Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar.
“Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan. Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia. Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir. “Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura penuh selidik. Seolah ingin mengatakan bahwa Reval sengaja mengikuti dirinya sampai ke rumah sakit. “Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Dengan entengnya ia berjalan menjauh meninggalkan Naura yang masih terdiam kaku di tempatnya. Sementara Naura merasa tertohok mendengar jawaban Reval. Padahal ia sempat berpikir jika lelaki itu ... Naura menggeleng cepat sambil menatap punggung Reval yang semakin menjauh. Angannya sempat melayang. Terbuai akan perhatian Reval beberapa menit yang lalu. Tetapi, kenyataannya? Ia hanya salah paham. “Pasti hanya kebetulan,” gumam Naura. Ia melirik ke arah kanan. Baru sadar jika asisten Reval masih berdiri di dekatnya. “Kenapa masih di sini? Bukankah seharusnya Anda mengikutinya?” Kedua mata Naura menunjuk ke arah mana Reval tadi pergi. Sang asisten terdiam sejenak. Ia menggaruk kepalanya yang bahkan tidak gatal sama sekali. Lelaki itu tampaknya merasa bingung. “Saya harus pergi!” Naura pun melangkah pergi meninggalkan asisten tersebut. Naura berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit, suara langkah kakinya menggema di lantai yang dingin. Jantungnya masih berdegup cepat, bukan hanya karena pertemuan singkat dengan Dion, tetapi juga karena kehadiran Reval yang mendadak. Ia mencoba mengalihkan pikirannya, fokus pada tujuan utamanya, menjenguk ibu mertuanya. Sesampainya di depan pintu ruangan, Naura menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu. Di dalam, ibu mertuanya, Bu Lastri, terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya tampak pucat, tetapi matanya yang tajam langsung menatap Naura begitu ia masuk. “Kamu terlambat,” ujar Bu Lastri dengan suara parau, tetapi nadanya tetap penuh kepedulian. Naura mengangguk cepat, menundukkan kepala untuk menyembunyikan raut lelahnya. “Maaf, Bu. Saya langsung ke sini setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah.” “Kamu tidak perlu minta maaf, Naura. Ibu hanya merindukanmu. Yang penting sekarang, kamu ada di sini.” Naura meletakkan bungkusan makanan di meja kecil di sebelah tempat tidur. “Ini sarapan Ibu. Naura juga sudah menyiapkan jus seperti biasa.” Bu Lastri tersenyum. Sementara Naura mendekati jendela, menarik gorden agar sinar matahari masuk, menerangi ruangan yang terasa pengap. Ia tidak berbicara lebih banyak, membiarkan suasana di ruangan itu tenggelam dalam keheningan. Tak lama kemudian, Naura mulai menyuapi ibu mertuanya. Wanita itu berusaha menampakkan wajah cerianya. “Ke mana Dion, Nak?” tanya Bu Lastri pelan. “Em, itu Bu. Sepertinya ada urusan mendadak dari kantornya.” Beberapa menit telah berlalu. Sarapan selesai. Naura membereskan meja kecil di dekatnya. Di saat itu ponselnya bergetar. Ia mengeluarkannya dari saku, melihat nama Dion terpampang di layar. Naura menatap layar itu dengan keraguan, lalu melirik sekilas ke arah Bu Lastri yang masih sibuk menikmati jus buatannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar ruangan sebelum menjawab telepon itu. “Mas Dion?” sapanya pelan, berusaha menjaga nadanya tetap netral. “Kenapa lama sekali angkat teleponnya? Kamu sengaja, ya?” Suara Dion terdengar tajam di ujung sana. “Mas, datanglah ke sini. Naura minta maaf soal tadi. Itu bos aku. Dia sudah meminjamkan banyak uang kepada kita, Mas. Tidak seharusnya Mas Dion melawannya.” “Alah alasan. Jangan pernah membuatku terlihat bodoh lagi. Ingat itu!” Dion memutus sambungan tanpa menunggu jawaban. Naura memandang ponsel di tangannya dengan napas terengah, perasaan marah dan takut bercampur aduk di dadanya. Tangannya mengepal, tetapi ia cepat-cepat melonggarkan genggamannya sebelum kembali ke ruangan. Namun, begitu ia membuka pintu, pandangannya menangkap sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Reval berdiri di sana, di ujung lorong, berbicara dengan seorang dokter. Dari caranya berdiri, Reval tampak santai, tetapi ada ketegasan dalam sikapnya yang tidak bisa diabaikan. Mata Naura bertemu dengannya sesaat, dan ia merasakan kehadiran Reval seperti mengisi udara di sekitar mereka. Reval mengangkat alis sedikit, seolah bertanya mengapa Naura berdiri mematung di pintu. Dengan cepat, Naura mengalihkan pandangannya dan melangkah masuk ke ruangan. Namun, detak jantungnya semakin cepat, seakan tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya. Ketika sore tiba, akhirnya Dion datang kembali ke rumah sakit setelah Naura memohon berkali-kali kepadanya dan berjanji akan memberikan uang. “Mas, Naura mau mandi dulu. Mas Dion jagain ibu, ya?” pamit Naura. “Hmmm ....” Dion terlihat enggan untuk menjawab. Naura paham apa maksud dari suaminya. Ia terpaksa memberikan uang sisa simpanannya kepada Dion. “Gitu dong sejak tadi,” ucap Dion seraya merebut uang di tangan Naura. Naura hanya bisa membatin. ‘Mas Dion benar-benar keterlaluan.’ Naura segera berjalan cepat meninggalkan Dion. Di saat itu ia melihat Reval berdiri tenang seolah sedang menantinya. “Bersiaplah, Naura. Tiga jam lagi di tempat yang sama.” Naura menelan ludah berat. Ternyata Reval tidak memberikan kepadanya kesempatan untuk menunda-nunda lagi. Tanpa memberikan jawaban, Naura pun pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia memilih untuk kabur dari asisten Reval dan naik ojek saja. Ketika tiba di depan rumah, langkahnya terhenti karena melihat sebuah bingkisan tergeletak di lantai. “Apa ini?” gumam Naura penasaran. Ia segera masuk ke dalam rumah dan memeriksa isi bingkisan tersebut. Pakaian kurang bahan lagi dan sebuah tulisan di kertas. [Pakai ini.] Tanpa perlu bertanya, Naura sudah tahu siapa pengirim bingkisan tersebut. Lagi-lagi ia harus meneguk ludahnya dengan susah payah. “Apakah dia sudah gila?” Naura membuang napas kasar. Seketika ia merasa gelisah. Selesai mandi dan berias, Naura memperhatikan penampilannya. Ia sungguh merasa tidak nyaman. Tangannya segera terulur untuk mengambil jaket kesayangannya. “Nah, begini lebih baik.” Melihat jam di ponsel, Naura segera bersiap. Ia tidak ingin terlambat datang dan membuat Reval murka. Mengingat saat tadi Reval marah kepada Dion, membuatnya bergidik ngeri. Naura keluar dari halaman rumah dan mendapat asisten Reval sudah menunggu. “Silahkan masuk,” ucap sang asisten ramah. Naura tak menjawab. Ia segera masuk ke dalam mobil. Di Velvet Crown Hotel. Naura harus menginjakkan kaki untuk kedua kalinya. Udara dingin menggigit kulit Naura di saat ia sudah berdiri di depan pintu kamar yang ditempati Reval. Jantungnya berdegup kencang saat ia mengangkat tangan untuk mengetuk. Sebelum tangannya menyentuh pintu, pintu itu terbuka dari dalam. Reval berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang tergulung hingga siku dan celana bahan gelap. Rambutnya sedikit berantakan, dan aroma maskulin yang khas menyeruak ke hidung Naura. “Kamu datang juga,” kata Reval dengan senyum licik penuh makna. Ia membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat agar Naura segera masuk. Naura tak bersuara. Ia masih terdiam di tempatnya hingga ia bisa merasakan sebuah tangan kekar menarik pinggangnya. Bersamaan dengan itu, pintu kamar tertutup dengan kencang. “Kamu kelihatan gemetar,” ujar Reval, nadanya hampir seperti bisikan. Ia menatap Naura dalam-dalam, dan tatapan itu seolah menembus semua pertahanannya. “Kedinginan atau takut?”Takuttt.......
Pak Budi memberanikan diri bicara, “Tapi Pak, bukannya rumah ada smart lock pakai sidik jari?” Reval mendadak berhenti bernapas sejenak, lalu mengembuskan napas lega. “Ya ampun, Pak Budi. Anda pahlawan!” Setibanya di rumah, Reval lari ke kamar seperti disambar petir. Dia membuka lemari dan langsung menarik koper warna biru dengan hiasan bebek kecil. “Oke, ini koper bayi. Sekarang koper Naura…” Matanya menelusuri kamar. “Yang pink! Yang pink! Pink tua atau pink muda ya?” Dia meraih koper pink muda, lalu membuka. Isinya… setrika uap dan baju olahraga. “Ya ampun ini koper laundry!” serunya frustrasi. Akhirnya, setelah menggali seluruh isi lemari dan kolong tempat tidur, Reval berhasil menemukan semua keperluan yang dikemas Naura jauh-jauh hari. Dia menyeret koper bayi, koper ibu, tas selempang berisi dokumen, dan bantal menyusui bergambar boneka domba. “Oke, sekarang kita kembali ke rumah sakit!” Kembali ke rumah sakit, Reval langsung berlari masuk, membawa semua tas dan koper s
Naura menggigit bibirnya, lalu mengaduh lagi. “Aaakh! Ini sakit banget! Kayaknya air ketubanku rembes deh… Val! Kaki aku dingin!” Reval langsung melepaskan jasnya, “Nih, nih, pakai ini dulu. Aduh jangan jambak lagi, ya? Aku masih butuh rambut buat tampil kece sebagai ayah masa depan!” Naura menatapnya, mata berkaca-kaca. “Reval…” Reval langsung panik, “Iya, iya, aku di sini, Sayang. Kamu kuat. Nggak apa-apa, kita sebentar lagi sampai, ya?” “Kalau anak kita lahir sekarang… di mobil… aku nggak siap, Val…” Reval menggenggam tangannya, hangat dan kuat. “Tidak. Nggak usah takut. Aku bakal ada di samping kamu terus.” Naura menggigit bibir bawahnya, kali ini bukan karena sakit, tapi karena matanya mulai buram oleh air mata. “Kamu suami paling norak tapi paling aku cinta.” Reval tertawa kecil, meski wajahnya masih tegang. “Norak tapi tampan, kan?” Naura mengangguk lemah dan di tengah ketegangan, mereka berdua tertawa pelan. Tiba-tiba, Naura kembali meringis. “Aaaakh! Kontraksinya dat
Kehamilan Naura telah memasuki bulan kesembilan. Perutnya yang membuncit membuat geraknya menjadi semakin terbatas. Reval pun menjadi sangat protektif. Setiap langkah Naura selalu diawasi, setiap makanan yang masuk selalu diperiksa gizi dan porsinya. Pagi itu, mereka menerima sebuah undangan cantik berwarna peach keemasan. Nama Dinda dan Ervan tertera di sana dengan elegan. “Kita diundang ke pernikahan Dinda dan Ervan,” ucap Naura sambil duduk di sofa, tangannya mengelus perutnya dengan lembut. Reval mengambil undangan itu, membaca sebentar, lalu menatap Naura khawatir. “Sayang, usia kandungan kamu kan udah sembilan bulan. Lebih baik kita kirimkan hadiah saja. Kamu istirahat di rumah.” Naura menggeleng pelan. “Aku pengen datang. Dinda itu teman yang selalu ada. Dia sering nemenin aku saat kamu kerja, jalan-jalan ke taman, bahkan pernah nganterin aku ke dokter waktu kamu dinas luar kota. Aku nggak mau absen di hari bahagianya.” Reval menghela napas panjang. Ia tahu ketika Naura
Air hangat mulai mengalir dari pancuran saat Reval menarik tangan Naura menuju kamar mandi. Ia menatap istrinya dengan senyum penuh cinta, lalu meraih handuk lembut dan memakaikannya ke tubuh Naura. “Kita bersih-bersih dulu, ya?” ucapnya sambil mencubit lembut ujung hidung Naura. Naura terkekeh, mengangguk manja. “Aku nggak bisa mandi sendiri, dong, sekarang.” Reval mengangkat alis, pura-pura serius. “Makanya suamimu ikut. Supaya kamu nggak kesepian.” Mereka berdiri di bawah pancuran air hangat. Uap tipis memenuhi ruangan, membalut tubuh mereka yang kini saling bersentuhan dengan begitu lembut dan hati-hati. Reval mengusap bahu Naura perlahan, lalu menurunkan tangannya ke lengan istrinya, memijatnya dengan sabun wangi melati. “Hmm, wangi kamu sekarang tambah enak,” gumam Reval, mencium pelipis Naura. Naura terkikik kecil. “Wangi sabun, Reval.” “Buat aku, semuanya dari kamu itu wangi,” bisiknya lagi. Mereka tak banyak bicara, hanya saling membersihkan tubuh dengan penuh kelemb
Pagi menyusup pelan lewat tirai tipis kamar. Sinar matahari yang lembut membias ke dinding, menciptakan suasana hangat. Di dalam selimut tebal, Naura menggeliat pelan sambil menguap. “Selamat pagi, Nyonya Reval,” bisik suara berat yang sangat dikenalnya. Naura membuka mata dan mendapati Reval sudah menatapnya dengan senyum yang kelewat manis. Rambutnya berantakan, tapi entah kenapa justru itu yang membuatnya makin tampan di mata Naura. “Selamat pagi, Tuan Ganteng,” balasnya sambil menyembunyikan wajah di bantal karena malu. Reval tertawa, lalu menarik Naura mendekat dan mendaratkan ciuman lembut di pipinya. “Gimana tidurnya, ibu dari anakku?” Naura tersenyum malu. “Tidur paling nyenyak seumur hidup.” Reval mengusap perut Naura perlahan. “Kamu harus makan dulu pagi ini. Anak kita pasti lapar.” Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dapur. Naura mengenakan daster panjang dan celemek, rambutnya diikat sembarangan. Reval dengan kaus abu-abu dan celana pendek santai membantu
Naura mengerutkan dahi, tapi mengangguk. Ia menatap punggung suaminya yang keluar dari kamar. Beberapa menit kemudian, Reval muncul lagi. Kali ini dengan nampan berisi makanan kecil. Cokelat hangat, stroberi celup cokelat, dan... satu mangkuk mi instan. Naura langsung tertawa. “Mi instan? Serius?” “Yang terakhir spesial. Ini... buat kita yang dulu pernah makan ini bareng waktu kamu—” Naura memejamkan mata sejenak, tertawa haru. “Waktu itu kamu juga yang masakin!” potong Naura sebelum Reval menyelesaikan kalimatnya. Reval duduk di sebelahnya. “Dan malam ini, mi instan akan jadi saksi kita udah nggak perlu nangis sendirian lagi.” Mereka menikmati makanan ringan sambil bercerita masa lalu. Setiap kalimat seolah menjahit luka-luka yang dulu terbuka, menjadi kenangan yang kini tak lagi menyakitkan. Setelah semua santapan habis, Reval menarik Naura berdiri. “Ayo, aku mau ajak kamu lihat sesuatu.” Mereka berjalan menyusuri lorong hotel menuju pantai. Ternyata di pasir putih itu, Reval