Share

Bab 4. Sweet Moment

Nina masih tertegun ketika kaca pintu depan mobil itu diturunkan, samar-samar terlihat seorang pria duduk di belakang kemudi,  lalu terdengar suara yang  tidak asing memanggilnya.

“Ayo cepat masuk, Nina! Mau aku ditangkap polisi ya karena masuk dan berhenti di jalur yang salah,”  tegas pria di dalam mobil itu.

“Oh, i-iya, Pak!”  Nina bergegas masuk dan duduk di kursi belakang.

“Kamu pikir aku sopir, kamu duduk di situ, hem.”

“Oh, i-iya, ma’af.”  Nina segera pindah ke kursi depan, mobil itu pun segera melaju cepat keluar dari jalur khusus bus itu.

Nina masih terlihat gugup, ia sama sekali tidak menyangka kalau sang bos akan memintanya masuk ke mobilnya.

“Kamu kenapa, Nina. Disuruh masuk malah bengong, ketakutan seperti lihat hantu,” ujar Nathan sambil tetap fokus pada jalan di depannya.

“Saya … saya tidak tahu kalau itu bapak, saya kira …”  Nina ragu-ragu meneruskan kata-katanya.

“Memang kamu kira apa?” desak Nathan.

“Saya kira penjahat yang mau menculik saya,” jawab Nina polos. Nathan tergelak medengar jawaban Nina yang masih terlihat ketakutan.

“Ya, kamu benar. Malam begini tidak aman bagi seorang gadis cantik seperti kamu keluyuran sendirian, makanya aku bergegas menyusul kamu,” ucap Nathan serius, “tapi aku memang akan menculik kamu kok, Nina.” Nathan tersenyum menggoda.

“Ha? Menculik saya?”  Nina terkejut, refleks gadis itu menggeser duduknya ke tepi, Nathan tertawa terbahak-bahak melihat kegugupan Nina.

“Iya, aku akan menculik kamu Nina,” ulang Nathan sambil terkekeh, “menculik hatimu.” Nathan kembali menggoda.

“Ih, bapak. Becandanya nggak lucu.” Nina menghela napas lega, namun wajah gadis itu tersipu.

“Hahaha, aku serius Nina. Aku akan menculik hati kamu dari pacar kamu.”

“Ish, apaan sih, Pak. Siapa juga yang punya pacar.”

“Oh, kamu jomblo, Nina? Wah kebetulan sekali, nggak perlu di culik berarti ya.” Nathan tersenyum.

“Apaan sih, Pak?”  Nina mengelak, wajahnya panas dan memerah, terlihat sangat menggemaskan bagi Nathan, pria itu tertawa sambil mencubit hidung Nina.

“Ih, Bapak genit.”

“Hahaha, ini bukan di kantor, Nina. Nggak usah formal begitu, panggil saja Nathan.”

“Saya nggak berani, Pak.” Nina menggeleng.

“Kalau aku yang minta gimana? Ayo panggil Nathan.”

Nina terdiam sebelum akhirnya berkata, “baik, N-Nathan.”

“Hahaha. Kedengarannya bagus, coba ulangi,” pinta Nathan.

“Nathan …”  ucap Nina Pelan.

“Ahaaa, jadi mulai sekarang nggak diterima panggil Pak diluar kantor dan diluar urusan kerja, apalagi kalau berdua gini.” Nathan tersenyum.

Nina tidak menjawab, namun irama di dadanya bertalu-talu merdu. ‘Duh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi ini?’

“Kamu biasa tidur jam berapa, Nin?”

“Paling lambat jam sebelas,” jawab Nina. Nathan melihat arlojinya.

“Baru jam sembilan lewat lima belas menit, masih ada waktu buat belanja.”

“Ha? Belanja?” Nina bingung, “mau belanja apa malam-malam begini?”

“Ya, belanja bahan makanan buat kamu masak.”

“Apa? masak? Malam-malam begini? Bukannya tadi sudah makan?”

“Hahaha, ya bukan buat makan sekarang dong, ah. Tapi buat sarapan besok pagi.”

“Sarapan?” ulang Nina masih bingung.

“Hei, jangan bilang lupa, ya. Kamu kan mau masakin aku makanan, jadi besok pagi kamu buatkan aku sarapan, oke.”

“Bapak eh e-k-kamu mau sarapan apa, Nathany eh Nathan?” tanya Nina canggung.

“Apa? Nathany? Hmm, kedengarannya manis, panggilan khusus dari kamu.” Nathan tersenyum, “Anyway terserah kamu mau buatin apa, aku sudah bilang aku nggak pemilih soal makanan, tapi aku pemilih soal cewek,” imbuhnya, senyum pria itu semakin lebar.

Mereka menuju ke sebuah supermarket, Nina masih belum punya ide akan membuat masakan apa, namun ia mengambil beberapa bahan makanan, daging dan sayur-sayuran, serta bumbu-bumbu lengkap.

Setelah selesai, Nathan membayar semua belanjaan itu di kasir, lalu ia juga yang membawanya ke mobil. Nina berjalan di sisi pria itu seakan sedang berada di alam mimpi.

“Aku nggak sabar nih, nunggu besok pagi, menikmati sarapan buatan gadis cantik di sampingku ini,” goda Nathan sambil tersenyum.

“Kalau nggak enak, bagaimana?”  tanya Nina merasa kurang percaya diri.

“Pasti ada hukumannya dong,” jawab Nathan sambil tersenyum.

“Hukumannya apa?”

“Apa ya …?”  Nathan tersenyum, “ada deh …”

Mobil Nathan pun meluncur ke sebuah rumah sewa tempat Nina tinggal.

“Kamu tinggal di sini, Nin?” tanya Nathan sambil memperhatikan tempat itu.

“Iya, tapi aku ambil dua kamar yang di atas, karena Tante aku dan sepupu suka datang, selain itu di atas ada dapurnya, jadi aku bisa masak sendiri.”

Nathan mengangguk, Nina hendak turun namun Nathan menahannya.

“Nina … aku percaya kamu bisa menjaga rahasia kita.” Nathan berkata dengan serius, mata elangnya langsung menghujam ke dalam mata gadis itu.

“Rahasia …?” ulang Nina linglung.

Nathan mengangguk. “Semua yang terjadi diantara kita, kebersamaan kita, malam ini dan seterusnya adalah rahasia kita berdua, kamu mengerti?”

Nina perlahan mengangguk, sebelum akhirnya dia bertanya, “seterusnya?”

Nathan menghela napas. “Nina, kamu adalah salah satu karyawan terbaikku, itu sebabnya aku sangat ketat dan tegas kepadamu, suatu saat nanti kamu akan menangani proyek besar di perusahaan kita, itu sebabnya aku harus mempersiapkanmu diam-diam.”

Hening, sejenak keduanya terdiam. “Tapi ada masalah lain yang aku rasakan, Nina.”

“Apa?” tanya Nina singkat.

Nathan menghadap ke arah Nina, kedua tangannya memegang wajah gadis cantik yang masih terlihat bingung. Mata pria itu berbinar lembut, ia menatap Nina dengan tatapan mesra, ada sejuta rasa terpancar di sana.

“Aku menyukai kamu, Nina. Kamu adalah gadis yang sudah membuatku jatuh cinta.”

Kata-kata itu diucapkan Nathan dengan lembut dan penuh kesungguhan, membuat Nina tak berkutik. Bagaikan disambar petir di siang bolong, Nina bengong hingga tanpa sadar kedua bibirnya setengah terbuka, karena terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa.

Hal itu membuat gairah Nathan semakin bergejolak, gairah yang sudah lama terkubur bersama cerita kelam yang menerpanya. Gairah yang selalu tersembunyi dibalik sikap angkuh dan dinginnya.

“Nina … maukah kamu menerima cintaku, Nin. Menjadikan aku orang yang spesial di hatimu?” Suara Nathan bergetar, begitu pun Nina, jantungnya berdegup keras. Belum sempat gadis itu menjawab, Nathan sudah menundukkan wajahnya, melumat bibir gadis itu dengan lembut. Entah mengapa, kali ini Nina pun tak kuasa lagi menahan diri untuk tidak membalasnya.

Gejolak di dalam diri Nina terus meronta, aliran darah ke wajahnya pun mengalir cepat, hingga ia merasakan wajahnya menghangat. Perlahan Nina memejamkan mata, merasakan  kelembutan serta rasa manis dan kenyal pada bibir yang melumat bibir mungilnya itu. Kedua tangannya melingkari leher Nathan.

Gadis itu pun membalas melumat bibir pria itu dengan lembut, hal itu membuat Nathan sedikit terkejut, lalu pria itu memeluk gadis di hadapannya dengan erat. Ciuman itu pun menjadi semakin dalam berbalut hasrat hati keduanya yang selama ini tersembuyi.

Sebelum hasrat dan gairah keduanya makin meronta dan menguasai kesadaran mereka, Nathan perlahan melepaskan ciumannya, namun ia menempelkan dahinya pada dahi gadis di hadapannya  yang masih terpejam.

“Nina … terima kasih ya Sayang, kamu sudah menerima dan membalas cintaku,” bisik Nathan lembut. Perlahan gadis itu membuka matanya.

“Nathany aku …”

“Aku tahu Sayang, tidak perlu diucapkan, tapi kamu sudah membuktikannya.” Nathan menempelkan hidung mancungnya ke hidung gadis itu, dan menggesekkannya perlahan sambil tersenyum, ia kembali menyapu bibir gadis itu dengan pagutan lembut dan ringan.

Nathan mengangkat wajahnya, lalu merengkuh Nina ke dadanya, gadis itu pun memejamkan mata, merasakan degup jantung pria itu.

“Nina … jaga dan rawat selalu cintaku dengan baik ya, Nin.” Nathan berkata sambil membelai rambut gadis itu, Nina mengangguk.

“Untuk sementara, kita akan merahasiakan hubungan kita ini, di kantor aku adalah bosmu, dan bersikaplah seperti biasa, apa kamu bisa, Nina?”

“Iya, Nathany, aku mengerti,” jawab Nina lembut.

“Terima kasih babe,” ucap Nathan seraya mencium kening Nina lembut, “sudah malam, kamu langsung tidur ya, jangan lupa buatkan aku sarapan special besok, titipkan sama Emy di pintu samping, oke.”

“Oke, kamu juga hati-hati di jalan ya,” pesan Nina sambil tersenyum manis. Gadis itu mencium pipi Nathan lembut lalu bergegas turun, Nathan segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.

Nina melambaikan tangan, wajahnya sumringah. Namun tanpa disadarinya, sepasang mata sejak tadi memperhatikan gadis itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status