Share

Bab 5. Kekhawatiran Tante Sophia

“Siapa itu tadi, Nin?” tanya seorang wanita, ia berdiri di samping Nina sambil menatap gadis itu keheranan. Nina baru menyadari jika ada orang lain yang memperhatikannya, ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang berdiri di sampingnya.

“Tante Sophi?” ujar Nina seakan tidak percaya, “kapan Tante datang? Kenapa nggak memberitahu Nina?”

“Dari tadi sore Tante sudah sampai sini, Tante pikir kamu sudah pulang kerja, ternyata belum pulang, jadi Tante nungguin kamu di teras depan kamar kamu.” Wanita itu sedikit kesal, “Tante sudah telepon kamu berkali-kali, tapi ponsel kamu nggak aktif,” imbuhnya.

“Oh, ma’af Tante, Nina hari ini harus lembur, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga.” Nina berkata seraya membuka tasnya dan mengambil ponselnya, “O Tuhan, ponselku lowbat, dari sore aku gak buka-buka ponsel, jadi nggak tahu kalau dayanya mati.”

“Ngomong-ngomong siapa yang mengantar kamu tadi, Nina. Kalau dilihat dari mobilnya, bukan orang biasa, mobil orang-orang kelas atas.”

“Kita masuk dulu yuk, Tante. Masa ngobrol di jalan.”  Nina mengajak sang Tante masuk ke dalam rumah sewa yang sudah lama ia tempati.

“Belanjaanmu banyak sekali, sini Tante bantu bawain.” Wanita paruh baya itu mengambil tas belanja yang dipegang Nina.

“Nggak usah, Tante. Biar Nina bawa sendiri aja.”

“Eh, jangan menyepelekan tenaga Tante ya, gini-gini Tante masih kuat, gendong kamu pun Tante masih mampu.” Bibi dan keponakan itu pun tertawa sambil beranjak menaiki tangga, menuju kamar Nina.

“Tuh, Nin. Tante nungguin kamu di sini dari tadi sore, sampai tertidur. Untung nggak ada orang yang lalu lalang.”

“Ya ampun, Maaf Tan, Nina benar-benar nggak tahu,” ujar Nina sambil membuka pintu, keduanya pun masuk ke dalam. 

Kamar Nina lumayan lengkap untuk seorang single, Ada ruang serba guna yang bisa berfungsi sebagai ruang tamu, ada meja makan kecil bersambung dengan dapur dan peralatan masak yang lengkap, serta 2 buah kamar tidur.

Tante Sophia meletakan belanjaan Nina di atas meja, gadis manis itu membuka kulkas dan mengambil 2 kaleng minuman dingin.

“Minum dulu, Tan, biar seger.” Nina menyodorkan satu kaleng kepada Tante Sophia. “Tante pasti belum makan.”

“Sudah, baru saja. Itu tadi Tante di depan baru saja kembali dari rumah makan yang di depan sana, pas Tante mau balik ke mari Tante lihat kamu turun dari mobil.”

“O, pantes Tante keliaran di jalan,” ujar Nina tersenyum.

“Nah, kamu belum jawab. Siapa yang mengantar kamu tadi.” Tante Sophia kembali menanyakan pemilik mobil mewah yang mengantar keponakannya tadi.

“Oh, itu Nathan. Eh maksud Nina, Pak Nathan,” jawab Nina sedikit gugup, ia berusaha menghindari tatapan sang Tante.

“Pak Nathan? Apa dia bos kamu, Nin?” tanya sang Tante penasaran.

Nina mengangguk. “Iya, Tante. Apakah tidak boleh jika seorang bos mengantarkan bawahannya?”

Tante Sophia menghela napas, ia menatap keponakannya, wajahnya nampak serius. “Bukannya tidak boleh, Nina. Tapi apa kata orang nanti, mereka akan berpikiran negatif tentang kamu, mereka akan berpikir kalau kamu adalah gadis simpanan bos,” papar sang Tante penuh kekhawatiran.

“Masa sih, Tan. Hanya karena diantar bos, orang akan berpikir kalau Nina itu simpanan bos,” kilah Nina. “Tadi Pak Nathan melihat Nina sendirian di halte bus, beliau khawatir keamanan Nina, karena di situ cukup sepi, jadi dikasih tumpangan sekalian.”

“Tapi Tante melihatnya tidak seperti itu,” bantah Tante Shopia.

“Maksud Tante?”

“Nina, jawab Tante dengan jujur, apa kamu menyukai bos kamu itu?” tanya Tante Sophia mendesak Nina. Gadis itu menjadi gugup, namun ia segera tersenyum untuk menyembunyikan kegugupannya.

“Tante bisa aja,” elak Nina, “jangan terlalu banyak berpkir, Tan.”

“Nina, Tante sudah mengenal kamu sejak kecil. Kamu sudah seperti anak kandung Tante sendiri. Tante tahu bagaimana gejolak perasaan kamu saat ini, bahkan sejak turun dari mobil tadi.” Tante Sophia terdiam sesaat, ia mengamati wajah keponakannya yang tiba-tiba tertunduk itu. “Jadi, kamu tidak bisa sembunyikan hal itu dari Tante, Nin.”

Hening, tidak ada jawaban yang terucap dari mulut gadis itu, Nina tertunduk, tangannya memainkan kaleng minuman di atas meja. Tiba-tiba Nina mengangkat wajahnya menatap sang Tante yang sedang memperhatikannya sedari tadi.

“Benar, Tante. Nina memang menyukai Pak Nathan.”

Tante Sophia kembali menghela napas. “Apa dia juga mencintai kamu?” tanya Tante Sophia, Nina mengangguk.

“Apa kamu tahu statusnya? Latar belakangnya?”

“Maksud Tante?”

“Mana tahu dia sudah beristri, kan? Maka kamu akan mendapat masalah, orang akan menyebut kamu pelakor, dan kamu hanya akan jadi mainannya saja.”

“Tante, Nathan tidak seperti itu, Nina yakin.”

“Bagaimana kamu bisa yakin? Kalau kamu saja belum tahu latar belakangnya?”

“Tante, sejauh yang Nina amati, Nathan tidak pernah keluar bersama wanita. Setiap hari ia hanya fokus kerja dan kerja.”

“Ok,  katakan dia tulus dan benar-benar mencintai kamu, lalu bagaimana dengan keluarganya? Karena status sosial kalian berbeda. Bagaimana juga dengan lingkungan kerja kalian? Karena dia adalah atasan kamu.”

“Kalau mengenai tempat kerja, belum ada yang tahu, Tan. Kami sepakat untuk merahasiakan hubungan kami.”

“Sepandai-pandai orang menyimpan bangkai, pasti akan terendus juga. Suatu saat mereka akan tahu hubungan kalian, ok mulut bisa kalian tutup rapat, tapi gestur tubuh, kalian tidak akan bisa selalu berpura-pura.”

Nina terdiam, gadis itu hanya tertunduk menekuri meja. Tante Sophia menjadi bimbang, di satu sisi ia sangat menyayangi Nina, ia khawatir sesuatu yang buruk akan menimpa keponakannya itu akibat hubungan asmaranya dengan sang bos.

Di sisi lain, Tante Sophia bisa mengerti bagaimana perasaan Nina saat ini, ia juga pernah muda dan bagaimana perasaan seorang gadis mencintai kekasihnya.

“Nina, Tante bukan bermaksud menentang hubungan kalian, Tante hanya khawatir sesuatu yang buruk akan menimpa kamu, karena hubungan kalian sangat beresiko.”

“Tante, Nina sudah siap dengan resiko apa pun. Kami akan menghadapi, apa pun itu sebagai ujian cinta kami.”

“Baiklah, Nina. Tante hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu,” ujar Tante Sophia melihat kegigihan keponakan tersayangnya itu.

“Terima kasih, Tante.” Nina terharu, ia memang membutuhkan support dari Tantenya ini, sejak ibunya meninggal, Tante Sophia inilah yang mengambil peran sebagai ibunya.

“Oke, kamu istirahat saja, Nina. Biar belanjaan kamu Tante yang bereskan.”

“Baik Tante, sekali lagi Terima kasih.” Nina tersenyum, ia bangkit dan hendak beranjak ke kamarnya, namun ia ingat ia masih belum dapat ide untuk membuat sarapan besok.

“Tante …” panggil Nina ragu-ragu, “besok pagi, Nina mau bikin sarapan buat Nathan, tapi masih belum ada ide mau buat apa. Tante ada saran?”

Tante Sophia tersenyum. “Kamu bilang belum ada ide, tapi ini Tante lihat bahan-bahannya lengkap untuk buat sandwich, ada roti gandum, beef, keju, dan yang lain-lainnya. Pasti kamu kepikiran mau buat beef sandwich, kan?”

“Oh, tadi memang ada kepikiran sandwich, tapi Nina bingung juga mau sandwich apa. Ok kalau gitu Nina akan buat beef sandwich aja.” Nina bergegas masuk ke kamarnya dengan riang, tante tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Nina teringat ponselnya yang mati, ia segera menghubungkan ke pengisi daya. Begitu ponselnya menyala, gadis itu terkejut, karena begitu banyak info panggilan masuk  yang tak terjawab, ada nomor tante dan Laura. 

Tiba-tiba mata gadis itu pun tertuju pada satu nomor yang tidak dikenalnya. Ada 3 panggilan dari nomor itu, padahal Nina sangat selektif dalam memberikan nomornya, hanya keluarga dan teman-teman dekatnya yang tahu.

“Nomor siapa ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status