"Kau tidak perlu melakukan ini," kata Alena pelan.
"Aku tahu. Tapi aku ingin." Adrian mengulurkan tangannya, dan setelah sedikit ragu, Alena menyambutnya. "Aku membawakanmu makan malam. Nasi goreng dari restoran favoritmu."
Sentuhan hangat Adrian dan senyumnya yang tulus meluluhkan keraguan Alena. Mungkin ia memang terlalu sensitif. Mungkin ini hanyalah bentuk cinta Adrian yang berusaha melindunginya setelah kejadian traumatis.
Ketika mereka masuk ke apartemen dan Adrian membantunya menata makan malam, Alena berusaha menyingkirkan kegelisahannya. Namun, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: sampai kapan Adrian akan terus seperti ini? Dan yang lebih penting, bagaimana jika ini bukan hanya fase sementara, melainkan perubahan permanen dalam hubungan mereka?
Saat mereka makan dalam keheningan yang nyaman, Alena mencuri pandang ke arah Adrian. Ada ketegangan samar di bahunya, seolah ia selalu siaga. Matanya sesekali melirik ke arah jendela dan pintu, s
Alena berdiri di depan cermin besar yang menggantung di kamar tidur apartemen mewah mereka—ruang yang dulunya terasa seperti mimpi. Pencahayaannya sempurna. Pantulan dirinya terlihat nyaris tanpa cela: rambut tertata rapi, riasan lembut, gaun mahal yang dipilihkan Adrian, dan sepatu yang konon hanya dibuat satu pasang di Asia Tenggara.Tapi siapa yang ia lihat di cermin... bukan dirinya.Ia tatap pantulan matanya sendiri. Mata yang dulu hidup, sekarang tampak tenang tapi kosong. Seperti danau yang permukaannya tak beriak, tapi di dalamnya—dingin dan sunyi.“Gue siapa, ya?” gumamnya pelan.Dulu, ketika Adrian datang ke hidupnya, semuanya terasa seperti keajaiban. Ia membukakan pintu-pintu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: restoran bintang lima, liburan dadakan ke Eropa, koneksi dengan orang-orang penting yang memandangnya bukan sebagai ‘Alena si biasa’, tapi sebagai pasangan dari seseorang yang berkuasa.Awalnya memabukkan. Tapi makin lama, mabuk itu berubah jadi pusing yang ter
Adrian masih duduk di sofa, memandangi ruang tamunya yang sunyi. Sisa aroma parfum Alena masih tertinggal di udara, bercampur dengan wangi kopi yang belum sempat disentuh.Wajahnya datar. Tidak marah, tidak sedih, tidak juga tenang. Hanya kosong. Seperti seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang terlalu dalam untuk diurai dalam satu pertemuan.Ia mengingat satu per satu kalimat Alena tadi—tentang kehilangan diri, tentang rasa hampa, tentang hidup yang terlalu besar untuk dijalani dengan tenang. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus berkata apa.Alena berjalan turun dari gedung apartemen dengan langkah yang tidak terburu-buru. Tangannya tidak gemetar, tapi jantungnya berdetak seperti genderang yang tak bisa dihentikan. Ia tidak menangis. Bukan karena kuat, tapi karena hatinya sedang sibuk menyusun ulang dirinya sendiri.“Jadi ini rasanya memutuskan untuk jujur…” pikirnya dalam diam.Ia duduk di kursi halte tak jauh dari apartemen itu. Jakarta masih mendung, angin sore memba
Pagi itu, Jakarta belum sepenuhnya terjaga. Langit mendung, tapi belum hujan. Alena melangkah pelan menyusuri taman kecil di sudut kota—tempat yang tak pernah ramai, tapi selalu hidup dalam ingatannya.Taman itu tidak berubah. Jalan setapaknya masih dihiasi daun-daun kering, bangku-bangku kayu tua tetap berdiri meski warnanya mulai pudar, dan suara burung dari pohon flamboyan di tengah taman masih seperti dulu—ramai, tapi menenangkan.Langkah Alena terhenti di sebuah bangku yang terletak di dekat danau kecil. Ia menatapnya sejenak. Bangku itu... dulu tempatnya dan Reno duduk berjam-jam. Ngobrol, diam, ketawa. Kadang cuma saling pandang tanpa bicara.Ia duduk perlahan, menyentuh permukaan kayu yang sudah mulai kasar dimakan waktu.“Gue kangen.” Kalimat itu keluar begitu saja. Pelan, tapi jelas. Bukan cuma pada sosok Reno. Tapi pada versi dirinya yang dulu—yang lebih ringan, lebih jujur, lebih hidup.Ia menatap air danau yang tenang, memantulkan langit kelabu. Matanya mulai basah, tapi
Balkon apartemen lantai 25 membentangkan panorama Jakarta malam hari seperti lukisan digital. Lampu-lampu gedung menjulang menciptakan mosaik cahaya yang gemerlap, tapi bagi Alena, semuanya terasa... kosong.Ia duduk sendirian, memegang segelas wine merah yang katanya seharga gaji satu bulan pekerja biasa—pilihan Adrian, tentu saja. Tapi malam itu, kemewahan tidak membawa apa-apa selain sunyi.Pikirannya terbang ke tempat yang jauh dari sini—teras rumah kontrakan Reno yang sempit, duduk di kursi plastik, minum teh botol, menatap gang kecil dengan jemuran dan suara anak-anak berlarian.Tidak mewah. Tapi damai. Dan damai itu terasa mahal sekarang.“Len, masih di luar?” suara Adrian memecah malam.Ia datang membawa dua gelas wine. Duduk di sebelah Alena, menyerahkan gelas yang lebih besar.“Pemandangannya keren, kan? Makanya gue pilih unit ini. View-nya paling oke di lantai ini.”Alena menerima gelas itu. Tersenyum seadanya. “Iya. Bagus.”“Besok malam gue dinner sama klien Jepang. Mereka
Malam itu, Alena kembali ke apartemen dengan langkah pelan. Sepulang dari Taman Suropati bersama Reno—setelah percakapan yang lama terpendam akhirnya menemukan ruangnya—ada banyak hal yang menggantung di hatinya. Hangat, tapi juga berat. Seolah ia baru membuka lemari kenangan yang lama terkunci, dan sekarang harus menghadapi isinya satu per satu.Saat membuka pintu, cahaya lampu temaram menyambutnya. Di ruang tamu, Adrian sedang duduk di sofa, laptop terbuka, headset menyangkut di telinga. Ia sedang dalam panggilan video dengan klien dari luar negeri, seperti biasa. Tatapannya serius, fokus sepenuhnya pada layar.Alena hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Adrian sempat melambaikan tangan sekilas, tapi tak memutus pembicaraan.Alena berjalan ke dapur, membuka lemari es dan menuang segelas air dingin. Ia duduk di meja makan, diam. Memperhatikan sekitar—ruang yang dulu terasa seperti tempat aman, kini justru terasa terlalu rapi, terlalu senyap. Tidak ada tawa. Tidak ada pertanyaan seper
"Alena?"Suara itu mengalun pelan, tapi langsung menembus lapisan hati yang sudah lama membeku. Lebih dalam dari yang ia ingat. Atau mungkin... ia memang sudah terlalu lama tidak mendengarnya. Suara yang menyebut namanya dengan cara paling lembut dan penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang memanggil rumahnya sendiri setelah lama tersesat.Alena menoleh. "Hai, Reno."Langkahnya terhenti di depan bangku taman yang tak banyak berubah sejak terakhir kali mereka duduk bersama. Tangannya gemetar sedikit, tapi senyumnya mencoba tetap stabil."Boleh duduk?""Tentu," jawab Reno sambil bergeser. "Ini... masih bangku kita, kan?"Kata "kita" melayang di udara sore yang mulai teduh, menggantung di antara dua hati yang belum benar-benar sembuh tapi saling mengenal.Mereka duduk bersebelahan, berjarak satu lengan. Tidak terlalu dekat untuk menyentuh luka lama, tapi cukup dekat untuk merasakan kembali getaran yang dulu pernah begitu familiar."Sering ke sini?" tanya Alena sambil menatap pohon ber