani hidupmu sebahagia yang kamu bisa.Untuk Zach, aku titipkan cinta yang pernah bersemi dalam hatiku.Aku tidak marah lagi pada kalian, aku hanya marah pada takdir.Jika memang takdir hidupku seperti ini, kenapa takdir membiarkan cinta yang begitu besar tumbuh di hatiku ini teruntuk dirimu, Liora?Andai aku tidak mencintaimu, aku akan lebih mudah menjalani hidup dan sakitku ini.Selamat
“Apa? Kau dan Liora?” Ibunya Zach berteriak histeris ketika mendengar penjelasan Zach.“Apa-apaan ini?”Wanita itu bangun dan menatap garang pada Liora. Tangannya terangkat dan tanpa diduga ...Plak!“Kau keterlaluan! Tidak tahu diri!”“Mom! Jangan menamparnya!” Zach merangkul Liora dan menjauhkannya dari sang ibu. “Dia tidak salah!”“Apa yang tidak salah! Kalian sudah melakukan hal gila! Zidane itu adikmu, Zach! Bagaimana bisa kamu begitu tega padanya?”“Mom! Aku dan Liora sudah berpacaran dari sebelum dia menikah dengan Zidane. Hanya saja waktu itu ada situasi yang membuat Liora terpaksa menikahi Zidane-”“Terpaksa kau bilang?” Kedua mata ibunya semakin melotot. Ayah dan kakeknya pun ikut memelototinya.“Terpaksa atau hanya memanfaatkan Zidane? Kau memang sialan!” ujarnya marah sambil menunjuk ke arah Liora.Lalu dia menatap marah pada Zach. “Aku tidak akan pernah merestui kalian!”Ibunya langsung keluar sedangkan ayahnya tiba-tiba memegangi Grandpa Hank yang lagi-lagi terkena sera
“Aku sudah melihat semuanya. Lagipula kau masih istriku, Lio!”Zidane tertawa mengejek melihat tingkah Liora yang buru-buru memakai dalamannya. Bahkan di saat seperti itu Liora masih teramat manis.Wajah Zidane berubah masam mengejek dirinya sendiri.‘Cintamu tidak memiliki harga diri lagi, Zid!’Begitu yang dia pikirkan dalam benaknya.“Kau menaruh sesuatu di minumanku!” tuduh Liora setelah dia berusaha mengingat hal terakhir yang dia lakukan tadi. Tangannya spontan mengelus perutnya.“Kau tahu aku mengandung, tapi kau memberiku bius? Zid, kau bisa mencelakai janinku. Bayiku ini juga keponakanmu, Zid!”Zidane hanya tertawa. “Justru itu! Kalian keterlaluan! Apa yang aku lakukan ini hanya untuk membalas sedikit rasa sakit hatiku!”Seketika Liora jadi teringat alasan kenapa dia berada di sana.“Maafkan aku, Zid. Aku tahu aku sudah menyakiti hatimu. Tapi ... jika kita meneruskan ini, aku akan semakin melukaimu, Zid. Aku ... kau adalah temanku. Aku ...”Liora kehilangan kata-katanya. Dia
Di dalam kamar, Zidane menatap tubuh Liora dengan pandangan tergiur.Sungguh tubuh istrinya ini sangatlah menggiurkan.Walau tidak sebahenol Janet, tapi Liora memiliki tubuh idealnya sendiri. Tubuh yang seharusnya menjadi miliknya.Zidane mulai mengelus bagian-bagian yang menggiurkan. Dia memulainya dari pinggul.Sungguh halus dan mulus pinggul Liora. Berbeda dengan kulit Janet yang kasar dengan sedikit bersisik.Di benaknya dia berpikir bahwa Liora masih sah istrinya. Dia bisa dan berhak atas tubuh Liora.Zidane semakin menggila dan mulai mengendus leher Liora.Dia mengecup lembut seraya merayapkan bibirnya menuruni leher hingga ke bahu terbuka Liora.Aroma Liora sangat menggiurkan baginya.Tangannya pun tak tinggal diam, meremas dada Liora dan mulai berusaha melepaskan tali bra.Klik!Kaitan bra terlepas, kini saatnya mulai melepas bra dan menikmati hidangan utama tubuh Liora.Tepat saat itu,Teriakan Zach membahana dari balik pintu yang telah dikunci Zidane.Dia memang membiarkan k
“Duduk dulu, Honey,” kata Zidane dengan suara lembut yang di telinga Liora seperti dibuat-buat.Sedikit bingung Liora mendengarnya. Setelah lama Zidane memanggilnya dengan nama, kenapa sekarang tiba-tiba Zidane memanggilnya honey lagi.Liora pun duduk sementara Zidane ke dapur dan membuatkannya minum.Mendengar bunyi gelas dan air, Liora pun gegas menyusul. “Tidak perlu, Zid. Tidak perlu repot-repot padaku.”“Tidak apa-apa.”Zidane selesai membuatkan minum untuk Liora segelas teh chamomile kesukaan Liora.“Diminum,” kata Zidane lagi saat melihat Liora hanya memegangi gelas itu.Tak enak pada Zidane, Liora pun meminumnya dua teguk. Lalu meletakkan di meja dapur.“Enak?”“Enak. Terima kasih, Zid.”“Kau mau sekalian mengambil baju-bajumu? Masih banyak bajumu di sini.”Berpikir ada Zach di tempat parkir yang menungguinya, Liora pun setuju. Setidaknya dia bisa mengambil setengah pakaiannya saja sudah sangat bagus.“Silakan,” kata Zidane seraya mengulurkan tangannya ke arah kamar.Liora mel