“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan.
Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Naura keluar dari kamar dan mulai untu memasak. Ia juga menyiapkan bekal untuk ibu mertuanya yang sedang dirawat di rumah sakit. Saat ia berdiri di dapur, memasak sarapan dengan kepala yang masih sedikit sakit, pikirannya melayang. Ia mengingat hari-hari awal pernikahan mereka, ketika Dion adalah sosok yang penuh perhatian. Waktu itu, Dion tidak pernah berbicara dengan nada tinggi, apalagi menyakitinya. Namun, pria yang berdiri di belakangnya sekarang adalah seseorang yang nyaris tidak ia kenali. Namun, bayangan akan masa lalu itu terbuyarkan ketika Dion mendekatinya dari belakang. “Aku butuh uang,” kata Dion, suaranya berat dan tanpa basa-basi. Naura berbalik, terkejut. “Uang? Mas, aku baru saja memberimu uang untuk melunasi utangmu kemarin. Bukankah itu sudah lebih dari cukup?” Dion mengernyit, jelas tidak senang dengan jawaban itu. “Itu tidak cukup! Jangan berlagak tidak tahu, Naura. Aku suamimu. Kau harus memenuhi kebutuhanku!” Ketegangan di udara semakin pekat. Naura menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi. “Mas, aku sudah memberikan semuanya. Aku tidak punya uang lagi. Aku bahkan harus menyisihkan uang untuk kebutuhan rumah sakit ibumu …” “Jadi sekarang kau mulai perhitungan kepada Ibuku?!” Dion terlihat tidak suka dengan perkataan Naura “Bukan seperti itu maksudku, Mas—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tangan Dion sudah menyapu meja makan dengan kasar. Piring dan gelas yang sudah tertata rapi berjatuhan, makanan tercecer di lantai, beberapa pecah. Dion mengambil sendok dan melemparkannya ke arah Naura dengan gerakan cepat. “AKHHH!” Naura menjerit kecil, beruntung sendok itu hanya meleset sedikit dari wajahnya. Ia mundur dengan tubuh gemetar, takut akan amukan Dion yang sudah biasa ia hadapi. Dion mendengus marah, meliriknya dengan tajam. “Kau wanita tidak berguna!” teriaknya, sebelum berjalan keluar rumah dengan langkah kasar, membanting pintu di belakangnya. Naura berdiri mematung, tubuhnya bergetar, sementara air mata mulai membasahi pipinya. Setelah beberapa saat, ia berjongkok perlahan, mulai mengumpulkan pecahan piring di lantai dengan tangan yang gemetar. ‘Mengapa aku harus berakhir seperti ini? pikirnya, isakannya tertahan di tenggorokan. ** Setelah semuanya beres, Naura bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Namun, saat ia membuka pintu rumah, sebuah mobil mewah sudah terparkir di depan rumahnya. Seorang pria turun dari mobil, mengenakan setelan rapi. Naura mengenali pria itu, asisten Reval. “Ibu Naura, saya ditugaskan untuk menjemput Anda pagi ini,” ujar asisten itu sopan, sambil membukakan pintu mobil untuknya. Naura menggeleng cepat. “Tidak perlu. Saya bisa naik bus. Lagipula, saya harus ke rumah sakit terlebih dahulu untuk menjenguk ibu mertua saya.” Namun, asisten itu tetap membungkuk hormat. “Ini perintah langsung dari Pak Reval. Silakan naik, kami akan mengantarkan Anda ke mana pun Anda butuhkan.” Naura merasa sungkan, tetapi akhirnya masuk ke mobil. Di dalam, ia memandang interior yang mewah dengan perasaan campur aduk. Ia tidak pernah membayangkan seseorang seperti Reval akan mengatur sesuatu seperti ini untuknya. Dalam diam, pikirannya mulai membandingkan Dion dengan Reval. Dulu, Dion adalah pria yang ia cintai, pria yang pernah menjanjikan kebahagiaan. Namun, Dion tidak pernah memberinya perhatian atau kehangatan, bahkan di masa kejayaannya. Semua terasa hambar, jauh berbeda dengan kehadiran Reval … buru-buru Naura menghilangkan bayangan Reval. Sesampainya di rumah sakit, Naura turun dari mobil. Namun, saat ia masuk ke lobi rumah sakit, ia dikejutkan oleh kehadiran Dion yang berdiri di sana. “Mas? Kamu di sini sepagi ini?” tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya. Dion melangkah mendekat, ekspresinya berubah dingin dan penuh curiga. “Jadi, pria mana yang mengantarmu dengan mobil mewah itu? Kamu berkencan di belakangku sekarang, ya?” tuduh Dion, suaranya keras dan penuh nada meremehkan. Naura membelalakkan mata, terkejut oleh tuduhan itu. “Tidak, Mas! Itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Itu hanya fasilitas dari perusahaan tempat aku bekerja!” Dion mendengus sinis, menyeringai dengan tatapan merendahkan. “Perusahaan? Kamu pikir kariermu bisa secemerlang itu? Jangan mengada-ada, Naura. Aku tahu kamu tidak secerdas itu.” Tuduhan Dion membuat emosi Naura memuncak. “Mas! Aku sudah melakukan segalanya untuk kita. Aku bekerja keras untukmu, untuk ibumu, dan ini yang kamu lakukan? Menuduhku tanpa alasan?” Perdebatan mereka semakin memanas. Orang-orang mulai berhenti untuk menonton, suasana menjadi tidak nyaman. Dion yang terpancing emosi tiba-tiba mengangkat tangannya, siap menampar wajah Naura. Namun, sebelum tangan itu mengenai pipinya, sebuah tangan lain mencekal pergelangan Dion dengan tegas. Reval memandang Dion dengan tatapan tajam, senyumnya kecil tapi penuh sindiran. Tangannya yang mencengkeram pergelangan Dion tidak menunjukkan sedikitpun niat untuk melepaskannya. Aura dominannya begitu kuat hingga membuat Dion terlihat kecil dan kikuk di hadapannya. “Memukul seorang wanita di depan umum?” ujar Reval, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Apa kau benar-benar ingin menunjukkan pada mereka betapa lemahnya dirimu?” Dion berusaha melepaskan cengkeraman Reval, tapi sia-sia. “Lepaskan tanganmu! Ini bukan urusanmu!” Reval mendekatkan wajahnya sedikit, sehingga hanya Dion yang bisa mendengar kata-katanya. “Oh, ini urusanku sekarang. Kau berani menyentuh pegawaiku, dan aku jamin kau akan menyesal.” Nada suaranya tetap tenang, namun ancamannya jelas.Wow, keren gak nih Pak Reval???? Tulus apa modus ya????
Pak Budi memberanikan diri bicara, “Tapi Pak, bukannya rumah ada smart lock pakai sidik jari?” Reval mendadak berhenti bernapas sejenak, lalu mengembuskan napas lega. “Ya ampun, Pak Budi. Anda pahlawan!” Setibanya di rumah, Reval lari ke kamar seperti disambar petir. Dia membuka lemari dan langsung menarik koper warna biru dengan hiasan bebek kecil. “Oke, ini koper bayi. Sekarang koper Naura…” Matanya menelusuri kamar. “Yang pink! Yang pink! Pink tua atau pink muda ya?” Dia meraih koper pink muda, lalu membuka. Isinya… setrika uap dan baju olahraga. “Ya ampun ini koper laundry!” serunya frustrasi. Akhirnya, setelah menggali seluruh isi lemari dan kolong tempat tidur, Reval berhasil menemukan semua keperluan yang dikemas Naura jauh-jauh hari. Dia menyeret koper bayi, koper ibu, tas selempang berisi dokumen, dan bantal menyusui bergambar boneka domba. “Oke, sekarang kita kembali ke rumah sakit!” Kembali ke rumah sakit, Reval langsung berlari masuk, membawa semua tas dan koper s
Naura menggigit bibirnya, lalu mengaduh lagi. “Aaakh! Ini sakit banget! Kayaknya air ketubanku rembes deh… Val! Kaki aku dingin!” Reval langsung melepaskan jasnya, “Nih, nih, pakai ini dulu. Aduh jangan jambak lagi, ya? Aku masih butuh rambut buat tampil kece sebagai ayah masa depan!” Naura menatapnya, mata berkaca-kaca. “Reval…” Reval langsung panik, “Iya, iya, aku di sini, Sayang. Kamu kuat. Nggak apa-apa, kita sebentar lagi sampai, ya?” “Kalau anak kita lahir sekarang… di mobil… aku nggak siap, Val…” Reval menggenggam tangannya, hangat dan kuat. “Tidak. Nggak usah takut. Aku bakal ada di samping kamu terus.” Naura menggigit bibir bawahnya, kali ini bukan karena sakit, tapi karena matanya mulai buram oleh air mata. “Kamu suami paling norak tapi paling aku cinta.” Reval tertawa kecil, meski wajahnya masih tegang. “Norak tapi tampan, kan?” Naura mengangguk lemah dan di tengah ketegangan, mereka berdua tertawa pelan. Tiba-tiba, Naura kembali meringis. “Aaaakh! Kontraksinya dat
Kehamilan Naura telah memasuki bulan kesembilan. Perutnya yang membuncit membuat geraknya menjadi semakin terbatas. Reval pun menjadi sangat protektif. Setiap langkah Naura selalu diawasi, setiap makanan yang masuk selalu diperiksa gizi dan porsinya. Pagi itu, mereka menerima sebuah undangan cantik berwarna peach keemasan. Nama Dinda dan Ervan tertera di sana dengan elegan. “Kita diundang ke pernikahan Dinda dan Ervan,” ucap Naura sambil duduk di sofa, tangannya mengelus perutnya dengan lembut. Reval mengambil undangan itu, membaca sebentar, lalu menatap Naura khawatir. “Sayang, usia kandungan kamu kan udah sembilan bulan. Lebih baik kita kirimkan hadiah saja. Kamu istirahat di rumah.” Naura menggeleng pelan. “Aku pengen datang. Dinda itu teman yang selalu ada. Dia sering nemenin aku saat kamu kerja, jalan-jalan ke taman, bahkan pernah nganterin aku ke dokter waktu kamu dinas luar kota. Aku nggak mau absen di hari bahagianya.” Reval menghela napas panjang. Ia tahu ketika Naura
Air hangat mulai mengalir dari pancuran saat Reval menarik tangan Naura menuju kamar mandi. Ia menatap istrinya dengan senyum penuh cinta, lalu meraih handuk lembut dan memakaikannya ke tubuh Naura. “Kita bersih-bersih dulu, ya?” ucapnya sambil mencubit lembut ujung hidung Naura. Naura terkekeh, mengangguk manja. “Aku nggak bisa mandi sendiri, dong, sekarang.” Reval mengangkat alis, pura-pura serius. “Makanya suamimu ikut. Supaya kamu nggak kesepian.” Mereka berdiri di bawah pancuran air hangat. Uap tipis memenuhi ruangan, membalut tubuh mereka yang kini saling bersentuhan dengan begitu lembut dan hati-hati. Reval mengusap bahu Naura perlahan, lalu menurunkan tangannya ke lengan istrinya, memijatnya dengan sabun wangi melati. “Hmm, wangi kamu sekarang tambah enak,” gumam Reval, mencium pelipis Naura. Naura terkikik kecil. “Wangi sabun, Reval.” “Buat aku, semuanya dari kamu itu wangi,” bisiknya lagi. Mereka tak banyak bicara, hanya saling membersihkan tubuh dengan penuh kelemb
Pagi menyusup pelan lewat tirai tipis kamar. Sinar matahari yang lembut membias ke dinding, menciptakan suasana hangat. Di dalam selimut tebal, Naura menggeliat pelan sambil menguap. “Selamat pagi, Nyonya Reval,” bisik suara berat yang sangat dikenalnya. Naura membuka mata dan mendapati Reval sudah menatapnya dengan senyum yang kelewat manis. Rambutnya berantakan, tapi entah kenapa justru itu yang membuatnya makin tampan di mata Naura. “Selamat pagi, Tuan Ganteng,” balasnya sambil menyembunyikan wajah di bantal karena malu. Reval tertawa, lalu menarik Naura mendekat dan mendaratkan ciuman lembut di pipinya. “Gimana tidurnya, ibu dari anakku?” Naura tersenyum malu. “Tidur paling nyenyak seumur hidup.” Reval mengusap perut Naura perlahan. “Kamu harus makan dulu pagi ini. Anak kita pasti lapar.” Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dapur. Naura mengenakan daster panjang dan celemek, rambutnya diikat sembarangan. Reval dengan kaus abu-abu dan celana pendek santai membantu
Naura mengerutkan dahi, tapi mengangguk. Ia menatap punggung suaminya yang keluar dari kamar. Beberapa menit kemudian, Reval muncul lagi. Kali ini dengan nampan berisi makanan kecil. Cokelat hangat, stroberi celup cokelat, dan... satu mangkuk mi instan. Naura langsung tertawa. “Mi instan? Serius?” “Yang terakhir spesial. Ini... buat kita yang dulu pernah makan ini bareng waktu kamu—” Naura memejamkan mata sejenak, tertawa haru. “Waktu itu kamu juga yang masakin!” potong Naura sebelum Reval menyelesaikan kalimatnya. Reval duduk di sebelahnya. “Dan malam ini, mi instan akan jadi saksi kita udah nggak perlu nangis sendirian lagi.” Mereka menikmati makanan ringan sambil bercerita masa lalu. Setiap kalimat seolah menjahit luka-luka yang dulu terbuka, menjadi kenangan yang kini tak lagi menyakitkan. Setelah semua santapan habis, Reval menarik Naura berdiri. “Ayo, aku mau ajak kamu lihat sesuatu.” Mereka berjalan menyusuri lorong hotel menuju pantai. Ternyata di pasir putih itu, Reval