Suasana ruang kerja pagi itu terasa lebih mencekam dari biasanya. Alena bisa merasakannya begitu ia melangkahkan kaki melewati pintu kaca besar bertuliskan "Artha Nusantara Group". Pandangan-pandangan yang sekilas beralih saat ia menatap balik, bisikan-bisikan yang terhenti ketika ia mendekat, dan senyuman penuh arti yang ditujukan padanya—semua ini bukanlah imajinasi belaka.
"Selamat pagi, Alena," sapa Dina dari meja resepsionis dengan senyum yang sedikit berbeda dari biasanya. "Pak Adrian sudah mencarimu sejak setengah jam lalu."
"Oh?" Alena berusaha terdengar biasa. "Ada masalah?"
"Entahlah," Dina mengangkat bahu, matanya berkilat penuh arti. "Tapi sepertinya cukup penting. Dia memintamu langsung ke ruangannya begitu tiba."
Alena mengangguk kaku, merasakan tatapan Dina yang mengikutinya saat ia berjalan menuju mejanya untuk meletakkan tas. Dalam perjalanan singkat itu, ia bisa merasakan atmosfer kantor yang berubah—seperti semua orang tahu
"Tidak apa?" nada Adrian semakin menusuk. "Tidak butuh siapa-siapa? Jangan munafik, Len. Lihat dirimu sekarang. Mata bengkak, berantakan, sendirian di apartemen yang bahkan bukan milikmu. Kamu pikir kamu bisa hidup sendiri?"Sesuatu dalam diri Alena bergolak. Ya, ia memang berantakan. Ya, ia memang sendirian. Ya, ia memang takut. Tapi...Tapi ia ingat gadis di foto-foto itu. Gadis yang pernah percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Dan meskipun gadis itu mungkin naif, meskipun mungkin membuat kesalahan, setidaknya ia berani mencoba."Mungkin aku memang tidak bisa hidup sendiri," kata Alena pelan, tapi suaranya mulai mantap. "Mungkin aku memang berantakan sekarang. Tapi aku lebih memilih berantakan sendirian daripada diperbaiki oleh orang yang salah.""Orang yang salah?" Adrian terdengar terkejut. "Aku yang salah? Aku yang sudah bertahun-tahun mencintaimu, yang mau menerima kamu apa adanya?""Mencintai atau mengendalikan?" Alena bertanya, dan pertan
Suara ketukan pintu memecah keheningan pagi yang mencekam. Alena yang sedang duduk di lantai kamar dengan peralatan lukis berserakan di sekelilingnya tersentak kaget. Cat air yang baru ia beli kemarin masih dalam kemasan, belum sempat ia sentuh karena tangan-tangannya masih gemetar setiap kali hendak memulai."Alena, buka pintunya." Suara Adrian terdengar dari luar, nada rendah yang familiar tapi kini terasa lebih menusuk.Jantung Alena berdebar tidak karuan. Sudah seminggu ini Adrian terus menghubunginya, mengirim pesan yang semakin intens, semakin mendesak. Ia tidak pernah menjawab, berharap pria itu akan mengerti dan membiarkannya sendiri. Tapi rupanya Adrian tidak mudah menyerah."Aku tahu kamu di dalam. Mobil Reno sudah tidak ada, jadi jangan pura-pura tidak di rumah." Suara Adrian semakin keras, disertai ketukan yang lebih kasar.Alena bangkit dengan kaki yang bergetar. Ia tahu ia tidak bisa terus bersembunyi, tapi tubuhnya menolak bergerak mendekati pintu. Ada sesuatu dalam nad
Setelah Maya pulang, apartemen kembali tenggelam dalam kesunyian yang mencekam. Alena duduk di sofa yang sama tempat mereka sering berpelukan sambil menonton film, menatap kosong ke arah televisi yang mati. Remang-remang cahaya lampu sudut menciptakan bayangan-bayangan di dinding, seolah-olah kenangan-kenangan masa lalu sedang menari dalam kegelapan.Tanpa sadar, jemarinya menelusuri bantalan sofa tempat Reno biasa bersandar. Masih ada lekukan halus di sana, jejak tubuhnya yang pernah mengisi ruang kosong ini. Alena memejamkan mata, mencoba mengingat bagaimana rasanya ketika lengan kekar Reno memeluknya erat, bagaimana dadanya naik turun dalam ritme napas yang teratur, bagaimana detak jantungnya yang tenang selalu berhasil menenangkan kegelisahan dalam dirinya."Alena, kamu mau nonton apa malam ini?" suara Reno bergema dalam ingatannya."Terserah kamu aja," jawabnya dulu, tanpa benar-benar peduli film apa yang mereka tonton. Yang penting baginya adalah kehangatan tubuh Reno di samping
Alena mengangguk pelan. "Aku merasa seperti orang yang paling egois di dunia. Reno mencintaiku dengan tulus, tapi aku... aku tidak pernah benar-benar menghargainya. Aku selalu menganggapnya as granted.""Len, boleh aku tanya sesuatu yang mungkin kasar?" Maya meraih tangan Alena. "Kamu sedih karena kehilangan Reno, atau kamu sedih karena kehilangan kenyamanan hidup yang dia berikan?"Pertanyaan itu membuat Alena terdiam. Ia mencoba merefleksikan perasaannya dengan jujur. Apa yang paling ia rindukan dari Reno? Sosoknya sebagai individu, atau peran yang ia mainkan dalam hidupnya?"Aku... aku tidak tahu lagi, May. Mungkin keduanya?" Alena mengusap wajahnya yang lelah. "Aku merindukan senyumnya yang hangat. Aku merindukan cara dia memelukku ketika aku stress. Aku merindukan suaranya yang menenangkan ketika ia menceritakan hari-harinya di kantor. Tapi aku juga merindukan perasaan aman yang ia berikan. Perasaan bahwa akan selalu ada seseorang yang menerimaku apa adanya.""Dan sekarang kamu k
Tiga hari telah berlalu sejak malam itu di rumah Maya. Tiga hari sejak Alena kembali ke apartemennya yang kini terasa asing dan dingin. Setiap langkah kakinya di lantai parket yang dulu terasa hangat kini menggema dengan kekosongan yang menusuk.Apartemen itu masih menyimpan jejak-jejak Reno di mana-mana. Cangkir kopi favoritnya masih tergeletak di wastafel dapur, belum sempat ia cuci sebelum pergi ke café malam itu. Buku-buku ekonomi yang selalu ia baca masih tertata rapi di rak, dengan bookmark yang masih menandai halaman terakhir yang ia baca. Bahkan aroma cologne-nya masih samar tercium di sofa tempat mereka biasa menonton film bersama setiap weekend.Alena duduk di ujung tempat tidur, menatap kosong ke arah lemari yang masih menyimpan beberapa kemeja Reno. Kemeja biru muda yang selalu ia pakai saat meeting penting. Kemeja putih yang ia kenakan di dinner pertama mereka. Kemeja kotak-kotak yang membuatnya terlihat lebih muda dan santai di hari libur.Seharusnya ia sudah membereskan
Café itu kini terasa begitu sunyi, seolah-olah kehangatan yang selama ini mengisi ruang itu telah pergi bersama Reno. Alena masih terduduk di kursi yang sama, menatap kosong ke arah pintu tempat sosok pria yang telah mencintainya dengan tulus selama dua tahun itu menghilang. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat.Kekosongan itu terasa begitu nyata, seperti lubang besar di dadanya yang tidak bisa diisi oleh apapun. Reno benar – ia memang sudah kehilangan dirinya sejak lama, bahkan sebelum mereka berpisah hari ini. Yang tersisa hanyalah cangkang kosong dari seorang Alena yang dulu penuh dengan semangat hidup."Miss, apakah masih mau memesan sesuatu?" suara pelayan yang sopan memecah lamunannya.Alena mengangkat wajah, baru menyadari bahwa café sudah mulai sepi. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam – mereka telah berbincang lebih lama dari yang ia kira. "Tidak, terima kasih. Saya... saya akan pergi."Tapi kakinya terasa begitu berat ketika ia mencoba be