Nina tertegun, ia mencoba mengingat siapa saja yang tahu nomor pribadinya itu, karena ia telah memisahkan antara nomor pribadi dan nomor kerja.
“Ah mungkin nomor salah sambung atau orang iseng,” gumamnya. Nina pun bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian. Namun ketika ia kembali hendak tidur, ponselnya kembali berdering, panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal tadi.
Sejenak gadis itu tertegun, ia ragu untuk mengangkatnya, khawatir orang iseng atau marketing yang menawarkan barang atau jasa. Akhirnya Nina pun mengangkatnya, jika memang orang iseng ia siap akan memblokir.
“Halo,” sapa Nina, “maaf ini siapa ya?”
Hening, tidak terdengar jawaban dari seberang sana.
“Hmm, ya sudah, mungkin Anda salah sambung, selamat malam.” Nina baru saja akan memutuskan panggilan ketika tiba-tiba terdengar tawa di ujung sana.
“Halo, Anda siapa? Tolong jangan main-main!” hardik Nina kesal.
“Iya-iyaa … galak banget sih, sayang.” Terdengar suara di ujung sana. Nina tertegun, suara itu …
“Halo, Nina. Apa kamu nggak mengenali suaraku, hem?”
“Na-Nathany?” ucap Nina ragu.
“Hehe, kenapa gugup begitu, Nina? Apa kamu pikir aku ini orang iseng yang gangguin kamu, ya? Oke aku tutup deh,” goda Nathan.
“Oh jangan, hehe.” Nina tersipu sendiri, “maksudku aku bingung aja kamu tahu nomor pribadiku dari mana? biasanya urusan kerja aku nggak pakai nomor ini.”
“Hmm, nggak sulit kok, Nina untuk mendapatkan data-data pribadi kamu atau karyawan lain.” Nathan menjawab dengan santai.
“Ini nomor pribadi kamu?” tanya Nina penasaran, selama ini ia tahu nomor Nathan tapi nomor yang berbeda.
“Yup, save ya dengan nama yang khusus,” Ujar Nathan sambil tersenyum, “by the way kamu lagi apa, Sayang?”
“Baru habis mandi, ini udah siap-siap ke tempat tidur,” Sahut Nina.
“Hmm, andai aku ada di sana …”
“Hayo apa … jangan mikir macam-macam ya,” potong Nina.
“Hahaha, aku nggak macam-macam kok, satu macam aja.” Nathan terkekeh, ia merasa sangat santai saat bersama dengan Nina, meskipun hanya lewat telepon.
“Ngomong-ngomong kamu lagi ngapain Nathany?” Nina balik bertanya.
“Lagi mikirin kamu,” goda Nathan.
“Ish, lebay. Kayak anak ABG aja.”
“Haha, emang anak ABG aja yang boleh mikirin kekasihnya?” kilah Nathan disela tawanya. Nina pun ikut tertawa.
“Oya, Nina. Besok kamu siap-siap untuk presentasi ya, laporan yang tadi sudah kamu buat, sampaikan sedetail mungkin.” Suara Nathan sedikit serius.
“Besok?” ulang Nina.
“Ya, tunjukan bakat dan kemampuanmu, kalau kamu memang layak untuk projek ini, ingat! ada seseorang yang harus kamu patahkan.” Nathan menyemangati Nina.
“Seseorang? siapa?” tanya Nina bingung.
“Besok kamu akan tahu, sekaligus akan menjawab semua kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan kamu selama ini.”
“Okay, aku akan melakukan yang terbaik.” Nina menjawab mantap.
“Good! Itu baru Ninaku,” puji Nathan sambil tersenyum, “OK sayang, sekarang kamu istirahat, ya. Selamat bobo, jangan lupa mimpiin aku. Love you Nina, mmmmuach.”
“I love you too Nathany, mmuach.”
Nina tersenyum, bahkan saat panggilan telah berakhir, ia merebahkan tubuh di atas tempat tidur sambil mendekap ponselnya di dada, wajah cantik itu berbinar cerah. Begitu pun Nathan, pria itu senyum-senyum sendiri. Ia merasakan ada getar-getar kehangatan yang menjalari relung hatinya yang telah lama membeku.
Esoknya Nina bangun pagi-pagi sekali, Nina membuat beef sandwich untuk Nathan, juga untuk dirinya dan tante Sophia. Tante Shopia ingin membantu, namun Nina menolaknya, ia ingin membuat dengan tangannya sendiri.
“Bagaimana, Tante? Enak gak?” tanya Nina pada sang tante.
“Enak Sayang, enak banget. Kamu memang cekatan seperti mendiang Mama kamu.” Tante Sophia memuji masakan yang dibuat Nina. Gadis itu tersenyum, sejak masih di bangku sekolah dasar, ia memang sering menemani sang Mama yang merupakan seorang chef. Mama berusaha mengajarkan Nina memasak, meskipun gadis itu kurang begitu tertarik. Namun setidaknya sedikit banyak Nina tahu bagaimana memasak yang enak, meskipun tidak sehebat sang Mama.
Nina berangkat ke kantor lebih awal dari sebelumnya, belum banyak karyawan yang datang sehingga Nina bisa lebih leluasa menemui Miss. Emi, asisten Nathan. Ia berharap wanita kepercayaan boss sekaligus kekasihnya itu, juga sudah datang.
Dan dugaan Nina benar, ketika ia tiba di dekat pintu samping, seorang wanita mengenakan celana panjang hitam dan blazer hitam, telah berdiri menunggunya, ternyata wanita itu lebih dulu tiba darinya.
“Selamat pagi Miss. Emi,” sapa Nina.
“Pagi Nina,” jawab wanita itu sopan, “apa sudah disiapkan?”
“Tentu,” sahut Nina, ia mengambil sebuah flashdisck dari dalam tasnya dan menyerahkan pada wanita itu.
“Oke Nina, terima kasih,” jawab wanita itu.
“Miss. Emi,” panggil Nina ketika melihat asisten Nathan itu akan berbalik, “Ya?” sahut wanita itu sambil menatap Nina penuh tanya.
“Saya mau titip ini buat Pak Nathan,” ujar Nina seraya menyodorkan totebag berisi tempat makanan.
“Oh, baik. Akan saya sampaikan,” jawab Emi sambil menerima tas itu, “ada yang lain?”
“Nggak, hanya itu saja,” jawab Nina sambil tersenyum.
“Baik, kalau begitu saya permisi.”
“Terima kasih Miss. Emi.” Nina tersenyum yang dibalas anggukan wanita itu, lalu berlalu masuk melalui sebuah lorong. Nina menghela napas, wanita itu sangat kaku, namun gerakannya cepat. Terlihat sangat fokus pada apa yang dilakukannya. Pastinya dia bukan orang sembarangan, karena tidak mudah menjadi asisten kepercayaan, buat orang seperti Nathan.
Nina segera meninggalkan tempat itu, sepertinya itu adalah pintu khusus menuju ruangan Nathan, tidak banyak karyawan yang tahu.
“Nina!” panggil seseorang yang suaranya sudah tidak asing bagi Nina, ia segera berbalik lalu tersenyum pada Laura yang sedang berjalan ke arahnya.
“Pagi Miss Bawel, tumben jam segini kamu udah nyampe, biasanya jam mepet baru nyampe kantor.” Nina berkicau menyambut sahabatnya itu.
“Hehe, dapat tumpangan gratis, Nin.” Laura terkekeh.
“Tumpangan gratis?” tanya Nina tertarik, “dari siapa?”
“Dari Benny lah, masa dari Pak Nathan haha,” seloroh Laura sambil cekikikan.
“Huss, jangan sembarangan ya nyebut nama boss,” hardik Nina menggoda sahabatnya.
“Uffz, hehe.” Kedua sahabat itu pun tertawa, mereka melangkah menuju kafetaria untuk menikmati secangkir kopi.
“Hari ini berasa hari baik buat aku,Nin.” Laura menyesap kopinya, “nggak biasanya juga Ben mau nganterin aku.”
“Ya, sekali-kali nganterin pacar sendiri kan wajar, Ra.” Nina menimpali.
“Iya, sih. Dia mah nggak keberatan, akunya yang gak tega, karena jarak kantor dia ke mari jauh dan berlawanan arah, melewati jalur macet pula, kasihan kalau dia setiap hari terlambat gara-gara nganterin aku.”
“Ya, namanya juga cinta, berkorban sekali-kali nggak apa-apa, kan?” sahut Nina menanggapi.
“Wah, udah bisa ngomongin cinta nih, anak Mami.” Laura sedikit terkejut, karena biasanya Nina selalu cuek kalau dia bicara soal cowok.
“Anak mami apa?” celetuk Nina, “Mami aku sudah meninggal.” Kilah Nina.
“Oh iya, sorry, sorry.” Laura khawatir membuat sahabatnya sedih, ia segera mengoreksi kata-katanya, “maksudku anak tante.”
Nina tersenyum, “kalau Tante Sophi memang sedang ada di rumah, baru datang kemaren sore.”
“Oh benarkah? Salam ya sama Tante Sophia.”
“Main aja ke rumah, sampein aja salamnya sendiri.” Nina dan Laura tertawa, kedua sahabat itu terlibat candaan ringan seperti biasanya. Tiba-tiba pandangan Nina terpaku ke luar, dari dinding kaca itu ia bisa melihat seseorang yang sedang masuk ke dalam.
Laura tercengang, ia segera mengikuti arah pandangan mata Nina, sontak mata gadis itu terbelalak.
“Oh, Nina!”
Laura terperanjat, sahabatnya diam mematung memperhatikan sosok seseorang dari kejauhan. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Nina? Laura kembali memperhatikan sosok yang sudah menyita perhatian sahabatnya itu. Sosok angkuh dan dingin, yang siap membekukan apa saja, lebih dingin dari es di kutub utara.“Pak Nathan ganteng ya, Nin. Tapi sayang …” Laura menggantung kata-katanya untuk memancing Nina.“Apa?” tanya Nina linglung, gadis itu seperti baru tersadar dari tidurnya. Laura terkekeh menggoda Nina, kalau Nina tertarik dengan gunung es itu. Namun diluar dugaan Laura justru sahabatnya itu melontarkan pertanyaan yang membuat bola matanya hampir keluar.“Ra, Pak Nathan itu sudah menikah belum sih?” tanya Nina santai.“What?!” respond Laura dengan full keterkejutannya, “Nina, kamu nggak salah minum obat kan, Nin?”Nina menggelengkan kepalanya dengan bingung, apa yang salah dengan pertanyaannya? Ia pun menjelaskan maksud pertanyaannya, pasalnya ia penasaran dengan sikap sang bos, bisa ja
Seorang pria yang sudah dikenal Nathan langsung masuk, ia nampak terkejut melihat Nathan yang terbatuk-batuk, ia melihat ke atas meja, terhidang beberapa potong sandwich yang terlihat menggugah selera. Nathan segera meraih gelas dan meneguk air putih untuk menetralisir tersedaknya. “Brengsek! Kenapa masuk nggak ketuk pintu dulu?” hardik Nathan. Lelaki yang baru datang itu menggaruk rambutnya sambil nyengir, “He he, sorry bos, aku lupa,” jawab Michael polos. Tanpa disuruh ia langsung duduk di samping Nathan. “Wah, sepertinya lezat, Tan. Aku nggak ditawari, nih?” Rengek Michael sambil menatap sandwich di meja. “Memang belum sarapan, Mike?” tanya Nathan melanjutkan makannya, Michael menggeleng. “Ya sudah, ambil sepotong aja, jangan lebih,” tegas Nathan. “Ha ha ha, sejak kapan bos yang satu ini pelit sama sarapan, biasanya kalau makanan langsung dikasih aku untuk dihabiskan.” Michael tertawa sambil menggerutu, namun tangannnya aktif meraih sepotong sandwich. “Ck, berisik! Ini beda,
Laura tertegun, mau apa lagi cowok julid ini ke mari, apa ada kaitannya dengan perubahan sikap Nina? Gadis itu masih berusaha menebak dan memahami situasi yang terjadi. Richard, lelaki yang disebut Laura julid itu tersenyum sarkastik. Laura paham, senyum itu ditujukan untuk sahabatnya Nina, karena mata pria itu tak pernah lepas dari menatap Nina.“Ehm, maaf Tuan Richard, sepertinya Anda ingin bergabung makan siang dengan kami,” ujar Laura sarkastik, “tapi maaf kami hanya ingin makan berdua, jadi tidak mengundang orang lain.”Pria itu menatap Laura dan tersenyum sinis. “Saya tidak butuh undangan kalian, justeru saya yang akan mengundang kalian untuk merayakan keberhasilan saya mendapatkan project baru dari bos.”Laura melirik Nina, gadis itu tidak bereaksi apa-apa, sedikit banyak ia bisa meraba situasinya.“Well, memang penting ya merayakan pekerjaan yang belum terlihat pasti hasilnya,” ujar Laura sinis.“Apa maksud kamu?” Richard terlihat jengkel.“Nggak ada maksud,” ketus Laura samb
Seorang lelaki berjalan dengan langkah panjang, bergegas menyusul Nina. Demi melihat Pak Ben, ia pun menghentikan langkahnya. “Selamat siang Pak, Ben.” Richard menyapa Pak Benjamin dengan sapaan yang ramah. Sebelumnya ia tidak tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir, tapi melihat lelaki paruh baya itu berdiri di sini, ia mengerti. Pak Benjamin, manager kawakan ini salah satunya. Richard sebenarnya merasa kesal, karena ia diberitahu mendadak, sehingga belum sempat mencari tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir. Padahal sebelum-sebelumnya ia diberi jeda 1 atau 2 hari, sehingga ia bisa melobi mereka untuk mendukungnya. “Siang Richard, jadi kamu dan Nina yang akan presentasi siang ini?” tanya lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Ben itu. “Benar Pak Ben, Pak Nathan sendiri yang menyerahi tugas ini pada saya.” Richard berujar bangga. Pak Ben menatap Richard sambil mengerutkan kening, “Pak Nathan sendiri yang memberi tugas ini ke kamu?” ulangnya, Richard mengangguk sam
Semua orang terkejut, Nina pun berhenti dari presentasinya, mereka melihat ke arah sumber suara, Richard berdiri, dan berteriak dengan emosi bahwa Nina telah menjiplak laporannya. “Apa maksud Anda saudara Richard?” tanya salah seorang anggota komite. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sudah melihat proposal saya, dan lihat! apa yang disampaikan perempuan ini, sama persis, dia menjiplak laporan saya.” Richard berkata dengan tajam, ia berjalan mendekat kepada Nina. “Bapak-bapak tahu, perempuan ini hanya anak kemaren sore yang belum mengerti apa-apa, tapi dia membuat laporan persis dengan milik saya, itu artinya dia menjiplak milik saya.” Kini semua mata menatap Nina, meminta penjelasan. suasana di ruang meeting itu menjadi tegang. Namun Nina tetap tenang, tak ada sedikit pun kepanikan di wajahnya. “Saudari Nina, apakah benar apa yang dikatakan saudara Richara?” tanya salah satu tim komite. Nina tetap tenang, ia menjawab dengan tegas, “saya tidak pernah me
Tidak lama setelahnya pintu terbuka, dua orang security masuk, Emy memberi kode ke arah Richard, kedua security itu pun memegang kedua tangan lelaki itu. “Hei tunggu! Apa yang kalian lakukan?” Richard berteriak. “Saya tidak ingin ada kekacauan di ruang ini, energy negatif harus dikeluarkan.” Nathan berkata dengan dingin. “M-maksudnya bagaimana, Pak?” tanya Richard gugup. “Apakah Anda lupa? Kemarin Anda datang ke ruangan saya, mengatakan kalau Nina tidak becus kerja dan pemalas, lalu Anda menawarkan diri agar Anda mengambil alih tugas itu, dan menjanjikan akan selesai besok pagi,” tegas Nathan. “Tapi, bukankah bapak setuju?” tanya Richard, ia merasa terpojok dan dikuliti. “Ya, saya mengangguk bukan berarti menyerahkan begitu saja tugas ini, untuk itu meeting ini diadakan, saya memberikan kesempatan kepada Anda untuk membuktikan kemampuan Anda.” Nathan menatap Richard dengan tajam. “Tapi apa? Anda bisa memaparkan tapi tidak bisa mempertanggung jawabkan, menjawab satu pertanyaan
“Jangan senang dulu gadis sombong! Aku nggak akan tinggal diam, aku akan mencari berbagai cara untuk menyingkirkanmu.” Lelaki itu menyeringai, tatapannya sangat tajam, dipenuhi dendam dan kebencian kepada Nina, ia segera berbalik dan pergi meninggalkan kantor besar itu.Sementara itu, Nina tengah bersiap-siap untuk pulang, karena jam pulang sudah tiba, apalagi besok weekend, para karyawan biasanya sangat bersemangat karena bisa memanfaatkan 2 hari itu untuk berkumpul dengan keluarga dan orang-orang terkasih.“Nina!” panggil Laura. Gadis itu bergegas masuk dan memeluk Nina.“Hei Miss bawel, apa-apaan ini?” tanya Nina kebingungan.”“Selamat ya, Nina. Akhirnya kamu berhasil mendapatkan project besar ini,” ujar Laura ceria.“Eh, kamu tahu dari mana, Ra?” tanya Nina heran, ia berpikir belum banyak yang tahu karena baru ditetapkan siang tadi.“Hmm, ketinggalan info kamu, sekarang kamu lagi jadi trending topik loh gosip di kantor ini,” ujar Laura bangga.“Ha? Masa sih? Kok cepat banget, ka
Tante Sophia menghela napas sebelum ia berkata, “Nina, cinta sejatinya tak bisa diukur dengan materi, sebanyak apa pun material yang diberikan tidak bisa dijadikan patokan kalau seseorang sungguh-sungguh mencintaimu.”Nina terdiam, ia mencoba mencerna kata-kata Tante Sophia. “Dan sebagai seorang wanita, harus mempunyai harga diri, jangan pernah meminta apa pun dari seorang lelaki sebelum menjadi pasangan yang resmi.”“Nina mengerti Tante, Nina tidak pernah meminta apa pun sama Nathan,” jawab Nina sambil tersenyum, “Oya menurut Tante, apa Nina harus kembalikan laptop ini?”“Hmm, kalau Nathan benar-benar tulus, dia akan tersinggung jika kamu menolaknya, disamping itu mungkin dia melihat jika kamu benar-benar membutuhkan laptop ini.” Tante Sophi berpendapat.“Benar Tante, Nathan pasti tahu apa yang Nina pikirkan, karena belakangan ini Nina sering diganggu oleh rekan kerja yang dengki sama Nina, dia mensabotase hasil kerja Nina.” Nina menjelaskan masalah gangguan yang ia hadapi di kantor.