Share

Bab 6. Titipan Spesial

Nina tertegun, ia mencoba mengingat siapa saja yang tahu nomor pribadinya itu, karena ia telah memisahkan antara nomor pribadi dan nomor kerja.

“Ah mungkin nomor salah sambung atau orang iseng,” gumamnya. Nina pun bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian. Namun ketika ia kembali hendak tidur, ponselnya kembali berdering, panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal tadi.

Sejenak gadis itu tertegun, ia ragu untuk mengangkatnya, khawatir orang iseng atau marketing yang menawarkan barang atau jasa. Akhirnya Nina pun mengangkatnya, jika memang orang iseng ia siap akan memblokir.

“Halo,” sapa Nina, “maaf ini siapa ya?”

Hening, tidak terdengar jawaban dari seberang sana.

“Hmm, ya sudah, mungkin Anda salah sambung, selamat malam.” Nina baru saja akan memutuskan panggilan ketika tiba-tiba terdengar tawa di ujung sana.

“Halo, Anda siapa? Tolong jangan main-main!” hardik Nina kesal.

“Iya-iyaa … galak banget sih, sayang.”  Terdengar suara di ujung sana. Nina tertegun, suara itu …

“Halo, Nina. Apa kamu nggak mengenali suaraku, hem?”

“Na-Nathany?”  ucap Nina ragu.

“Hehe, kenapa gugup begitu, Nina? Apa kamu pikir aku ini orang iseng yang gangguin kamu, ya? Oke aku tutup deh,” goda Nathan.

“Oh jangan, hehe.” Nina tersipu sendiri,  “maksudku aku bingung aja kamu tahu nomor pribadiku dari mana? biasanya urusan kerja aku nggak pakai nomor ini.”

“Hmm, nggak sulit kok, Nina untuk mendapatkan data-data pribadi kamu atau karyawan lain.” Nathan menjawab dengan santai.

“Ini nomor pribadi kamu?” tanya Nina penasaran, selama ini ia tahu nomor Nathan tapi nomor yang berbeda.

“Yup, save ya dengan nama yang khusus,” Ujar Nathan sambil tersenyum, “by the way kamu lagi apa, Sayang?”

“Baru habis mandi, ini udah siap-siap ke tempat tidur,”  Sahut Nina.

“Hmm, andai aku ada di sana …”

“Hayo apa … jangan mikir macam-macam ya,” potong Nina.

“Hahaha, aku nggak macam-macam kok, satu macam aja.” Nathan terkekeh, ia merasa sangat santai saat bersama dengan Nina, meskipun hanya lewat telepon.

“Ngomong-ngomong kamu lagi ngapain Nathany?”  Nina balik bertanya.

“Lagi mikirin kamu,”  goda Nathan.

“Ish, lebay. Kayak anak ABG aja.” 

“Haha, emang anak ABG aja yang boleh mikirin kekasihnya?” kilah Nathan disela tawanya. Nina pun ikut tertawa.

“Oya, Nina. Besok kamu siap-siap untuk presentasi ya, laporan yang tadi sudah kamu buat, sampaikan sedetail mungkin.” Suara Nathan sedikit serius.

“Besok?” ulang Nina.

“Ya, tunjukan bakat dan kemampuanmu, kalau kamu memang layak untuk projek ini, ingat! ada seseorang yang harus kamu patahkan.” Nathan menyemangati Nina.

“Seseorang? siapa?” tanya Nina bingung.

“Besok kamu akan tahu, sekaligus akan menjawab semua kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan kamu selama ini.”

“Okay, aku akan melakukan yang terbaik.”  Nina menjawab mantap.

“Good! Itu baru Ninaku,” puji Nathan sambil tersenyum, “OK sayang, sekarang kamu istirahat, ya. Selamat bobo, jangan lupa mimpiin aku. Love you Nina, mmmmuach.”

“I love you too Nathany, mmuach.”

Nina tersenyum, bahkan saat panggilan telah berakhir, ia merebahkan tubuh di atas tempat tidur sambil mendekap ponselnya di dada, wajah cantik itu berbinar cerah. Begitu pun Nathan, pria itu senyum-senyum sendiri. Ia merasakan ada getar-getar kehangatan yang menjalari relung hatinya yang telah lama membeku.

Esoknya Nina bangun pagi-pagi sekali, Nina membuat beef sandwich untuk Nathan, juga untuk dirinya dan tante Sophia. Tante Shopia ingin membantu, namun Nina menolaknya, ia ingin membuat dengan tangannya sendiri.

“Bagaimana, Tante? Enak gak?” tanya Nina pada sang tante.

“Enak Sayang, enak banget. Kamu memang cekatan seperti mendiang Mama kamu.” Tante Sophia memuji masakan yang dibuat Nina. Gadis itu tersenyum, sejak masih di bangku sekolah dasar, ia memang sering menemani sang Mama yang merupakan seorang chef. Mama berusaha mengajarkan  Nina memasak, meskipun gadis itu kurang begitu tertarik. Namun setidaknya sedikit banyak Nina tahu bagaimana memasak yang enak, meskipun tidak sehebat sang Mama.

Nina berangkat ke kantor lebih awal dari sebelumnya, belum banyak karyawan yang datang sehingga Nina bisa lebih leluasa menemui Miss. Emi, asisten Nathan. Ia berharap wanita kepercayaan boss sekaligus kekasihnya itu, juga sudah datang.

Dan dugaan Nina benar, ketika ia tiba di dekat pintu samping, seorang wanita mengenakan celana panjang hitam dan blazer hitam, telah berdiri menunggunya, ternyata wanita itu lebih dulu tiba darinya.

“Selamat pagi Miss. Emi,” sapa Nina.

“Pagi Nina,” jawab wanita itu sopan, “apa sudah disiapkan?”

“Tentu,” sahut Nina, ia mengambil sebuah flashdisck dari dalam tasnya dan menyerahkan pada wanita itu.

“Oke Nina, terima kasih,” jawab wanita itu.

“Miss. Emi,” panggil Nina ketika melihat asisten Nathan itu akan berbalik, “Ya?” sahut wanita itu sambil menatap Nina penuh tanya.

“Saya mau titip ini buat Pak Nathan,”  ujar Nina seraya menyodorkan totebag berisi tempat makanan.

“Oh, baik. Akan saya sampaikan,” jawab Emi sambil menerima tas itu, “ada yang lain?”

“Nggak, hanya itu saja,” jawab Nina sambil tersenyum.

“Baik, kalau begitu saya permisi.”

“Terima kasih Miss. Emi.” Nina tersenyum yang dibalas anggukan wanita itu, lalu berlalu masuk melalui sebuah lorong. Nina menghela napas, wanita itu sangat kaku, namun gerakannya cepat. Terlihat sangat fokus pada apa yang dilakukannya. Pastinya dia bukan orang sembarangan, karena tidak mudah menjadi asisten kepercayaan, buat orang seperti Nathan.

Nina segera meninggalkan tempat itu, sepertinya itu adalah pintu khusus menuju ruangan Nathan, tidak banyak karyawan yang tahu.

“Nina!” panggil seseorang yang suaranya sudah tidak asing bagi Nina, ia segera berbalik lalu tersenyum pada Laura yang sedang berjalan ke arahnya.

“Pagi Miss Bawel, tumben jam segini kamu udah nyampe, biasanya jam mepet baru nyampe kantor.” Nina berkicau menyambut sahabatnya itu.

“Hehe, dapat tumpangan gratis, Nin.” Laura terkekeh.

“Tumpangan gratis?” tanya Nina tertarik, “dari siapa?”

“Dari Benny lah, masa dari Pak Nathan haha,” seloroh Laura sambil cekikikan.

“Huss, jangan sembarangan ya nyebut nama boss,”  hardik Nina menggoda sahabatnya.

“Uffz, hehe.”  Kedua sahabat itu pun tertawa, mereka melangkah menuju kafetaria untuk menikmati secangkir kopi.

“Hari ini  berasa hari baik buat aku,Nin.” Laura menyesap kopinya, “nggak biasanya juga Ben mau nganterin aku.”

“Ya, sekali-kali nganterin pacar sendiri kan wajar, Ra.” Nina menimpali.

“Iya, sih. Dia mah nggak keberatan, akunya yang gak tega, karena jarak kantor dia ke mari jauh dan berlawanan arah, melewati jalur macet pula, kasihan kalau dia setiap hari terlambat gara-gara nganterin aku.”

“Ya, namanya juga cinta, berkorban sekali-kali nggak apa-apa, kan?” sahut Nina menanggapi.

“Wah, udah bisa ngomongin cinta nih, anak Mami.” Laura sedikit terkejut, karena biasanya Nina selalu cuek kalau dia bicara soal cowok.

“Anak mami apa?” celetuk Nina, “Mami aku sudah meninggal.” Kilah Nina.

“Oh iya, sorry, sorry.” Laura khawatir membuat sahabatnya sedih, ia segera mengoreksi kata-katanya, “maksudku anak tante.”

Nina tersenyum, “kalau Tante Sophi memang sedang ada di rumah, baru datang kemaren sore.”

“Oh benarkah? Salam ya sama Tante Sophia.”

“Main aja ke rumah, sampein aja salamnya sendiri.” Nina dan Laura tertawa, kedua sahabat itu terlibat candaan ringan seperti biasanya. Tiba-tiba pandangan Nina terpaku ke luar, dari dinding kaca itu ia bisa melihat seseorang yang sedang masuk ke dalam.

Laura tercengang, ia segera mengikuti arah pandangan mata Nina, sontak mata gadis itu terbelalak.

“Oh, Nina!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status